Selasa, 30 Mei 2017

Momentum Bom Kampung Melayu

Presiden Jokowi dan Wapres JK Meninjau Lokasi Bom Kampung Melayu (sumber: Pasukan Lokagandasasmita)


Bom sederhana berkekuatan kecil yang mengakibatkan gugurnya tiga orang Polisi dan dua orang pelaku bom bunuh diri serta belasan lainnya luka-luka (baca: kompas) mengundang sejumlah spekulasi baik yang berdasarkan pada fakta-fakta temuan, teori, maupun analisa intelijen. Salah satu peringatan penting yang perlu kita perhatikan adalah sebagaimana disampaikan Kepala BIN Budi Gunawan: Jangan Biarkan Indonesia seperti Irak dan Suriah. Analisa yang menyimpulkan bahwa bom Kampung Melayu adalah bagian dari strategi ISIS masih terlalu prematur, walaupun berdasarkan fakta pelaku bom bunuh diri Ahmad Sukri dan Ichwan Nurul Salam alias Iwan Cibangkong yang terdeteksi merupakan bagian dari Kelompok JAD (Jamaah Ansarud Daulah) Wilayah Bandung. JAD sejak ramai dinyatakan terbentuk pada tahun 2015 merupakan entitas pendukung berdirinya Daulah Islamiyah di Indonesia, yang dalam berbagai kabar JAD menyatakan atau dinyatakan sebagai pendukung ISIS di Irak dan Suriah.

Meskipun Komunitas Blog I-I telah lama mengikuti perkembangan isu-isu terkait ISIS di Indonesia, namun tidak akan gegabah dalam mengambil kesimpulan karena dapat semakin membingungkan masyarakat Indonesia. Hal itu juga akan menciptakan "ketakutan" di satu sisi dan "kebencian" di sisi lain yang semakin memperdalam rasa saling curiga antar kelompok masyarakat di Indonesia. Tidak semua kelompok yang mendukung Daulah Islamiyah dan Syariat Islam setuju dengan cara-cara kekerasan model terorisme, sehingga perlu dipilah perbedaan yang tajam dalam metode "perjuangan" para pendukung negara Islam tersebut. Pemerintah harus fokus dalam mendeteksi seluruh kelompok yang jelas-jelas menempuh jalan kekerasan dengan terorisme dan mengatasinyas secara efektif tanpa memicu atau mendorong kelompok yang lebih damai menjadi terjerumus ke dalam jalan kekerasan terorisme. Hal ini sungguh tidak mudah, terlebih dengan perkembangan politik nasional yang telah dirusak oleh isu SARA kasus Ahok dan menurunnya kepercayaan sebagian umat Islam Indonesia kepada Presiden Jokowi.

Bicara tentang momentum adalah bicara tentang waktu terkait konteks dan perisitiwa serta perkiraan ke depan. Bom Kampung Melayu dapat menjadi momentum introspeksi penanganan radikalisme dan terorisme termasuk dengan revisi UU Terorisme yang diharapkan lebih efektif dalam menangani ancaman terorisme. Bom Kampung Melayu juga dapat menjadi momentum peningkatan kapasitas operasi intelijen dan penegakkan hukum yang lebih baik. Bom Kampung Melayu juga dapat menjadi momentum renungan seluruh bangsa Indonesia tentang realita ancaman teror yang digerakkan oleh keyakinan dan ideologi yang menyimpang dengan mengatasnamakan agama.

Bom bunuh diri adalah sebuah realita yang pasti terjadi manakala kelompok yang lemah memiliki keyakinan yang sangat tinggi terhadap ideologinya. Realita tersebut terkait dengan cita-cita yang bersifat doktrin yang terpatri ke dalam lubuk terdalam para pelaku teror. Indoktrinasi perbuatan bunuh diri dalam rangka membunuh orang lain yang dianggap musuh sebagai jihad bukan saja menyimpang dan sesat, melainkan juga merendahkan nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh Islam.

Apabila Blog I-I menghendaki Indonesia menjadi Negara Islam, maka tidak akan pernah ada konsep bom bunuh diri dalam perjuangan menegakkan Negara Islam karena hal itu sesat dan menyesatkan serta membuat pelakunya berdosa dan dijamin masuk neraka.

Beberapa dasar agama yang mengharamkan bom bunuh misalnya: QS An Nisa 4:29 (....Dan janganlah kamu membunuh dirimu...), Hadist Bukhari 5442 dan Muslim 109 (Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sepotong besi, maka dia akan menikam dirinya dengan besi itu di neraka). Hal itu sangat berbeda dengan kasus mati syahid dalam peperangan klasik seperti menerjang lawan dengan gagah berani, dimana hal itu sering secara sesat disamakan dengan aksi bom bunuh diri. Perbedaan yang nyata adalah bahwa ketika kita berkuda menerjang lawan dengan senjata adalah menghadapi musuh yang juga siap menerjang dengan senjata, artinya masing-masing pihak secara sadar tahu bahwa akan terjadi peristiwa membunuh atau dibunuh. Keberanian dalam berperang sangat berbeda dengan karakter pengecut bom bunuh diri yang mengintai orang-orang yang lemah dan lebih sedihnya lagi adalah bahwa korbannya adalah mereka masyarakat biasa (bukan prajurit/tentara) serta tidak sedang berperang dan bahkan dalam keadaan damai.

Bom bunuh diri bukan saja sangat memalukan karena karakter dasar sikap pengecut dan curang, melainkan juga menodai konsep dasar jihad qital (perang) yang menjunjung tinggi kehormatan diri sendiri maupun lawan. Bahkan dalam berperang sekalipun Islam mengajarkan bahwa janganlah seorang Muslim membunuh musuhnya karena nafsu diri sendiri atau karena kemarahan atau karena kebencian terhadap sesama manusia. Pembunuhan yang terjadi dalam peperangan adalah karena kezaliman musuh dan karena musuh Islam memerangi umat Islam atau karena kerusakan-kerusakan yang dilakukan musuh Islam. Selain itu yang lebih penting lagi adalah karena semata-mata demi Allah SWT. Apakah seorang yang melakukan bom bunuh diri dapat dikatakan melakukannya demi Allah SWT? "...Bila Allah SWT menghendaki, tentunya manusia hanya satu umat saja..." (QS Al Maidah 5:48). "Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?"
(QS Yunus 10:99). Apapun alasannya, bom bunuh diri bukan ajaran Islam dan jelas menodai nilai-nilai luhur agama Islam.

Kembali kepada momentum Bom Kampung Melayu, perlu kita bertanya kepada diri kita sendiri: Apa sebenarnya yang menyebabkan masih adanya mereka yang menempuh jalan kekerasan terorisme? Jawabannya sebenarnya sangat terang benderang dan ada di depan mata kita semua. Ingat pada pada dasarnya aksi terorisme ada 2:
  1. Dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuatan besar biasanya dilakukan teror kemanusiaan yang besar pula dengan aksi operasi intelijen dan militer. Jenis terorisme ini adalah apa yang disebut disponsori oleh negara dan biasanya ditutup-tutupi dengan berbagai modus operandi serta sangat jarang berupa bom bunuh diri. Kuncinya adalah pada kekuatan mengerahkan berbagai sumber daya negara dengan skill tinggi untuk menghabisi lawan baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
  2. Dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuatan kecil yang tersebar biasanya dilakukan oleh kelompok separatis dan kelompok-kelompok yang ingin menumbangkan suatu pemerintahan atau sebagai proxy untuk menekan pemerintahan yang dianggap sebagai musuh. 
Bom Kampung Melayu dan aksi teror bom-bom sebelumnya di Indonesia adalah seluruhnya berada pada model kedua, yakni dilakukan oleh kelompok kecil yang militan yang terus-menerus melakukan rekrutmen pengantin bomber untuk melakukan aksi-aksi jahatnya.

Hampir di seluruh kasus bom bunuh diri, mayoritas pelakunya adalah mereka yang memiliki latar belakang bermasalah, kriminal, kurang cerdas serta mudah ditipu. Hal itu juga dipengaruhi oleh cara pandang terhadap dunia dan kehidupan serta realita hidup yang dijalani para pelaku bom bunuh diri tersebut. Benar bahwa Islam menganjurkan untuk lebih memperhatikan akhirat daripada dunia, namu jangan lupa bahwa Islam mempersyaratkan keseimbangan dalam artian bahwa kehidupan di dunia adalah cerminan apa yang akan diperoleh akhirat. Artinya kesesatan di dunia akan secara otomatis diperhitungkan bahkan oleh kita sendiri dengan buku catatan kita di akhirat nanti. Bila kita telah membunuh diri kita sendiri dan orang lain tidak secara adil atau dapat dibenarkan secara syariah agama, maka hal itu akan tercatat dalam buku amalan kita dan tidak dapat diperbaiki lagi dengan taubat karena kita telah mati dan selesai perjalanannya di dunia ini. Padahal sangat jelas dalam Al Quran dan Hadist bahwa perbuatan bunuh diri dan membunuh tanpa alasan dan dasar yang kuat dan dapat dibenarkan adalah perbuatan dosa besar. Lalu mengapa masih ada saudara-saudara kita yang tersesat melakukan perbuatan bom bunuh diri?

Setelah Blog I-I mengamat-amati dinamika sosial dan kehidupan generasi-generasi muda Indonesia jawabannya adalah terletak pada kualitas manusia, potensi jahat, dan kegelisahan serta kebingungan akan kehidupan yang begitu besar. Salah satu indikator kualitas dan potensi-potensi jahat manusia Indonesia untuk menjadi teroris tercermin pada tingkat kriminalitas generasi muda pelajar yang berupa tawuran, perkelahian, pembunuhan serta berbagai perilaku menyimpang lainnya. Hal itu bukan sekedar mencari identitas diri atau gagah-gagahan belaka melainkan sebuah penyakit yang pada level berikutnya dapat dengan mudah menjadi faktor pendorong kejahatan yang lebih besar berupa terorisme. Membunuh sesama pelajar dalam aksi tawuran dengan alasan demi membela teman atau nama sekolah jauh lebih rendah daripada alasan membela agama atau ulama. Pengaruh doktrinasi peer group di sekolah-sekolah yang gemar tawuran jauh lebih longgar dibandingkan doktrin kelompok radikal kekerasan yang menghalalkan aksi teror.

Lalu bagaimana dengan para pemuda yang tidak pernah tawuran, adakah jaminan mereka dapat menghindar dari pengaruh radikalisasi agama? Para pelaku teror yang memiliki riwayat kejahatan biasanya memadukan kompleksitas psikologis antara masih adanya sifat jahat dan keinginan bertaubat dan jalan pintas penebusan dosanya. Penebusan dengan kematian demi agama adalah pilihan logis yang mudah bagi seorang mantan penjahat atau narapidana, sehingga aksi bom bunuh tampak di mata dan hati mereka sebagai pilihan logis yang dapat diterima lahir bathin tanpa keraguan. Sementara bagi mereka yang tidak memiliki riwayat kejahatan di masa lalu, pada umumnya memiliki karakter tidak kritis, pendiam, ragu-ragu, serta kaku atau cenderung berkacamata kuda. Meskipun diatara mereka ada yang cerdas dan ada juga yang bodoh secara intelektual, namun ada kesamaan karakter yang di luar tampak biasa saja namun sesungguhnya hatinya bergejolak. Gejolak di hati kelompok kedua ini lebih kepada eksistensi diri yang relatif kurang di tengah-tengah kehidupan sosial sehingga mereka cenderung mencari-cari jalan yang beda. Ketika ada tawaran melakukan aksi bom bunuh diri, maka hal itu menjadi pilihan logis suatu pencapaian prestasi yang sulit tertandingi dengan membayangkan mati syahid (level tertinggi) dalam perjalanan hidupnya. Perhatikan bagaimana reaksi anggota keluarga mereka yang berlatarbelakang kriminal yang cenderung tidak merasa heran, dan reaksi anggota keluarga mereka yang tidak memiliki latar belakang kriminal yang kaget dan heran bukan kepalang penuh rasa tidak percaya.

Kapabilitas dan alasan seseorang untuk melakukan aksi bom bunuh diri memang unik dan tidak dapat dipastikan kecuali oleh klarifikasi pelaku seandainya sang pelaku gagal membunuh dirinya sendiri dalam aksi bom bunuh dirinya. Namun analisa dan generalisasi yang disampaikan disini setidaknya dapat memberikan sedikit alternatif pemahaman sehingga kita dapat meningkatkan kewaspadaan kepada anggota keluarga masing-masing.

