Senin, 08 Mei 2017

Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)


Sebuah kebijakan anti-demokrasi yakni memberangus kebebasan berkumpul, berorganisasi, dan bependapat akhirnya ditempuh Pemerintahan Jokowi. Korban pertama adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebuah ormas Islam yang masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Dalam perkembangannya pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir tersebut merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan (sumber: HTI). HTI yang terdaftar di KemenkumHAM dengan status sebagai badan hukum “perkumpulan” NO: AHU-00282.60.10.2014 merupakan korban dari kegeraman politik karena kekalahan partai politik penguasa yang menjadi sangat khawatir dengan pilpres 2019 yang telah diramalkan Blog I-I akan menjadi sejarah kekelahan telak Presiden jokowi bila maju lagi.

Pemerintah sangat tergesa-gesa karena secara sepihak dan politis mengambil kebijakan yang tidak demokratis tersebut. Hal ini misalnya kita dapat melihat tidak adanya langkah-langkah pembuktian hukum maupun proses dialog dan pendekatan persuasif. Boleh jadi alasan anti-Pancasila ada benarnya, yakni dalam rangka mencegah membesarnya gerakan pendukung Khilafah yang berarti mengganti Pancasila dengan ideologi Islam yang dianut mayoritas bangsa Indonesia. Namun demikian, sejauh mana bahaya gerakan HTI yang menyatakan diri sebagai parpol namum tidak ikut pemilu dan bergerak di luar sistem politik Indonesia tersebut?

Hizbut Tahrir berdiri pada tahun 1953 di Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina dengan fokus perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah ini dipelopori oleh ulama alumni Al Azhar Mesir, Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani yang pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina. Hizbut Tahrir kini telah berkembang ke seluruh negara Arab di Timur Tengah, termasuk di Afrika seperti Mesir, Libya, Sudan dan Aljazair. Juga ke Turki, Inggris, Perancis, Jerman, Austria, Belanda, dan negara-negara Eropah lainnya hingga ke Amerika Serikat, Rusia, Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan Australia. Kontroversi Hizbut Tahrir dalam posisinya yang selalu oposisi dengan pemerintah di berbagai negara telah menyebabkan HT juga dilarang di sejumlah negara. Tentu sangat mudah dan ringan bagi Pemerintahan Jokowi untuk memberantas HTI hingga ke akar-akarnya dengan pembubaran atau pelarangan.

Pesan paling penting, paling mendasar, dan paling utama dari pembubaran HTI adalah sebagai contoh bagi siapapun orang Indonesia yang mengaku Islam untuk jangan coba-coba menempuh gerakan Islam Politik yakni mencita-citakan terbentuknya Khilafah atau Negara Islam. Namun alasan yang dikemukakan Menkopolhukam Wiranto adalah sbb:
  1. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak mengambil peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. ---> Dapat disimpulkan bahwa kegiatan pendidikan pengkajian Islam, dakwah, sosial, dan lain-lain yang dilakukan HTI tidak diakui sebagai bagian dari proses pembangunan masyarakat.
  2. Kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2013 tentang ormas. ---> Dapat disimpulkan bahwa seluruh kegiatan HTI adalah anti-Pancasila walaupun HTI tidak tercatat melakukan pelanggaran hukum berupa terorisme, pembunuhan, makar, dan lain sebagainya.
  3. Aktivitas yang dilakukan HTI nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat yang pada gilirannya dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta membahayakan keutuhan Indonesia. ---> Merujuk kepada dinamika politik nasional yang belakangan ini terjadi, maka arahnya adalah kegagalan Pemerintahan Jokowi melindungi Ahok dari blunder penistaan agama dan kekalahan telak Ahok yang dibalas dengan intimidasi politik terhadap gerakan politik Islam.
Apakah berarti jaringan Blog I-I mendukung HTI atau telah kesusupan orang-orang HTI yang tersebar luas diberbagai lapisan masyarakat hingga elit politik dan pemerintahan? Jawabnya TIDAK.