Setelah memahami analisa di atas, kita juga perlu membedah dinamika sosial politik dan ekonomi nasional Indonesia secara umum.  Pada dasarnya bagi Blog I-I, aksi teror mengatasnamakan agama di Indonesia adalah TIDAK TERHINDARKAN dan masih aka terus berlanjut. Mengapa kata tidak terhindarkan dicetak huruf kapital dan ditebalkan? Hal ini untuk membuka mata kita semua bahwa ketika pra kondisi dan seluruh persyaratan terpenuhi, maka suatu peristiwa pasti akan terjadi. Sebagai contoh sederhana misalnya tidak akan terjadi kebakaran apabila tidak ada api, bahan bakar dan oksigen. Ketika persyaratan terjadinya kebakaran terseut adalah mutlak sehingga dengan hilangnya satu elemen maka tidak mungkin terjadi kebakaran. Sementara pra kondisinya adalah proses bertemunya persyaratan tadi. Apakah secara tidak sengaja seperti percikan api dari korslet arus pendek yang kebetulan terjadi di ruangan yang banyak terdapat bahan-bahan mudah terbakar ataukah secara sengaja ada yang menyiramkan bahan bakar dan melemparkan bara api. Sementara oksigen adalah elemen umum yang selalu ada dimana-mana yang sesungguhnya bersifat netral.

Oksigen adalah kita semua anggota masyarakat, bahan bakar adalah ideologi radikalisme kekerasan, dan api adalah pengetahuan teknik-teknik terorisme, modal (uang), dan akses kepada senjata dan bahan bom (kapabilitas melakukan aksi teror). Mengapa kita sebagai masyarakat dianggap sebagai oksigen dan juga menjadi elemen yang turut menyulut terjadinya aksi teror. Dinamika sosial masyarakat seringkali disadari atau tidak turut serta berkontribusi melahirkan teroris-teroris. Misalnya pada masyarakat yang sangat ketat pengawasannya, muncul perlawanan karena ingin kebebasan dan teror-pun dapat menjadi pilihan aksi perlawanan yang efektif. Sebaliknya pada masyarakat yang liberal, terjadinya marjinalisasi dan ketidakpedulian satu dengan yang lain dalam kompetisi bebas juga dapat melahirkan kelompok radikal yang merasa tersingkir yang memimpikan masyarakat yang tidak liberal. Artinya di dalam masyarakat apapun, akan selalu ada saja potensi dan bibit-bibit radikal yang semata-mata berlawanan dengan tatanan masyarakat yang ada. Itulah sebabnya kita sebagai masyarakat adalah oksigen yang netral, dimana pada kondisi tertentu juga menjadi faktor penyebab terjadinya aksi teror.

Kita semua lengah dan bersalah apabila ada anggota keluarga kita menjadi pelaku bom bunuh diri. Aksi bunuh diri yang jelas-jelas dilarang dalam agama Islam mengapa justru dinyatakan untuk membela Islam, hal itu jelas-jelas sesat dan menyesatkan dan bahkan pelakunya dijamin masuk neraka dan bukan surga sebagaimana dijanjikan kepada mereka yang mati syahid. Kelengahan tersebut terletak pada lemahnya pengetahuan agama Islam dari umat Islam sendiri sehingga dapat tertipu daya oleh ucapan-ucapan atau ajakan-ajakan jihad yang keliru. Mati syahid adalah mulia, namun bagaimana mungkin kesyahidan seseorang dapat terjadi bila prosesnya tidak mulia dan jauh dari persyaratan kemuliaan itu sendiri. Sekali lagi bandingkan keberanian seseorang yang berjihad dalam peperangan dengan kepengecutan seseorang yang meledakkan dirinya di tengah-tengah masyarakat yang tidak berperang. Sesuatu yang mulia pasti tersusun dari berbagai persyaratan mencapai kemuliaan itu, dimulai dari niat yang benar dan lurus serta alasan yang benar secara syar'i agama maupun norma moral universal, kemudian berlangsung di jalan yang benar yakni peperangan yang jelas menghadapi musuh-musuh Islam yang memerangi umat Islam, sasaran adalah mereka yang berperang (combatant) bukan masyarakat sipil biasa apalagi wanita dan anak-anak yang lemah,  serta dilakukan sewajarnya dan tidak berlebihan. Aksi bom bunuh diri jelas melanggar seluruh persyaratan mati syahid sehingga sedih rasanya apabila seseorang tertipu oleh ajakan aksi bom bunuh diri apalagi dijamin masuk surga. Marilah kita berdo'a agar masyarakat Indonesia terhindar dari tipu adaya ajakan terorisme yang sesat dan menyesatkan tersebut.

Deradikalisasi adalah proses yang rumit dan tidak ada jaminan untuk sukses karena "penyakit" keyakinan yang menyimpang (sesat) adalah bagaikan mencabut stabilitas psikologis dan emosi seseorang yang telah mapan dalam ketersesatannya. Hal ini "ma'af" adalah hampir sama dengan proses pemurtadan seseorang dari keyakinannya. Apakah mungkin? Ya sangat mungkin untuk dilakukan, bukankah sedikit ataupun banyak diantara para penganut agama yang berbeda telah terjadi proses saling memurtadkan keyakinan individu-individu para penganut agama. Misi dakwah apapun pada dasarnya adalah menanamkan keyakinan kepada para pengikutnya tentang suatu ajaran. Nah ketika seseorang atau sekelompok orang telah tertanamkan keyakinan radikalisme kekerasan dan terorisme, maka dakwah terhadap mereka adalah mengupayakan bagaimana mereka murtad atau keluar dari keyakinan radikalisme kekerasan dan terorisme. Contoh pemurtadan ini lebih sederhana dari pada penjelasan panjang lebar tentang bagaimana menyadarkan para teroris untuk kembali ke jalan yang lurus. Ketika jaringan Blog masuk ke dalam kelompok Jemaah Islamiyah dan berbagai pecahan dan afiliasinya, terkumpul banyak catatan penting yang perlu kita perhatikan. Misalnya tentang dominasi pengetahuan agama para ulama yang dikenal radikal terhadap pengikutnya, dimana secara satu arah para pengikutnya hanya mendengar dan patuh tanpa berdaya bertanya secara kritis tentang bagaimana sang ulama memberikan penafsiran yang berbeda dengan ulama yang tidak radikal. Ibaratnya para pengikut tersebut benar-benar hanya domba-domba yang dengan mudah digiring ke sana kemari termasuk untuk menjadi pengantin aksi bom bunuh diri.

Deradikalisasi ini merupakan upaya menghilangkan elemen bahan bakar ideologi kekerasan dan terorisme. Sesungguhnya deradikalisasi hanya menargetkan mereka yang sudah radikal, sementara upaya melindungi masyarakat dari pengaruh ideologi radikal adalah konter radikalisasi berupa pencegahan dan perlindungan masyarakat dari ajaran-ajaran sesat dan menyesatkan seperti penghalalan aksi terorisme. Apakah hal ini dapat sukses? Blog I-I dapat memastikan bahwa keberhasilan deradikalisasi dan konter radikalisasi tidak dapat diukur secara pasti. Satu tahun tanpa aksi teror tidak menjamin hilangnya aksi teror di tahun berikutnya. Hal ini sama dengan masih adanya aksi jahat para pelaku tindak kriminal yang selalu ada di tengah-tengah masyarakat. Pencuri, pembegal, pembunuh, pemerkosa selalu berkeliaran di sekeliling kita. Mereka selalu mengintai kelengahan dan mencari kesempatan. Apapun alasanya, perbuatan kriminal adalah penyimpangan perilaku manusia yang akan menggiringnya kepada kehancuran. Perbuatan kriminal tersebut umumnya tergerak oleh motivasi pribadi baik karena kebutuhan, hawa nafsu, kemarahan, kebencian, gila, dan berbagai alasan lainnya. Sementara dalam aksi teror bunuh diri, motivasinya dibungkus oleh ajaran-ajaran radikal yang tampak rasional dan agamis. Misalnya pandangan-pandangan bahwa di negara Thogut Kafir boleh membunuh, merampok karena belum tegaknya hukum syari'ah Islam. Padahal Islam tidak hanya bicara soal lahiriah dan formalitas hukum, melainkan juga bicara soal hakikat. Dalam kaitan ini, membunuh di luar peperangan dan hukum qisas apapun alasannya tidak dapat diterima dalam syari'ah Islam dan hakikatnya merupakan perbuatan dosa yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.

Karena dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia proses radikalisasi terus berjalan, maka proses deradikalisasi dan konter radikalisasi juga jangan pernah berhenti. Manusia cenderung lupa dan merasa aman manakala tidak terjadi insiden serangan bom, namun kemudian sangat reaktif manakala terjadi aksi teror bom betapapun kecilnya. Seharusnya kita menyikapi ancaman terorisme tersebut sama sebagaimana kita menyikapi bahwa kejahatan akan terus ada sepanjang masa. Besar kecilnya ancaman terorisme sangat tergantung kepada bagaimana pemerintah berhasil memaksimalkan upaya menghilangkan salah satu unsur pembentuk aksi teror. Baiklah, mungkin upaya deradikalisasi dan konter radikalisasi dianggap tidak efektif karena sebagaimana ideologi-ideologi lainnya seperti komunisme tetap ada penganut dan pengagumnya dari masa ke masa. Namun upaya deradikalisasi dan konter radikalisasi tidak boleh berhenti hanya karena fakta bahwa orang-orang radikal juga mati satu tetap tumbuh beberapa yang lainnya.

Upaya yang seharusnya paling maksimal dan efektif dilakukan oleh pemerintah, khususnya Intelijen (BIN), Polisi, BNPT, dan TNI adalah menghilangkan elemen kapabiltas terorisme. Hal ini dapat diibaratkan dengan pengebirian para pemerkosa. Ketika kemampuan atau kapabilitas melakukan aksi teror dapat dihilangkan atau ditekan diminimalkan sedemikan rupa, maka niscaya jumlah aksi teror akan menurun tajam. Memang upaya ini memerlukan dukungan personil aparat yang profesional, serta dana yang tidak sedikit dan juga strategi dan langkah-langkah yang efektif tanpa memancing terjadinya simpatik yang berlebihan terhadap kelompok teroris. Sekali yang masyarakat perlu ingat adalah bahwa kejahatan teror pada dasarnya sama dengan kejatan kriminal lainnya, namun dalam level yang berbeda dapat berdampak lebih besar karena efek rasa takut, berita, serta sifat dasarnya yang tidak pandang bulu terhadap korban, apakah kaya miskin, muslim non muslim, pria wanita, anak-anak atau orang tua, semua dapat menjadi korban teror. Itulah sebabnya kejahatan terorisme masuk dalam kategori luar biasa. Blog I-I tidak perlu menggurui satuan-satuan khusus seperti Densus 88, Den 81 Gultor Kopassus, Satgas Konter Teroris BIN, BNPT, dan aparat keamanan dan penegak hukum tentang strategi dan langkah-langkah yang efektif menghilangkan ancaman teror di Indonesia.

Ketika Perancis mengalami serangan teror, tampak gelar pasukan Groupe d’Intervention de la Gendarmerie Nationale (GIGN) atau sering dikenal sebagai Gendarimerie langsung ikut diturunkan membantu Polisi Perancis, demikian juga Inggris paska serangan di Westminster dan Manchester Arena telah menerjunkan tentara di sejumlah titik rawan khususnya di instalasi penting (Operation Temperer). Nilai-nilai demokrasi telah membatasi peranan tentara dalam ikut mendukung upaya konter terorisme di berbagai negara demokrasi karena tentara dianggap bukan bagian dari penegakkan hukum dan adanya ketakutan militarisme yang kebablasan. Namun kelompok masyarakat yang melakukan aksi teror dapat menjadi besar kepala dan merasa "sukses" karena mereka juga menggunakan hak-hak sipil mereka untuk melindungi aktifitas penyebaran ajaran radikal dan cuci tangan terhadap nasib para pelaku teror yang tertangkap atau pura-pura tidak tahu. Demokrasi yang menjamin kebebasan menyampaikan pendapat dimanfaatkan untuk menyebarkan ajaran terorisme dan hal ini telah berlangsung lama, sampai akhirnya di sejumlah negara muncul larangan penyebaran kebencian dan hasutan kekerasan. Lebih baik terlambat daripada tidak ada pencegahan lebih lanjut. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apabila operasi Tinombala di Poso dengan target kelompok Santoso diserahkan kepada TNI, sudah selesai sejak lama. Namun pendekatan TNI tentunya dengan perang dan bukan penangkapan hidup-hidup dan hal ini menjadi dilemma dalam aturan hukum nasional Indonesia. Semoga pembahasan revisi UU Anti Terorisme segera dapat memberikan landasan hukum yang lebih jelas dan kuat dalam melindungi masyarakat Indonesia dari ancaman terorisme.

Apakah para teroris pernah berpikir bahwa misalnya Bom Kampung Melayu yang telah mengakibatkan gugurnya tiga orang Polisi sama sekali tidak mempengaruhi kekuatan aparat keamanan Indonesia? Bahkan justru semakin meyakinkan mayoritas umat Islam Indonesia bahwa aksi terorisme adalah perbuatan yang sesat dan jahat. Apakah para teroris pernah berpikir bahwa aksi teror yang dilakukan di Indonesia justru merusak dan kontraproduktif terhadap cita-cita mereka sendiri untuk mendirikan negara Islam dan menegakkan Syari'ah Islam? Terjadi kontradiksi antara perbuatan dan tujuan yang akan dicapai. Kemudian apakah para teroris juga pernah berpikir tentang hakikat kehidupan di dunia dan tujuan kehidupan di akhirat yang dipersyaratkan dari perbuatan-perbuatan di dunia? Mati syahid sungguh adalah mulia, namun sebuah kemuliaan tidak akan lahir dari perbuatan tercela seperti bunuh diri dan membunuh orang-orang yang tidak terlibat dalam perang dan bahkan tidak memerangi. Mati syahid tidak akan lahir dari perbuatan pengecut secara diam-diam melakukan pendadakan membunuhi orang yang bahkan tidak tahu mengapa harus terbunuh dalam aksi teror. Bahkan dalam konteks Indonesia, korban aksi teror terbanyak adalah sesama Muslim yang juga menyembah Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Semoga artikel ini dapat menjadi bahan kajian kita bersama, baik masyarakat umum maupun aparat keamanan dan pemerintah dalam menempuh kebijakan keamanan yang efektif.

Salam Intelijen
Dharma Bhakti

Read More »
21.31 | 0 komentar

Selasa, 23 Mei 2017

Antara Manchester Arena dan Kampung Melayu: Bahaya Radikalisme dan Terorisme

Senin 22 Mei 2017 serangan bom bunuh diri terjadi di Manchester Arena tempat dimana Ariana Grande beraksi dalam konser musiknya. Korban tewas mencapai 22 orang dan sekitar 120 orang luka-luka, tidak lama kemudian polisi Inggris melakukan serangkaian penangkapan terhadap orang-orang yang diduga tahu atau merupakan bagian dari jaringan teroris (baca: Manchester Evening News). Rabu 24 Mei 2017 serangan bom bunuh terjadi di kawasan terminal Kampung Melayu yang menewaskan 5 orang yakni 3 orang polisi dan 2 orang terduga pelaku bom bunuh diri serta belasan orang luka-luka (baca: BBC Indonesia).

Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari dua peristiwa yang berjauhan lokasinya namun berdekatan waktu serangannya serta kesamaan modus bom bunuh diri tersebut?


Terulangnya serangan teror bom bunuh diri dari waktu ke waktu merupakan cerminan bahaya serangan teror tetap mengintai kita semua meskipun aparat keamanan khususnya Polisi dan Intelijen telah bekerja keras melakukan upaya pencegahan dan pengungkapan jaringan teroris. Inggris sebagai negara maju dengan berbagai kemampuan counter terornya yang tinggi harus mengakui bahwa serangan sederhana baik dari jaringan teroris maupun yang sifatnya sendirian (lone wolf) telah berulang kali terjadi. Indonesia sebagai negara yang menuju menjadi negara besar dan maju juga mengalami serangan teror yang berulang kali. Kesimpulan pertama adalah bahwa teror bom bunuh diri dapat terjadi di manapun. Mencermati perkembangan situasi konflik di wilayah Timur Tengah, maka ancaman teror akan terus mengintai tanpa kenal lelah mejerumuskan generasi muda Muslim yang kurang ilmu agama atau tidak stabil secara mental untuk menjadi pelaku bom bunuh diri. Logika perjuangan "dunia Islam" yang dipersonifikasikan ke dalam aksi individu-individu yang melakukan serangan bom bunuh diri bukan saja menyesatkan para pelakunya, melainkan juga membingungkan masyarakat karena polanya yang tidak ajeg. Ketika serangan menimpa aparat keamanan seperti petugas Polisi atau simbol-simbol aparat keamanan lainnya, mungkin saja motifnya "balas dendam". Namun ketika serangan menimpa masyarakat biasa yang kebetulan berada di keramaian, maka motifnya menjadi kurang jelas apakah semata-mata membawa mimpi buruk kepada masyarakat yang ditargetnya ataukah karena ketidakberdayaan menghadapi aparat keamanan.

Blog I-I tidak bosan-bosannya mengingatkan ancaman serangan teror yang masih akan terus mengintai Indonesia selama konflik di Timur Tengah terus berlangsung baik di Suriah, Irak, Libya, Yaman, maupun di wilayah lainnya. Disadari ataupun tidak, konflik-konflik berdarah tersebut membawa dampak penderitaan yang dalam karena terlalu banyaknya kematian. Semakin lama konflik berjalan, maka semakin lama pula dampak penderitaan tersebut. Mereka yang langsung merasakan dampak dari konflik berdarah memiliki alasan dalam meradikalisasi dirinya agar kuat militan dalam berjuang di wilayah konflik. Namun mereka yang bersimpati juga dapat terjangkiti emosi kemarahan, kebencian, dan perasaan paling benar bila terseret ke dalam pusaran konflik berdarah. Misalnya saja mereka yang ikut bergabung dengan kelompok-kelompok yang berkonflik di Timur Tengah, sebut saja misalnya ISIS dan organisasi yang berafiliasi kepadanya. Dari simpati, lama kelamaan menjadi keyakinan dan ketika menyaksikan dunia yang terus berputar tanpa peduli kepada ISIS, maka lahir apa yang disebut sebagai penolakan terhadap realita kehidupan. Hal itulah yang memudahkan langkah untuk mengakhiri kehidupan dengan bom bunuh diri.

Hanya orang-orang yang lemah dan sedikit ilmunya yang melakukan aksi bom bunuh diri. Sementara para pemimpin gerakan teroris atau yang melakukan rekrutmen dalam rangka radikalisasi sangat jarang mau melakukan aksi bom bunuh diri dengan alasan mereka diperlukan untuk gerakan. Kesimpulan kedua adalah bahwa baik di Inggris maupun di Indonesia sumber daya manusia yang berjiwa lemah dan sedikit berilmu agama sangat banyak sehingga kemungkinan serangan bom bunuh diri tidak akan mereda dari waktu ke waktu. Mati satu tumbuh seribu karena sumber daya manusianya akan ada terus. Apakah mereka tidak terdeteksi oleh intelijen? Andaipun terdeteksi, sangat sulit dalam memastikan apakah suatu serangan akan terjadi, kapan dan dimana.

Bagaimana mengatasinya? Setidaknya ada dua cara yang secara simultan harus terus berlangsung dari waktu ke waktu. Yakni dari sisi sumber daya manusiannya perlu diputus atau dihilangkan kemungkinan masih tersedianya pemuda/i yang mudah tertipu sehingga rela ikhlas melakukan aksi bom bunuh diri. Kedua dari sisi operasi intelijen dan penegakkan hukum, sudah waktunya Indonesia mengembangkan operasi yang lebih masif dan berkelanjutan. Negara demokrasi seperti Indonesia dan Inggris memang selalu dibayangi oleh prinsip-prinsip demokrasi yang kadangkala justru dimanfaatkan oleh kelompok radikal dan para teroris untuk ikut berlindung dibalik Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, khusus dalam konteks Indonesia, perlu diakui bahwa Islam adalah salah satu pilar besar dalam kehidupan berbangsa dan benegara. Hal ini memerlukan leadership yang kuat dari Pemerintah dalam mendorong umat Islam Indonesia menjadi umat yang moderat (bukan munafik). Tantangan ini tidak akan pernah berakhir selama konflik di Timur Tengah berlangsung, karena mereka yang masuk dalam jaringan teror maupun yang meradikalisasi dirinya sendiri dapat dipastikan berkiblat kepada dinamika keamanan, sosial dan politik di Timur Tengah.

Baik bom Manchester maupun bom Kampung Melayu merupakan teror kemanusiaan yang tidak cukup direspon dengan kampanye melawan terorisme atau menyatakan kita kuat. Apa yang dilakukan aparat keamanan Inggris maupun Indonesia dengan serangkaian penangkapan adalah pelaksanaan tugas secara profesional. Namun hal itu sifatnya terbatas pada kasus yang sedang diselidiki. Bagaimana dengan potensi dan ancaman lainnya? Itulah sebabnya diperlukan kerjasama erat dengan masyarakat luas dalam meningkatkan kewaspadaan terhadap kelompok atau jaringan radikal dan teroris yang bersembunyi di tengah-tengah masyarakat.

Sekian, semoga bermanfaat
Salam Intelijen
Dharma Bhakti

Read More »
14.00 | 0 komentar

Senin, 22 Mei 2017

Selamat Ulang Tahun BIN ke-71

71 tahun bukan usia yang muda 
71 tahun berkarya di bidang intelijen
71 tahun antara ada dan tiada
71 tahun senyap kerja intelijen

Lebih banyak caci maki dari pada pujian kepada intelijen
Lebih banyak curiga dari pada penghargaan terhadap intelijen
Namun semakin banyak harapan di pundak intelijen
Walau sedikit yang mengerti kesulitan intelijen

71 tahun beroperasi jaga kedaulatan negara bela rakyat
71 tahun menganalisa ancaman cegah marabahaya
71 tahun berbenah diri penuhi harapan rakyat
71 tahun terus berkarya hilangkan bahaya

Tidak dikenal bukan berarti tidak ada
Meski ada hal itu belum tentu wujudnya
Intelijen dimanakah engkau berada
Dicintai walau tiada jelas apa wujudnya

Intel berhasil rakyat merasa biasa
Intel gagal bencana segera terasa
Intel giat bekerja adalah biasa
Intel tidur rakyat binasa  


Dirgahayu Badan Intelijen Negara ke-71 (7 Mei 2017)
Semoga tercapai Intelijen yang Profesional Obyektif dan Berintegritas
Salam Intelijen
Velox et Exactus

Komunitas Blog Intelijen Indonesia
Dharma Bhakti

Read More »
02.17 | 0 komentar

Benarkah BIN Anti Islam?

Kontroversi Surat Edaran BIN (sumber dari Internet)

Tidak lama setelah BIN mengembangkan propaganda dukungan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), BIN kembali menjadi sorotan berita karena bocornya Surat Edaran Larangan Berjenggot dan Memakai Celana Cingkrang bagi pegawai BIN yang kemudian diklarifikasi dua kali yakni pertama oleh Deputi Komunikasi dan Informasi BIN yang membenarkan SE larangan berjenggot dan kedua oleh Sestama BIN yang membantah SE larangan berjenggot tersebut.

Sungguh aneh bin ajaib, bagi organisasi intelijen yang akan memasuki usia ke 71 tahun bahwa kebocoran informasi telah berulangkali terjadi. Meskipun Blog I-I selalu memperoleh kebocoran-kebocoran tersebut, namun demi menjaga kehormatan BIN, Blog I-I hanya mengangkat kebocoran yang telah menjadi pembicaraan publik di media massa sebagaimana larangan berjenggot tersebut. Sengaja Blog I-I mengangkat artikel ini setelah perdebatan di media mereda sebagai bahan pelajaran semata.

Catatan khusus Blog I-I terhadap BIN adalah makin kuatnya kecurigaan umat Islam baik yang radikal maupun moderat terhadap sepak terjang BIN yang semakin tidak jelas. Kondisi BIN saat ini hampir mendekati era kejayaan Lubertus Benny Moerdhani ketika menguasai seluruh Intelijen resmi Indonesia dengan rangkap jabatan di BAKIN dan BAIS TNI. Kecenderungan untuk memposisikan Islam sebagai ancaman merupakan definisi dari kelompok minoritas yang merasa terancam dengan gerakan politik populisme Islam yang dianggap membahayakan posisi Presiden Jokowi. Politik populisme Islam yang dapat mendorong terjadinya dominasi mayoritas umat Islam yang sadar tentang posisinya yang selalu mengalah atau kalah sebagai pecundang sejak kemerdekaan tampak membuka mata sebagian umat Islam Jakarta dalam pilkada DKI Jakarta kemarin.

Demi keutuhan Republik Indonesia, tentu tidak kondusif untuk membahas mayoritas-minoritas yang dapat memicu terjadinya konflik kepentingan yang dapat berujung pada konflik terbuka. Namun demikian, cara-cara yang ditempuh BIN dan Pemerintah dalam meggembosi mayoritas agar dominasi minoritas tidak tergerus telah terbaca jelas oleh sebagian aktivis Islam yang waspada. Adalah isu-isu yang menggambarkan seolah-olah Islam anti Pancasila yang digunakan, sehingga terjadilah pelarangan HTI dan rencananya juga akan menimpa seluruh ormas Islam yang dilabel anti-Pancasila. HTI sebagai contoh kasus masih terus bergulir dan belum final dalam proses hukum pelarangan, namun secara politik efeknya telah terasa di kalangan HTI. Siapa otaknya? Benarkah semua dirancang oleh BIN?

Mencermati kecurigaan-kecurigaan terhadap BIN, dapat disampaikan bahwa pelarangan HTI dan upaya memarjinalkan umat Islam bukan hasil karya strategi BIN semata. Hal itu merupakan bagian dari strategi pemerintah dalam menekan kelompok Islam politik yang tujuannya agar umat Islam secara umum tidak menggunakan sentimen agama dalam berdemokrasi, karena bila sentimen agama menguat maka dapat dipastikan bahwa partai-partai politik berbasis Islam akan berjaya dalam pemilu kepala daerah maupun pemilu presiden. Hal inilah yang terjadi di Turki dan Mesir dimana kesadaran umat Islam berhasil memenangkan partai Islam. Turki dapat dikatakan berhasil karena relatif lebih modern dan sukses dalam memelihara kemenangan partai Islam yang tidak secara tiba-tiba melakukan Islamisasi sebagaimana di Mesir dimana kemudian kemenangan partai Islam Muslim Brotherhood (Ikhwanul Muslimin) yang gagal dalam menganalisa oposisinya dengan melakukan pembersihan dan dominasi seluruh posisi jabatan kunci negara dan gagal pula dalam mendeteksi aliansi Tentara dan kelompok Islam liberal dan minoritas.

Sementara Indonesia saat ini sedang mencegah apa yang terjadi di Turki maupun di Mesir, dengan kata lain strategi Indonesia jauh lebih canggih daripada kelompok Islam liberal dan minoritas di Turki maupun Mesir. BIN terlalu lemah untuk mampu merancang strategi tersebut, apa yang terjadi belakangan ini adalah bahwa BIN telah disusupi agen-agen anti Islam yang secara efektif mempengaruhi kebijakan-kebijakan anti Islam, khususnya Islam politik. Surat Edaran BIN yang menyentuh aspek lahiriah penampilan seperti jenggot dan celana cingkrang secara logika dapat diterima dalam rangka tertib urusan dalam organisasi untuk pembinaan anggota BIN yang profesional menanggalkan ciri fisik keIslaman seperti jenggot dan celana di atas mata kaki. Namun ketika surat tersebut bocor, maka dpat segera ditarik kesimpulan bahwa di dalam internal BIN terjadi pro dan kontra. Serta kemungkinan besar apa yang dibantah justru yang benar, seharusnya hal ini tidak terjadi sehingga publik tidak berspekulasi. Penyusupan agen-agen anti Islam ke dalam BIN dapat dilakukan melalui Dewan Analis Strategis (DAS) atau staf khusus yang mana semuanya dapat diambil dari luar organik BIN, TNI maupun Polisi.

Bagaimana sesungguhnya kita dapat secara obyektif menilai sebuah sikap anti-Islam? Selama anda dapat beribadah dengan nyaman dan aman, selama anda dapat merayakan hari-hari besar agama Islam, selama anda tidak dihalang-halangi dalam melaksanakan ajaran Islam, maka tentunya yang sedang berkuasa tidak bersikap anti-Islam. Islam dalam aspek ibadah ritual maupun amaliah sosial hidup subur di Indonesia dan mereka dari kelompok Islam radikal hingga liberal dapat menjalankan kegiatan keIslamannya maupun meninggalkan ibadah keIslamannya tanpa rasa khawatir. Lebih jauh lagi, hukum yang berlaku adalah bukan hukum Islam, sehingga proses penghukuman juga secara nyaman bersandar kepada hukum positif baik pidana mupun perdata. Puncaknya adalah pada sistem politik demokrasi dan dasar negara Pancasila serta konstitusi UUD 1945, dimana semuanya menjamin kebebasan beragama dan kebebasan individu dalam menentukan apakah dirinya menjadi religius maupun menjadi tidak religius. Sepanjang taat pada aturan yang berlaku, anda dapat hidup nyaman tentram dan aman di Indonesia.

Situasi obyektif anti-Islam baik oleh pemerintah maupun kebanyakan warga Indonesia yang liberal adalah terhadap Islam politik dan hukum Islam. Terjadi semacam sikap alergi karena akan terjadi benturan dari prinsip-prinsip Islam politik dan demokrasi serta sistem politik Pancasila. Sebagai contoh pelaksanaan hukum syariah di Aceh oleh kaum Islam liberal Indonesia akan tampak sebagai suatu hal yang mengerikan, contoh sederhana anda tidak dapat berduaan dengan pasangan bukan muhrim. Lebih jauh lagi masalah kebebasan dan HAM yang merupakan surga bagi pelaku penyimpangan seksual seperti kaum LGBT seperti kasus pesta gay di Jakarta baru-baru ini. Penangkapan oleh polisi terhadap prostitusi gay tersebut bahkan dikecam LBH Jakarta, tidak terbayang seandainya hukum Islam yang berlaku.

Bayangan tentang benturan-benturan yang terjadi dalam sistem politik Islam dan pelaksanaan hukum Islam karena perbedaan sikap dalam tubuh umat Islam Indonesia telah membuat dukungan politik terhadap partai politik Islam menjadi lemah. Itulah sebabnya sejak awal kemerdekaan, para ulama Islam dan pimpinan ormas Islam mayoritas cenderung untuk memilih Pancasila dan UUD 1945 yang dijiwai oleh nilai-nilai keIslaman daripada menerapkan sistem politik Islam dengan negara Islam dan hukum Islam. Selain keberatan dari kaum minoritas, khususnya keberatan dari Indonesia Timur, dari umat Islam sendiri terpecah dalam perbedaan pandangan tentang kewajiban menegakkan negara Islam. Singkat kata, mayoritas umat Islam Indonesia lebih nyaman dalam negara Pancasila daripada negara Islam. Hal itu bukan karena anti-Islam, melainkan lebih bersifat pilihan yang kondusif dan tidak bersifat konflik karena perbedaan tadi.

Kembali kepada apa yang terjadi di BIN, dapat kita meraba-raba dan menduga bahwa kebocoran demi kebocoran dari BIN terkait isu jenggot dan celana cingkrang boleh jadi cermin dari adanya kelompok di BIN yang cenderung semakin taat beragama dan kelompok profesional. Jadi bukan anti-Islam. Tidak benar apabila BIN dikatakan anti-Islam. Spekulasi-spekulasi tentang BIN yang anti- Islam sebagaimana berkembang di sebagian kalangan Muslim Indonesia tidak memiliki landasan yang kuat.

Kebijakan yang harus segera ditempuh oleh BIN adalah menerapkan disiplin organisasi yang lebih ketat serta melakukan test ulang integritas seluruh anggota BIN dan sistem klasifikasi akses terhadap laporan. Hal ini akan dapat mencegah terjadinya kebocoran-kebocoran yang tidak dikehendaki di masa mendatang. Semoga BIN dapat terus berbenah menjadi organisasi yang profesional obyektif dan berintegritas.

Salam Intelijen
Dharma Bhakti

Read More »
01.23 | 0 komentar

Senin, 15 Mei 2017

Tentang WannaCry Ransomware



Terkait serangan cyber WannaCry Ransomware yang menimpa sekitar 150 negara, pertama-tama Blog I-I menyampaikan apresiasi yang tinggi dan mendukung penjelasan Kepala BIN tentang serangan tersebut. Baik tentang perlunya peningkatan kemampuan sistem pengamanan informasi, tentang melemahkan negara, maupun berbagai analisa terkait kasus tersebut lainnya (baca: Kepala BIN soal Serangan Ransomware WannaCry, Imbauan BIN soal Serangan Ransomware, dan berbagai pemberitaan terkait lainnya).



Berbeda dengan pandangan Blog I-I tentang penjelasan BIN tentang pembubaran HTI yang menurut Blog I-I kurang pas karena terkait dengan analisa yang sifatnya rahasia, penjelasan BIN tentang serangan cyber Ransomware sangat penting untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat dan menciptakan rasa aman karena BIN cepat tanggap dalam merespon serangan cyber yang dampaknya sangat merugikan bukan hanya negara dan organisasi/badan/lembaga yang diserang seperti rumah sakit, melainkan juga individu-individu yang mungkin tidak sadar bahwa ransomware adalah malaware yang mengintai dimana-mana termasuk PC kita di rumah. Ketika jaringan cyber Blog I-I mencoba memperoleh program ransomware dan meneliti pemograman serangan malaware yang menargetkan folder dan file, sejumlah serangan ransomware langsung masuk ke PC berbasis microsoft windows milik jaringan Blog I-I. Karena komputer tersebut memang telah siap untuk dikorbankan diserang ransomware, maka tidak ada hal berarti yang terjadi. Sangat menarik bahwa serangan malaware wannacry ransomware tersebut umumnya berpola mencegah mengakses windows, mengenkripsi file-file di komputer sehingga tidak dapat digunakan, dan menghentikan aplikasi seperti web browser. Sesuai dengan namanya, komputer anda disandera dan mereka meminta uang (ransom) untuk dapat membuka akses ke komputer tersebut. Disamping itu juga ada permintaan pengisian survey. Hal yang paling menyebalkan adalah tidak ada jaminan bahwa ransomware akan memberikan kembali akses ke komputer dan file yang disandera tersebut.


Model serangan malaware dengan ransomware tersebut agak mirip dengan malaware yang memaksakan anda untuk membeli program anti-virus dengan menghentikan web browser dan mengabarkan bahwa komputer anda mengalami serangan virus. Namun malaware tersebut tidak agresif kepada folder, file dan aplikasi lainya. Kemudian juga agak mirip dengan malaware yang merubah seluruh nama file di komputer kita dengan ekstension yang berbeda sehingga tidak dikenali atau tidak dapat dibuka dengan program yang biasa digunakan untuk membukanya. Program malaware leluhur ransomware telah ada sejak tahun 1989 yang kita kenal dengan nama PC Cyborg Trojan atau AIDS Trojan dalam bentuk floppy disk yang mengganti file autoexec.bat yang kemudian menghitung jumlah booting yang dilakukan komputer dan ketika menyentuh angka ke 90 kali boot, maka kemudian komputer tersebut akan diserang dengan menyembunyikan direktori (sekarang lebih dikenal folder) dan mengeknripsi semua file di drive C. Untuk dapat membukanya maka pihak yang diserang diminta untuk memperpanjang license dan mengontak PC Cyborg Corporation dengan membayar 189 dollar. Kira-kira metodenya ransomware masih sama dengan leluhurnya tersebut dan terus berkembang dengan berbagai pengembang dan penelitian di tahun 2000-an sbb:

Sumber: CERT-RO


Ransomware WannaCry jauh lebih agresif dan intrusif kepada komputer dan mampu menciptakan kepanikan kepada yang diserang. Beberapa sahabat Blog I-I menceritakan bagaimana file-file pribadinya tidak lagi dapat diakses dan dimintai uang ratusan dollar (antara 300-500 dollar) untuk membukanya, untungnya karena seluruh jaringan Blog I-I memiliki kebiasaan rutin untuk melakukan back-up data, maka serangan ransomware itu sama sekali tidak berpengaruh. Dengan mudah dilakukan reset komputer, reinstall windows, dan file-file nya tetap aman karena ada back-up dengan harddisk portable atau di komputer stand alone. Namun tentunya dapat dibayangkan betapa besar pengaruhnya kepada perusahaan, rumah sakit, dan institusi pelayanan masyarakat lainnya, gangguannya sangat merugikan masyarakat.


Berikut ini sedikit detil tentang karakter ransomware yang berbeda dengan malaware lainnya untuk diketahui sahabat Blog I-I:

  • Enkripsi tidak dapat dipecahkan artinya tidak dapat didekripsi sendiri dengan program tools dekripsi yang dijual umum maupun khusus oleh perusahaan di bidang cyber security. Program enkripsi file atau komunikasi biasanya memiliki kunci untuk membukanya dan file hasil program jenis ini biasanya dapat "dipaksa" dibuka dengan program dekripsi.
  • Ransomware mampu melakukan enkripsi seemua jenis file dari  dokumen sampai pictures, videos, audio files dan berbagai file lainnya di komputer anda
  • Mampu mengacak-acak nama file yang akan membingungkan pemilik komputer.
  • Membingungkan dan memaksa pengguna/pemilik komputer untuk membayar tebusan (ransom)
  • Menambahkan ekstension yang berbeda di file anda untuk menandai terjadinya serangan ransomware dan yang sudah banyak dipublikasikan adalah menampilkan pesan satu layar penuh bahwa komputer anda telah dienkripsi dan anda harus membayar tebusan dalam jumlah tertentu untuk dapat membukanya kembali,
  • Pembayaran dilakukan melalui Bitcoins karena crypto-currency ini tidak dapat dilacak oleh pakar cyber secuirty dan aparat hukum.
  • Biasanya pembayaran tebusan dibatasi oleh waktu pembayaran, dan untuk meningkatkan kepanikan permintaan tebusan akan meningkat setelah batas waktu tersebut, termasuk kemungkinan data/file menjadi hilang atau rusak selamanya.
  • Ransomware menggunakan sejumlah teknik pengalihan yang membuat program anti-virus gagal mendeteksi atau mencegahnya.
  • Komputer yang terinfeksi ransomware dapat menjadi jaring botnets, sehingga para pelaku kriminal cyber dapat mengembangkan infrastruktur untuk serangan berikutnya di masa mendatang dan dapat dengan cepat menyebar ke komputer PC lainnya dalam jaringan lokal (local network).
  • Ransomware mampu melakukan ekstraksi data-data dari komputer yang terinfeksi termasuk usernames, passwords, email addresses, dll dan mengirimkannya ke server pengendali yang dikontrol oleh pelaku kriminal cyber.
  • Ransomware juga melakukan target secara geografis, artinya tuntutan tebusan secara otomatis diterjemahkan dalam bahasa korban untuk meningkatkan potensi pembayaran tebusan.
  • Sejauh ini, kerawanan yang berhasil dieksploitasi adalah komputer berbasis windows, sementara komputer berbasis apple dan unix/linux belum terdengar adanya keberhasilan serangan ransomware.  
Langkah sederhana menghindari ransomware:
  • Hentikan kebiasaan mengunjungi website berbahaya seperti pornografi, judi, game online, film dan musik gratis, dan website yang menawarkan sesuatu yang too good to be true.
  • Hindari website/server atau sistem yang telah diserang ransomware karena dari sini juga dapat menyebar. Misalnya kantor anda telah diserang, maka PC pribadi anda sementara jangan digunakan untuk mengakses website kantor anda termasuk untuk membuka email kantor anda karena membukakan pintu untuk masuk ke komputer pribadi anda.
  • Tingkatkan kehati-hatian dalam membuka email, khususnya attachment. Langsung delete semua email yang terdeteksi spam atau yang tidak terdeteksi sebagai spam namun isinya mengandung link ke website yang mencurigakan atau tidak anda kenal.
  • Tingkatkan kehati-hatian terhadap removable drives seperti USB flash drives, portable harddisk, dan berbagai bentuk media drives lainnya. Karena bila telah terinfeksi akan segera menular ke komputer anda. Biasakan untuk memastikan bahwa removable drives yang anda gunakan bersih dari virus dan malaware.
  • Hati-hati dalam menginstal program baru apalagi bila pengembangnya tidak jelas, misalnya game yang anda download dari internet. Hal ini dikenal dengan teknik bundled, dimana malaware termasuk ransomware menjadi penumpang gelap.
  • Jangan lupa bahwa anda secara rutin melakukan back-up seluruh file anda, sehingga bila suatu hari lengah dan mengalami serangan virus atau malaware, anda tidak perlu panik karena punya file back-up untuk mengembalikan fungsi kerja komputer anda seperti sebelum serangan cyber tersebut.
Demikian catatan singkat Blog I-I, semoga bermanfaat.
Salam Intelijen,
Dharma Bhakti



Read More »
02.09 | 0 komentar

Sabtu, 13 Mei 2017

Memecah Belah Persatuan Indonesia: Sebuah Skenario Jahat



Strategi Divide et Impera - Divide and Rule - Divide and Conquer yang konon pertama kali dikembangkan oleh Philip dari Macedonia sangat sukses diterapkan oleh Kerajaan Hindia Belanda ketika menaklukan kerajaan-kerajaan di Nusantara yang sekarang bersatu menjadi Republik Indonesia. Banyak perdebatan tentang berapa lama sesungguhnya kekuatan politik dan sosial di seluruh Kepulauan Nusantara berada didalam genggaman Belanda, rakyat Nusantara diperas, dieksploitasi, diperkosa, dibunuhi, dan hidup dalam kehinaan, kemiskinan dan dibayangi kematian dari hari ke hari. Artikel hari ini mencoba melihat kembali bagaimana sebuah strategi memecah-belah konsentrasi kekuatan yang besar Nusantara ke dalam kekuatan-kekuatan kecil yang lebih mudah dkendalikan/dikontrol penjajah tersebut sangat mungkin untuk terjadi kembali di bumi tercinta Indonesia.
Aksi-reaksi kelompok-kelompok kekuatan di dalam negeri suatu negara adalah hal yang wajar dalam demokrasi dimana hal itu selalu berlandaskan kepada kepentingan kelompok. Namun demikian, dalam dinamika melakukan aksi yang biasanya berupa penyampaian aspirasi, usulan, atau kehendak tersebut ada koridor dan aturan mainnya. Demikian pula dalam menyampaikan reaksi yang biasanya berupa sikap, aspirasi, atau posisi terhadap suatu aksi juga berada dalam koridor dan aturan main. Dalam konteks Indonesia, koridornya adalah prinsip-prinsip kehidupan bernegara dan berbangsa yang merujuk kepada UUD 1945 dan Pancasila serta berbagai perundang-undangan di bawahnya. Sementara aturan mainnya adalah hukum positif yang berlaku di Indonesia. Secara teori, bila semua pihak yang merasa perlu melakukan aksi dan reaksi tersebut berada di dalam koridor dan aturan main, maka tidak akan terjadi musibah besar berupa konflik terbuka ataupun perpecahan di masyarakat.

Mengapa belakangan ini menjadi semakin marak terjadi penyampaian aspirasi yang cenderung "memaksakan" kehendak? Kemudian seiring dengan itu juga terjadi penyampaian reaksi yang juga cenderung "memaksakan" kehendak? Beberapa insiden bahkan mencerminkan adanya proses akumulasi emosi yang bersumber dari kepentingan sempit kelompok, kekecewaan, kecurigaan, kemarahan, bahkan kebencian. Aksi dan reaksi tersebut yang lebih mengerikan lagi adalah oleh masing-masing pihak diklaim berdasarkan kepada keyakinan-keyakinan, khususnya keyakinan beragama. Dalam sejumlah kesempatan kadang juga diwarnai oleh identitas-identitas khusus seperti etnisitas dan ideologi. Perlu ditegaskan bahwa tidak ada yang salah dengan keyakinan dan identitas tersebut, namun karena terjadi eksploitasi perbedaan berdasarkan kepada keyakinan dan identitas maka muncul apa yang disebut sebagai keadaan merasa "terancam" atau perasaan tidak aman (insecurity). Setiap dinamika aksi-reaksi antar kelompok dalam jumlah besar hampir selalu mempengaruhi psikologi massa khususnya di negara-negara yang tingkat individualismenya relatif kecil sedangkan karakter komunalnya besar seperti Indonesia. Perasaan tidak aman tersebut secara natural akan mendorong munculnya pemikiran untuk selamat, menyelamatkan diri, atau mencapai posisi yang relatif aman. Bagaimana caranya? memanfaatkan segala cara yang tampak dapat diterima secara demokratis seperti pengerahan massa untuk memaksakan "kehendak" tertentu.


Lingkaran aksi-reaksi yang terus-menerus dalam jangka waktu tertentu harus direspon oleh pemerintah dalam rangka meredakan ketegangan di masyarakat. Tujuannya adalah untuk mencegah konflik yang lebih besar seperti pertumpahan darah yang terjadi di Sampit, Poso dan Ambon. Sayangnya seringkali pemerintah berada dalam posisi yang bersebrangkan dengan salah satu kekuatan kelompok masyarakat yang melakukan aksi-reaksi tersebut. Hal itu dapat diperparah oleh lemahnya leadership dan adanya perbedaan kepentingan yang tajam di dalam tubuh pemerintah. Hal ini juga yang terjadi pada pemerintah lokal dan aparat keamanan di Ambon sehingga perpecahan mejadi sulit diatasi sampai akhirnya terjadi pertumpahan darah dalam waktu yang relatif lama. Dalam kondisi yang saling curiga, hanya dibutuhkan insiden berdarah dalam skala kecil untuk menyulut kerusuhan atau konflik yang besar.

Dari teori dan rangkaian cara berpikir kritis tersebut diatas, Blog I-I berharap pembaca Blog I-I dapat menyimak kembali artikel-artikel Blog I-I sebelumnya khususnya sejak artikel Politik Agama dan Intelijen sampai artikel Pilkada DKI Jakarta: Sebuah Perang Intelijen yang diikuti oleh sejumlah artikel lainnya. Pilkada Jakarta secara khusus menjadi bahan analisa Blog I-I karena perkiraan dampaknya yang sekarang mulai terasa di berbagai wilayah Indonesia dimana bibit-bibit perpecahan menjadi semakin kelihatan mulai tumbuh berkembang.

Sepintas lalu tampak Blog I-I "menyalahkan" Ahok dan menyarankan Pemerintahan Presiden Jokowi dan Parpol pengusung Ahok untuk "merelakan" Ahok sedini mungkin. Apabila sahabat Blog I-I membaca artikel-artikel Blog I-I dengan hati-hati, maka akan menemukan bahwa argumentasi Blog I-I bersifat imparsial berdasarkan fakta dan data serta menitikberatkan kepada pencegahan dan perkiraan masa depan. Jadi ketika menganalisa kasus penistaan agama bukan karena Ahok pasti bersalah atau karena adanya desakan dari sebagian kelompok masyarakat. Mungkin Blog I-I agak keterlaluan atau berlebihan ketika tidak lama setelah kasus penistaan agama muncul pada 21 September 2016 langsung menyampaikan perkiraan bahwa Ahok 100% pasti kalah dalam pilkada DKI Jakarta. Mungkin juga Blog I-I agak keterlaluan karena pada 24 April 2017 menyampaikan perkiraan intelijen bahwa Presiden Jokowi akan kalah dalam pilpres 2019 sebagaimana tertulis dalam artikel ini.

Analisa-analisa Blog I-I tersebut lebih berdasarkan kepada pencegahan semakin dalamnya perasaan tidak aman dan sikap saling curiga antar masyarakat. Kondisi inilah yang dalam artikel Mencegah Kehancuran Indonesia Raya digambarkan oleh Blog I-I sebagai potensi makar namun bukan rekayasa kejahatan makar sebagaimana Blog I-I telah berkali-kali mengingatkan Polisi seperti pada artikel Pencegahan Makar dan  Klarifikasi tentang Potensi Makar.

Pertanyaan bagi Intelijen adalah apakah semua itu berjalan wajar dalam koridor dan aturan main demokrasi dan hukum? Apakah aksi-reaksi tersebut murni sebuah dinamika masyarakat yang mencerminkan kepedulian terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara? Apakah yang belakangan ini kita lihat sebagai adanya "perpecahan" masyarakat karena pilihan politik masih dapat dikatakan wajar dan dapat diterima sebagai dinamika politik belaka? Ataukah ada kelompok tertentu baik di dalam negeri maupun kekuatan asing yang mendorong terjadinya perpecahan sebagaimana teori divide et impera?

Tidak mudah menjawab seluruh pertanyaan tersebut. Bahkan BIN dan BAIS TNI pun tidak mampu menjawabnya karena faktor SDM yang sangat lemah dengan level pendidikan dan analisa yang juga relatif rendah, gelar operasi yang terbatas, serta penetrasi informasi yang hanya menyentuh kulitnya saja.

Lantas apakah Blog I-I mampu menjawabnya? Blog I-I tidak lebih hebat dari BIN dan BAIS TNI karena SDM Blog I-I juga mantan BAKIN, BAIS TNI dan Polisi serta swasta yang peduli dengan NKRI. Artinya kami komunitas Blog I-I juga sama gobloknya dengan BIN, BAIS TNI dan Polisi.

Agak membingungkan juga dalam melihat dan menilai dinamika perpecahan yang membayangi perjalanan bangsa Indonesia belakangan ini. Namun baiklah, mari kita mencoba membedah dan memahaminya dari kacamata intelijen.

Pertama tentang kewajaran. Menurut Blog I-I keseluruhan aksi-aksi massa baik di Jakarta maupun di daerah-daerah yang membawa pesan kepentingan kelompok yang terkait dengan politik kekuasaan (pilkada) maupun sikap politik yang berbeda selama tidak dilakukan secara brutal menyebabkan terjadinya kerusuhan berada dalam level wajar. Kita patut berterima kasih dan menghargai kerja berat intelijen, Polisi dan juga dukungan TNI dalam menjaga ketertiban selama terjadinya aksi massa dalam jumlah besar tersebut. Meskipun berada dalam kewajaran, namun kewajaran tersebut telah menyentuh batas akhirnya dan hampir tergelincir kepada keadaan tidak wajar. Posisi menuju kepada tidak wajar tersebut terindikasi dari isi pesan-pesan yang ikut disuarakan bersamaan dengan pesan-pesan utama. Misalnya dalam kasus Ahok, pesan utama adalah penegakan hukum yang adil, namun pesan-pesan disampingnya adalah pemaksaan berupa penjarakan Ahok atau bahkan pesan yang bernuansa pemaksaan keyakinan dan nuansa-nuansa kebencian.





Hal yang sama juga terjadi dalam aksi massa penolakan Fahri Hamzah di Manado, dimana pesan utamanya adalah warga Manado yang melakukan aksi tidak berkenan dengan kunjungan Fahri Hamzah karena sikap dan pernyataan Fahri dinilai kontroversial dan mengundang terjadinya perpecahan. Namun pesan yang tampak selama aksi massa tersebut juga mencakup tuntutan pembubaran FPI, soal Khilafah, Wahabbi, Rizieq, Fadli Zon, Radikalis anti-Pancasila, dlsb. Artinya tidak terhindari bahwa apa yang terjadi di Manado terkait dengan posisi Fahri Hamzah dalam dinamika pro-kontra di Jakarta yang diwarnai isu agama.



Situasi yang mirip juga berkembang di beberapa daerah lain seperti pengusiran ustadz Shobri Lubis dan demo terhadap Gubernur Kalbar, Cornelis.

Sampai saat artikel ini ditulis, dinamika aksi-reaksi masyarakat yang terkait dengan keyakinan dan identitas tersebut memang belum dapat dikatakan sangat membahayakan atau akan segera pecah menjadi konflik yang lebih besar. Namun apabila tidak ada ketegasan dan upaya-upaya peredaan ketegangan, maka akumulasi emosi massa yang terkoneksi melalui provokasi di media sosial dapat mematangkan sikap saling curiga, antipati, dan kebencian, yang apabila dipicu oleh insiden tertentu (misalnya pembunuhan, perkelahian, kecelakaan yang menimpa salah satu anggota kelompok) maka konflik yang lebih besar dapat tersulut dengan cepat.

Kedua tentang koridor demokrasi dan aturan main hukum positif yang berlaku. Aksi massa adalah salah satu bentuk penyampaian pendapat dan aspirasi dalam koridor demokrasi. Batasannya jelas yakni dilakukan dengan damai. Sementara aturan hukumnya adalah berupa pemberitahuan kepada Polisi, adanya penanggung jawab, serta tidak disertai aksi-aksi kekerasan atau hal-hal yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban. Kemudian menjadi tugas Polisi untuk mengawal pelaksanaan aksi massa tersebut agar berjalan dengan tertib. Sejauh ini belum terjadi insiden korban mati akibat adanya intensi pembunuhan (seperti insiden Atmajaya dan Trisaksi) ataupun amuk massa dan kerusuhan dengan kekerasan. Insiden dalam Aksi Bela Islam 4 November 2016 yang memakan korban luka merupakan peringatan terbukanya potensi rusuh dari kerumunan manusia dalam jumlah besar. Terdeteksi adanya intensi menciptakan kerusuhan, sayangnya polisi belum mengembangkan teknik rekaman CCTV dari berbagai sudut untuk merekam seluruh pelaku kerusuhan. Korban 1 orang mati dalam aksi 4 November tersebut juga terbukti lebih karena kondisi fisik (sakit) dan bukan akibat tindak kekerasan.

Ketiga tentang murni tidaknya aksi-aksi massa. Hal ini dapat diperdebatkan karena tergantung pada data dan faktanya. Blog I-I mengambil posisi bahwa terjadi campuran dari kelompok masyarakat yang murni menuntut keadilan dan menyampaikan pendapat dan kelompok masyarakat yang secara politik memiliki kepentingan tertentu. Apabila dilakukan survei pada saat aksi massa, mungkin akan terungkap berapa % yang murni dan berapa % yang digerakkan oleh kekuatan tertentu. Salah satu teknik sederhana dalam melihat kemurnian aksi massa adalah mencatat seluruh pernyataan baik yang tertulis maupun yang disampaikan secara lisan, kemudian dibandingkan dengan pesan umum yang ingin disampaikan. Niscaya kita akan segera menemukan adanya pesan-pesan tumpangan yang mungkin tidak disadari oleh pelaku demonstrasi.

Apakah telah terjadi divide et impera baik oleh kekuatan di dalam negeri maupun oleh asing? Penganut teori konspirasi akan segera jatuh pada kesimpulan adanya pihak-pihak tertentu yang sedang mengadu domba sesama anak bangsa Indonesia. Tuduhan yang paling mudah untuk kekuatan di dalam negeri adalah kepada oposisi baik Gerindra dengan Prabowo-nya maupun Demokrat dengan SBY-nya. Hal itu kemudian dibumbui dengan peranan keluarga Cendana yang memback-up kebutuhan finansial untuk melemahkan Pemerintahan Jokowi. Sementara itu, tuduhan kekuatan asing yang paling mudah adalah di satu sisi kepentingan AS dan sekutunya dan di sisi lain adalah kepentingan China. Apakah benar demikian?

Blog I-I tidak anti dengan pendekatan teori konspirasi, namun tidak pernah menggunakannya sebagai pendekatan analisa utama. Teori konspirasi hanya berada pada posisi pembanding membuka alternatif pemikiran dan tidak menjadi arus utama pemikiran karena sifatnya yang penuh prasangka sebelum data dan fakta cukup untuk membuktikannya. Kebiasaan buruk penganut teori konspirasi adalah cenderung untuk mencocokan fakta dengan teori dan prasangka sehingga berpotensi menjauh dari realita dan obyektifitas.

Analisa Blog I-I tentang divide et impera adalah sbb:
  • Komunalisme (bukan komunisme) masih inheren (melekat erat) dengan kehidupan Bangsa Indonesia. Hal ini berlawanan dengan individualisme yang berkembang pesat di berbagai negara maju. Salah satu dampak dari komunalisme tersebut adalah mudahnya menggerakkan massa bahkan untuk isu-isu yang sebenarnya tidak menjadi kepentingan para individu dalam kelompok massa tersebut. Hanya diperlukan proses persuasi sederhana untuk menggerakkan massa yang secara emosional memiliki hubungan khususnya dalam kesamaan identitas (SARA). Aksi massa di negara maju hampir dapat dipastikan terkait dengan kepentingan para individu yang melakukan demonstrasi tersebut, dan sangat jarang terjadi ikut-ikutan dalam jumlah besar. Komunalisme yang banyak bersandar pada simbol-simbol kelompok (SARA) memberikan rasa aman kepada anggotanya masing-masing dan hal ini memelihara kotak-kotak garis pemisah yang tegas. Apakah berarti komunalisme buruk? Bukan begitu maksud Blog I-I, komunalisme adalah suatu keniscayaan di masyarakat yang kepo (penuh rasa ingin tahu satu dengan yang lain), baper (senang cari perhatian berdasarkan perasaan), kurang mandiri (berlindung dalam kelompok), dan kurang kerjaan (produkiftas rendah). Apabila anda super sibuk dengan cita-cita tinggi di bidang anda masing-masing, maka waktu untuk ikut-ikutan dalam kegiatan kelompok dengan simbol-simbol menjadi sedikit dan dampaknya menjadi kurang terikat dengan kelompok.  Komunalisme juga tidak buruk karena ada dampak positifnya berupa saling tolong-menolong dan gotong royong yang menjadi ciri bangsa Indonesia. Oleh karena itu, yang perlu dikembangkan oleh Pemerintah dan juga rakyat Indonesia adalah komunikasi yang baik antar komune-komune yang ada di Indonesia. Pemerintah HARUS adil dalam menyikapi perbedaan antara komune-komune (paling mudah dilihat berdasarkan SARA) yang ada di Indonesia. Faktor komunalisme inilah yang pernah dieksploitasi Penjajah Belanda untuk mengadu domba sesama masyarakat Nusantara dan mengendalikannya. Faktor komunalisme Indonesia era kemerdekaan masih sangat kuat dan berjalan sendiri-sendiri menuju kepada idealisme masing-masing. Itulah sebabnya pimpinan nasional para pendiri NKRI sepakat dengan Pancasila dan UUD 1945. Bahkan pimpinan  Muhammadiyah dan NU serta sejumlah ormas Islam yang paham tentang kondisi obyektif bangsa Indonesia rela untuk menanggalkan cita-cita Negara Islam sejak awal kemerdekaan. Sangat sederhana, yakni demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Singkat kata, potensi terpecah berdasarkan komunalisme telah ada dalam diri kita semua. Hanya kesadaran tentang pentingnya menghindari konflik besar teramat sangat penting. Hal itu bukan meniadakan perbedaan karena perbedaan adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari oleh manusia (kodrat yang telah ditentukan Tuhan YME).
  • Tidak tertutup kemungkinan adanya pihak-pihak baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang memanfaatkan potensi perpecahan dan karakter komunal di Indonesia tersebut. Namun apa yang sering terjadi adalah pada sikap para pemimpin di masing-masing komunitasnya. Apabila pemimpinnya mengajak ke kanan maka anggotanya ikut ke kanan, dan hal inilah yang kemudian direpresentasikan sebagai aksi massa, padahal hal itu sangat mungkin hanya keinginan para pemimpin dari komunitas yang berkarakter komunal tersebut. Singkatnya Blog I-I menyoroti berbagai dinamika aksi massa atas nama agama maupun kebhinnekaan sebagai refleksi dari pemikiran para pemimpin di kelompok masing-masing. Hal ini harus dipahami Pemerintah agar tidak salah dalam menyikapi dinamika sosial politik maupun konflik dan perbedaan di masyarakat. Secara khusus mari kita memperhatikan apa yang telah menimpa Ahok dan Fahri sebagai pemimpin, yakni kurangnya sensitifitas terhadap perbedaan-perbedaan di masyarakat Indonesia. Selain itu, orang Indonesia paling senang dimanja, dipuji, dihormati, dan diperlakukan baik secara kata-kata maupun perbuatan. Kemudian paling benci bila dihina, direndahkan atau diperlakukan rendah dengan sikap arogan. Baik Ahok maupun Fahri seringkali mungkin tanpa sadar mempertontonkan keyakinan kebenaran dirinya secara "sombong" yang dampaknya adalah merendahkan atau mengecilkan orang lain. Psikologi masyarakat Indonesia tidak dapat kita atur harus begini harus begitu, karena hal itu merupakan refleksi asli dan spontan dalam merespon perlakuan baik dengan kata-kata maupun perbuatan. Bukankah bangsa Indonesia juga dikenal sebagai putri cantik yang senang tidur (santai, rileks, malas), namun bila dihina dan diganggu dari tidurnya dapat sekejap berubah menjadi macan yang galak dalam amuk massa yang tidak takut mati? Itulah jatidiri bangsa yang seharusnya dapat berevolusi terus menjadi semakin baik dari waktu ke waktu. Kita bangsa yang memiliki kebanggaan (pride) yang tinggi, namun disaat bersamaan juga menghadapi kendala-kendala yang rumit/kompleks untuk membuktikan betapa tingginya peradaban Indonesia. Jangan lupa, bahwa bangsa yang besar di Nusantara dengan bukti-bukti sejarahnya akan tetap besar di era sekarang dan masa depan hanya bila kita semua sadar betul tentang kebesaran tersebut, dan bukan semata-mata merasa besar saja.
  • Faktor perebutan kekuasaan merupakan fakta sejarah karakter para pemimpin yang dari tahun ke tahun dari abad ke abad diwarnai konflik baik yang berdarah maupun yang damai. Faktor elit pimpinan kekuatan politik inilah yang paling krusial dan menentukan arah dari persatuan maupun perpecahan bangsa. Sejarah telah mencatat bahwa tidak sedikit elit pimpinan di Indonesia yang bekerjasama dengan Belanda menjadi boneka menjajah rakyat Indonesia demi kekuasaan dan kepentingan keluarga/kelompok. Sejarah telah mencatat bagaimana situasi nasional era Orde Lama dan era Orde Baru, kita juga melihat bagaimana Presiden-Presiden era reformasi sejak Habibie sampai Jokowi saat ini selalu mengalami rongrongan dari elit politik yang gagal memperoleh kekuasaan. Diperlukan kesadaran luar biasa untuk dapat MENERIMA dengan ikhlas permainan perebutan kekuasaan yang saat ini kita sepakat demokrasi dengan pemilu.
  • Kesimpulannya, semua kembali kepada diri kita, kepada bangsa Indonesia, dan kepada para pemimpin kita apakah akan terus memelihara perpecahan ataukah bersatu dalam kebhinnekaan untuk Indonesia yang lebih baik?
Salam Intelijen
Dharma Bhakti




Read More »
09.27 | 0 komentar

Indonesia Siapa Punya?

Oleh: DR. H. Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah)
Sumber: Publika online 27 November 2016

Siapa sesungguhnya pemilik Indonesia? Di negeri ini, tentu tak satu pihak mana pun berhak menepuk dada sebagai paling berdarah Merah Putih. Mengklaim diri sebagai pewaris dan penjaga utama Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD 1945. Indonesia milik semua untuk semua.



Sangat gegabah jika ada orang menyatakan, bahwa Indonesia belum teruji kebinekaannya jika minoritas belum menjadi seorang Presiden. Lebih-lebih ketika ujaran itu diungkapkan dengan nada angkuh, seolah ukuran keindonesiaan ialah kedigdayaan diri dalam singgasana kuasa. Sebuah kesombongan yang dapat menjadi duri tajam di tubuh negeri ini.

Manakala ada segelintir orang ingin menguasai Indonesia dengan hasrat kuasa berlebih. Ingatlah pesan Bung Karno, "Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!". Jangan ada pihak yang ambisius untuk memiliki Indonesia dengan nafsu chauvisnis.

Bercerminlah pada jiwa kenegarawan para pendiri bangsa. Tatkala Ki Bagus Hadikusumo, menyampaikan gagasan Islam sebagai dasar negara pada sisang Badan Penyelidik Usaha-usaha Peraiapan Kemerdekaan (BPUPK), Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah ini dengan tegas menyatakan bahwa dirinya adalah "seorang bangsa Indonesia tulen" dan "sebagai Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan merdeka".

Pengorbanan umat

Umat Islam meski mayoritas dan kuat keyakinan keagamaaanya, sungguh mencitai dan menjadi tonggak penyangga keindonesiaan yang setia. Umat juga sangat toleran dan menjunjungtinggi kebhinekaan. Keislamannya tidak opisisi biner dengan keindonesiaan dan kemajemukan bangsa, bahkan menjadi perekat utama. Islam menjadi kekuatan integrasi nasional, ujar Prof Koentjaraningrat.

Merupakan suatu ironi dan melukai hati manakala umat Islam dianggap sebagai golongan ekslusif, yang hanya mementingkan urusannya sendiri. Keislaman juga bukan tidak berseberangan dengan keindonesiaan. Jika ada yang berlogika, "Tak perlulah bicara Islam, sebutlah Indonesia". Pandangan itu justru beraroma ekslusif, karena mengandung makna penegasian Islam di negerinya sendiri.

Tak perlu ada Islamofobia di negeri muslim terbesar ini, karena watak umatnya juga toleran dan menjadi penyangga utama Indonesia. Ketika terdapat arus aspirasi umat Islam untuk memperoleh hak dan keadilan, sungguh bukankah primordialisme. Aspirasi itu ekspresi yang wajar, lebih-lebih salurannya demokratis dan konstitusional. Jangan pandang Islam di negeri ini sebagai ancaman keindonesiaan dengan segenap pilarnya.

Pandangan negatif itu tentu sangat tidak beralasan. Perjuangan umat Islam melawan penjajah beratus tahun sarat heroisme. Islam dan umat Ialam sangat ditakuti Penjajah, hingga memggunakan berbagai muslihat yang licik. Para tokoh seperti Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol harus menyerah karena ditipu. Snouck Hurgronje bahkan harus mengaku Muslim untuk dapat masuk ke Saudi Arabia guna mempelajari Islam untuk menaklukkan perlawanan umat Islam.

Ketika pergerakan nasional awal abad keduapuluh menggunakan cara-cara modern, umat Islam pun berdiri di garda depan. Adalah Sarekat Islam dan Muhammadiyah yang memelopori pergerakan Islam modern untuk melawan penjajah dan mengubah nasib rakyat Indonesia yang terbelakang menuju gerbang kemerdekaan dan kemajuan. Lahirnya Hizbul Wathan atau Pasukan Tanah Air tahun 1918 salah satu contoh kepeloporan bela bangsa kala itu, sebagai wujud jihad fisabilillah.

Tatkala Indonesia diambang retak satu hari setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dalam peristiwa Piagam Jakarta, umat Islam melalui tokoh utamanya Ki Bagus Hadikusumo dengan mediator Kasman Singodimedjo memberi jalan keluar, meski harus berkorban luar biasa. Padahal Piagam Jakarta kala itu merupakan Gentlement Agreement semua golongan, yang pelopor utamanya ialah Soekarno.

Para tokoh Islam yaitu Agus Salim, Abdul Kahar Mudzakir, Abikusno Tjokrosujoso, dan Abdul Wahid Hasyim, sebagai anggota Panitia Sembilan yang disebut mewakili golongan Islam harus merelakan tujuh kata "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Pengorbanan keyakinan Islam itu, meski ada unsur siasat tidak fair, dilakukan para wakil umat Islam demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kurang apalagi sebenarnya pengorbanan dan komitmen umat Islam Indonesia untuk bangsa dan negaranya. Jika mau memaksakan kehendak sebagai mayoritas pasti terjadi. Lebih-lebih tokoh sentral seperti Sukarno menjadi pemrakarsa dan sangat mendukung Piagam Jakarta itu, hingga pada 5 Juli 1959 dalam Dekrit Presiden, konsisten menjadikan Piagam Jakarta sebagai jiwa UUD 1945. Itulah hadiah terbesar umat Islam untuk Indonesia, ujar Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara.

Namun ibarat ibu yang melahirkan anak, kasih sayangnya melampaui luasnya samudra. Meski laksana anak gemuk yang memperoleh baju sempit karena semua diberi pakaian berukuran sama, umat Islam tetap selalu memberi tak pernah meminta lebih. Apalagi tatkala ada segolongan kecil menguasai kue nasional yang melampaui takaran, umat Islam tetap tak marah meski hatinya terluka dan dirinya marjinal dari pusaran utama Indonesia.

Urat sabar umat Islam juga cukup lebar dan tidak putus. Tatkala hak-hak dasarnya kurang terpenuhi, karena satu dan banyak sebab, yang menjadikan dirinya terpinggir dalam sejumlah hal, pengkhidmatannya untuk negara tak kenal lekang. Bahkan ketika denyut nadi keagamaannya tersakiti dan menunut keadilan, malah dipandang sebagai ancaman bagi kebhinekaan. Kebhinekaan terkesan milik sekelompok orang yang bersuara lantang di ruang publik.

Nilai luhur utama 

Keindonesiaan itu luhur dan bercita-cita. Bung Hatta berkata: "Indonesia merdeka tidak ada gunanya bagi kita, apabila kita tidak sanggup untuk mempergunakannya memenuhi cita-cita rakyat kita, yakni hidup bahagia dan makmur dalam pengertian jasmani maupun rohani". Hatta menarik keindonesiaan pada cita-cita dan perwujudannya dalam dunia nyata. Manakala ada segolongan kecil yang bahagia dan berkemakmuran, sementara mayoritas nestapa maka kondisi timpang ini harus diluruskan dan dipecahkan secara kolektif. Negara atau pemerintah wajib hadir dan tidak boleh abai atas disparitas nasional ini.

Pemilik Indonesia juga bukan mereka yang setiap hari lantang memekikkan kata merdeka. Bukan pula karena sering merayakan segala kegiatan simbolik berlabel Indonesia, kebhinekaan, dan jargon-jargon bernuansa merah-putih lainnya. Semua baju luar itu sekadar atribut dan verbalisme, belum membuktikan keindonesiaan yang esesni dan sejati. Keindonesiaan itu harus bersemi dalam jiwa, alam pikiran, sikap, dan tindakan yang luhur dan utama sebagaimana disemaikan oleh para pendiri bangsa tahun 1945 secara otentik. Keindonesiaan yang membumi.

Maka dalam keindonesiaan, termasuk di dalamnya kebhinekaan, sesungguhnya ada nilai-nilai utama yang mesti dijadikan pedoman dan ditegakkan oleh seluruh komponen bangsa. Tumpuannya pada nilai-nilai fundamental yang hidup subur dalam bumi rakyat Indonesia, sebutlah Agama dan Pancasila. Agama di negeri ini bahkan telah menjadi jiwa kebangsaan dan mendapat tempat konstitusional sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang-tubuhnya pasal 29. Ingatlah kemerdekaan Indonesia itu berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Agama juga telah hidup mendarahdaging dalam jatidiri bangsa jauh sebelum negara Indonesia terbentuk.

Agama harus memperoleh tempat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Agama apapun tidak boleh disepelekan, diabaikan, dan dipinggirkan dari denyut nadi kehidupan bangsa dan negara. Sekali agama dan perasaan beragama dicederai, dinodai, dan dinista oleh perangai yang semberono maka keindonesiaan dan kebhinekaan pun terlukai. Ada niat atau tidak diniati, tindakan yang berakibat pada pencederaan keyakinan dan rasa keberagamaan tetaplah bermasalah dan muaranya menodai keberagamaan.

Namun bagi umat beragama, tentu agama pun harus menjadi nilai luhur transendental yang mencerahkan jiwa, hati, pikiran, sikap, dan tindakan bagi para pemeluknya. Sehingga dengan agama para umatnya hidup berketuhanan, berperikemanusiaan, dan berkeadaban mulia. Setiap insan beragama menjadi shaleh secara individual dan sosial, serta melahirkan sosok-sosok teladan yang otentik. Jujur dan tidak menjualbelikan urusan agama. Beragama dan menyuarakan ajaran damai pun bukanlah retorika di pentas forum dan wacana megah, tetapi harus dalam perbuatan otentik. Para tokohnya pun lurus hati dan tidak seperti burung merak. Agama harus benar-benar menjadi rahmat bagi semesta.

Nilai luhur lain dalam hidup berbangsa ialah kebersamaan yang otentik atau genuin sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan kebudayaan bangsa. Tidak boleh segelintir orang menguasai Indonesia, yang menyebabkan hilangnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Tidak boleh seseorang atau sekelompok orang karena merasa digdaya lantas berbuat sekehendak dirinya, yang menyebkan kehidupan berbangsa secara kolektif menjadi retak berantakan. Apalagi manakala perangai ugal-ugalan itu mengatasnamakan keindonesiaan, kebhinekaan, dan Pancasila.

Jika semua merasa memiliki Indonesia maka belajarlah hidup dalam kebersamaan yang otentik dan tidak egoistik. Perlu saling membangun keadaban luhur dalam berbangsa dan bernegara. Mereka yang besar jangan menguasai, yang kecil pun tidak anarki. Semua harus saling berbagi, saling memahami, serta menjamin hak hidup yang damai dan saling memajukan dengan jiwa tulus tanpa pura-pura. "Mayoritas melindungi minoritas, minoritas menghormati dan menghargai mayoritas," tutur Presiden Joko Widodo. Lalu, untuk apa menguasai Indonesia dengan hasrat angkara?

Catatan Blog I-I
Pemikiran Sdr. Haedar Nashir merupakan jalan tengah Islam Indonesia yang dapat direpresentasikan oleh Muhammadiyah sejak sebelum kemerdekaan dan paska kemerdekaan. Selain itu, juga sedikit banyak mirip dengan pemikiran para pimpinan Nahdlatul Ulama (NU) dan ormas Islam yang besar lainnya, dimana pengorbanan mayoritas umat Indonesia untuk sebuah konsep negara Republik Indonesia yang berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945 bukan meninggalkan prinsip keIslaman melainkan sebuah terobosan dan kompromi yang luar biasa dalam membangun sebuah negara bangsa yang modern.

Tuduhan sebagian kelompok Islam yang masih menghendaki Negara Islam bahwa Republik Indonesia adalah negara Thogut yang dipimpin para Thogut yang harus diperangi jelas tidak benar. Apa yang terjadi dalam sejarah perjalanan umat Islam Indonesia adalah pencarian pola dasar sumber legitimasi negara yang menghindari terjadinya konflik terbuka karena perbedaan prinsipil yang bersifat ideologis maupun praktis. Karena Indonesia sejatinya adalah negara baru yang memiliki latar belakang perbedaan yang sangat bervariasi baik secara etnisitas suku, keyakinan agama, maupun kelompok, maka model negara yang memasukan berbagai elemen perbedaan sebagai perekat persatuanlah yang dianggap tepat oleh para pendiri bangsa termasuk pimpinan umat Islam yang mewakili mayoritas umat Islam.

Sementara itu, bahwa masih ada golongan kecil yang menginginkan suatu bentuk negara yang eksklusif untuk golongan tertentu seperti kaum fanatik komunis dan kaum fanatik agama merupakan realitas sosial politik yang tidak terhindarkan dalam perjalanan bangsa Indonesia.

Pemikiran Sdr. Haedar Nashir sejalan dengan seluruh artikel analisa bernada peringatan Blog I-I terhadap pemerintahan Jokowi-JK terkait hiruk-pikuk Islam VS Kebhinnekaan. Baca: Politik, Agama dan Intelijen, Tentang Propaganda Intoleransi, Dinamika Toleransi dan Politik Radikal di Indonesia.

Read More »
02.24 | 0 komentar

Rabu, 10 Mei 2017

Belajar intelijen: Berita Bohong (Fake News)



(Sumber ilustrasi dari search di google image)


Seiring dengan perkembangan zaman, saat ini anda semua akan mudah mendapatkan bahan pelajaran intelijen yang di masa lalu sangat rahasia dan hampir tidak mungkin diakses atau dipelajari masyarakat umum. Salah satu teknik intelijen kuno yang saat ini marak terjadi di Indonesia adalah penyebaran berita bohong atau fake news atau hoax yang cukup merepotkan bukan saja aparat keamanan dan negara, namun juga meresahkan masyarakat karena menciptakan kebingungan dan mengiring masyarakat untuk berpikir atau berprasangka secara keliru terhadap suatu keadaan, terhadap suatu masalah ataupun terhadap seseorang atau kelompok orang.


Artikel ini semoga dapat membuka mata dan telinga kita semua warga bangsa Indonesia utuk senantiasa waspada terhadap berbagai bentuk berita bohong yang dapat menyebabkan kita berkonflik, terpecah-belah atau berada dalam keadaan yang tidak nyaman. Sumber analisa ini adalah pelatihan khusus CIA yang pernah kami terima puluhan tahun silam.

Mari kita perhatikan bagaimana sebuah proses berita bohong dibuat!

Sebagai pelaksana operasi propaganda, hal pertama yang harus dilakukan adalah memahami kondisi sosial politik dan ekonomi secara umum yang ditopang dengan dasar pengetahuan sosiologis dan antropologis tentang masyarakat/komunitas atau kelompok yang menjadi target berita bohong. Beruntung bila anda adalah sarjana sosiologi atau antropologi apalagi mereka yang sudah berpengalaman dalam studi etnografi. Karena sangat sedikit intel aktif Indonesia saat itu yang memiliki latar belakang pendidikan yang cukup di bidang ilmu-ilmu sosial tersebut, maka untuk crash program diwajibkan membaca beberapa copy buku teks ilmu sosiologi dan antropologi. Mengapa bukan politik atau ekonomi? Ilmu yang paling cepat memahami suatu masyarakat secara utuh adalah sosiologi dan antropologi, sementara politik dan ekonomi dapat melengkapi kemudian setelah pondasi ilmu sosiologi dan antropologi anda cukup mapan.

Berdasarkan pada pengetahuan dasar yang bersifat akademis dan praktis tersebut, barulah kita masuk pada pengenalan awal tentang apa itu "berita bohong". Secara definisi akan mudah karena berita bohong sebagaimana tersurat dan tersirat adalah berita atau kabar atau informasi yang bohong atau tidak benar. Namun dalam teknis pembuatannya harus melalui serangkaian proses penelitian dan penyusunan yang cukup panjang dan kadang menjadi agak kompleks disesuaikan dengan tujuannya.

Pada tahap awal ini anda akan mengenal sejumlah istilah-istilah yang sebenarnya cukup umum dalam bahasa Inggris, namun dalam sekolah khusus propaganda dimaknai secara khusus. Saya akan sharing sedikit saja disini, misalnya deception (desepsi) yang dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah pengelabuan dalam prakteknya memiliki beberapa tingkatan.

Tingkat paling rendah adalah pengalihan perhatian yang sangat sering terjadi dan dipraktekkan di Indonesia dimana suatu berita benar dibombardir dengan berita benar yang lain semata-mata untuk mengalihkan perhatian publik.

Pada level menengah biasanya dirancang sejumlah campuran berita benar dan salah serta penggabungan antara pengalihan perhatian dan penggiringan sudut pandang dimana tujuannya lebih dari sekedar pengalihan perhatian, yakni menciptakan pemahaman tertentu sesuai keinginan pelaku propaganda.

Pada level yang paling kompleks pelaku propaganda terdiri dari beberapa kelompok yang terputus hubungan (tidak berkomunikasi), saling bertentangan, sehingga tercipta polemik dan silang pendapat publik yang tajam, namun sesungguhnya diantara kelompok pelaku propaganda tersebut ada yang "paling kuat". Namun karena tidak ada komunikasi maka pelaksana propaganda tidak tahu siapa yang paling kuat. Dalam kaitan ini, master mind propaganda mengendalikan seluruh kelompok pelaksana propaganda yang tidak saling tahu tersebut. Tanda-tanda keberhasilan propaganda kompleks ini adalah terciptanya reaksi asli dari masyarakat yang menjadi sangat terbawa emosi dan biasanya mengarah kepada konflik terbuka atau minimal benturan antar kelompok. Teknik kompleks ini biasanya berada di dalam kerangka covert action menggulingkan suatu pemerintahan.

Setelah dapat membedakan level-level desepsi tersebut, maka sesuai dengan maksud dan tujuannya perancang propaganda akan menentukan bermain pada level mana, dan hal selanjutnya adalah pengumpulan informasi tentang isu-isu yang dapat dimainkan.  Setelah isu-isu yang akan dimainkan telah dipilih berdasarkan pada tingkat pengaruh dan sensitifitas yang disesuaikan dengan tujuan propaganda, maka dipersiapkan penyusunan pola penyampaian propaganda dari yang halus dan argumentatif sampai kepada yang sangat kasar dan provokatif. Penggunaan simbol-simbol dengan penguatan moral dan nilai-nilai juga menjadi hal dasar propaganda desepsi halus, bahkan kadang dalam argumentasinya didukung oleh hasil penelitian akademis, polling atau pendapat pakar yang telah dipesan atau dipersiapkan. Sementara itu, untuk propaganda kasar dan provokatif menggunakan pilihan kata dan kalimat yang mengundang emosi manusia baik berupa ujaran kebencian,  merendahkan, penyebutan nama dengan tidak hormat (name calling), bully, penghinaan, dan lain sebagainya.

Sebelum masuk ke dalam teknik penulisan, ada baiknya sahabat-sahabat Blog I-I membaca buku public opinion karya Walter Lippmann dan manufacturing consent yang ditulis oleh Edward S. Herman dan Noam Chomsky. Buku Walter Lippmann dapat dikatakan karya klasik yang masih relevan dan sementara buku Herman dan Chomsky setidaknya memberikan pemahaman umum tentang propaganda, model-model komunikasi, politik, media, dan bisnis yang mana buku ini memperlihatkan bagaimana media dan editorial bekerja dalam kacamata propaganda. Apabila anda sudah bekerja di media massa baik cetak maupun elektronik, saya tidak akan menggurui lebih lanjut karena anda akan sangat cepat memahami dampak dari sebuah rangkaian pemberitaan terhadap dinamika sosial politik dan ekonomi masyarakat. Biasanya pada level minimal editor anda akan dengan sangat mudah menjadi master mind propaganda dengan perbedaan dengan propagandis murni intelijen pada kerumitan level desepsi. Seorang editor kadang melakukan desepsi berupa pengalihan perhatian berita karena tekanan pemiliki media massa. Hal itu sangat mungkin terjadi karena pilihan berita maupun opini yang diangkat adalah oleh editor, sementara editor hampir tidak mungkin melawan kepentingan pemilik media.

Berhubung Eyang Senopati Wirang dan beberapa senior mengingatkan bahwa teknik penulisan berita bohong sebaiknya tidak diajarkan kepada masyarakat, maka saya cukupkan seri belajar intelijen ini sampai disini dahulu. Masih ada sangat banyak istilah khusus berita bohong yang dilatih oleh CIA yang dapat dipelajari misalnya bogus (tidak asli, bohong atau palsu) termasuk jenis desepsi yang sangat sederhana dan pendek. Contoh bogus:  Jokowi PKI, SBY dalang Aksi Bela Islam, Makar Terhadap Jokowi, Anies/Sandi akan terapkan Syari'ah Islam, AS mendukung kemerdekaan Papua, dan lain sebagainya yang semuanya dapat dilakukan baik pemerintah maupun non-pemerintah. Tujuannya lebih sederhana yakni menghancurkan reputasi target berita bogus atau bahkan menciptakan kekacauan berdasarkan pada bogus tadi.

Sedikit catatan tambahan: perkembangan media sosial dan kolom komentar pada media mainstream memberikan ruang bermain yang lebih luas lagi dimana pada saat ini pemain propaganda berita bohong relatif leluasa menyebarkan berita bohong tanpa dapat disentuh oleh karena kecerdikan penggunaan ribuan akun-akun palsu. Hal ini bukan fenomena khas Indonesia, melainkan terjadi di berbagai negara di dunia. Pada awalnya pengembangan media sosial adalah bagian dari kerjasama intelijen dengan pengembang medsos dan berbagai aplikasinya untuk mengetahui pandangan dan reaksi masyarakat. Efektifitas tapping telepon oleh intelijen menjadi terbatas karena informasi yang diperoleh hanya pembicaraan dua orang, sementara untuk mengetahui dinamika publik diperlukan ruang obrolan (chat) yang sifatnya lebih besar dan massal, sehinga dinamika pandangan dan reaksi publik dapat dengan mudah direkam dicatat dan dijadikan bahan analisa yang bahkan secara statistik dapat dicari korelasi hubungan antara suatu isu dengan isu lain. Sebelum berkembangnya facebook dan twitter, intelijen telah mempersiapkan jebakan media sosial yang lebih terbatas berupa grup-grup email dan forum-forum komunikasi online yang diakses dengan keanggotaan. Semua data tersebut masuk dalam mesin penganalisa di NSA dan sekutunya.

Namun demikian ternyata yang mendapatkan manfaat dari perkembangan media sosial bukan hanya intelijen, melainkan juga para pemain propaganda atau para pekerja provokator yang dapat dengan mudah menawarkan sebuah "kampanye" untuk kepentingan tertentu yang sebenarnya sarat dengan berita bohong. Sementara itu, publik baik tokoh maupun orang biasa secara umum adalah bagian permainan dimana disadari atau tidak akan ikut-ikutan meramaikan dinamika propaganda yang dihembuskan. Perhatikan bagaimana dinamika pro dan kontra di media sosial selama pilkada DKI Jakarta (ini hanya contoh yang paling mudah dan jelas terlihat).

Semoga bermanfaat,
Salam Intelijen
Dharma Bhakti

Read More »
16.03 | 0 komentar