Blog I-I yang saat ini juga dimusuhi Intelijen Resmi dan Polri namun tetap dekat dengan TNI merasa prihatin dengan cara-cara Pemerintahan Jokowi menyelesaikan masalah justru melahirkan masalah baru. Sepintas dengan membungkam aspirasi masyarakat tampak menyelesaikan masalah, namun sesungguhnya justru menciptakan sebuah rangkaian persoalan yang akan semakin besar dan pada saatnya pemerintah akan bingung mengapa konflik menjadi semakin meruncing dan kemudian pecah menjadi konflik besar.

Cita-cita 100 Tahun Indonesia dengan angan-angan menjadi negara besar dengan perekonomian yang kuat, sejahtera merata dan bermoral agama akan kandas di tengah jalan apabila pemerintah dalam mengatasi persoalan menggunakan pendekatan yang tidak demokratis. Kekecewaan demi kekecewaan akan bertumpuk dari waktu ke waktu yang pada gilirannya akan melahirkan sikap apatis terhadap pemerintah bahkan menjadi antipati. Ketidakadilan demi ketidakadilan hanya karena untuk melindungi kelompok tertentu atas nama Pancasila tidak ada bedanya dengan cara-cara yang ditempuh Pemerintah Orde Baru yang kemudian pada akhirnya meledak di penghujung tahun 1990-an.

Alasan anti-Pancasila adalah sebuah proses stigmatisasi yang saat ini sangat kelihatan menargetkan ormas-ormas Islam yang kemarin bergerak memenangkan pasangan Anies/Sandi dalam pilkada Jakarta. Tanpa suatu proses yang transparan dan dapat dibuktikan obyektifitasnya, Kemenkopolhukam melakukan klaim atas dasar aspirasi masyarakat dan hukum yang berlaku membubarkan HTI. Namun apakah Kemenkopolhukam juga mendengarkan aspirasi dan penjelasan pihak-pihak yang langsung terkena dampak (HTI) maupun pihak yang lebih netral seperti MUI dan pakar tokoh-tokoh Islam yang mumpuni yang mungkin berbeda-beda pandangannya. Menurut sumber Blog I-I, prosesnya cepat dan sangat tidak transparan.

Artinya apa? ada kekuatan tertentu yang mendesak ditempuhnya sebuah kebijakan fasis atau yang lebih halusnya otoriter yang menargetkan kelompok masyarakat tertentu. Siapakah kekuatan tersebut? Silahkan anda cari sendiri karena pastinya teramat sangat rahasia dan besar kekuatannya.

Fenomena kebijakan anti-demokrasi yang ditempuh Pemerintahan Jokowi dengan membubarkan HTI mengawali rangkaian analisa perkiraan kekalahan Jokowi dalam Pilpres 2019 sebagaimana telah dinyatakan Blog I-I pada 19 April yang lalu.

Berikut ini logika berpikir kritis yang dikembangkan jaringan Blog I-I dalam menatap dan mengintip kabut masa depan Indonesia:
  1. Sesungguhnya Presiden Jokowi cukup baik dan cakap dalam melakukan tugasnya sebagai Presiden dan khususnya dalam kesederhanaan berpikir untuk memajukan Indonesia melalui program-program pembangunan, kerja nyata, dan relatif bersih dari kepentingan keserakahan pribadi dan keluarganya. Kita patut bersyukur dengan pemimpin yang memiliki karakter yang baik tersebut. 
  2. Persoalan utama Presiden Jokowi adalah pada lemahnya strategi jangka panjang memelihara harmoni sesama anak bangsa Indonesia berdasarka demokrasi. Strategi kadang tampak sederhana namun lebih sering menjadi kompleks dan rumit karena kalkulasi yang matang memerlukan proses kerja nyata Intelijen dengan informasi yang akurat serta penggalangan yang efektif. Sepintas lalu kebijakan berdasarkan pada wacana ANTI-PANCASILA tampak baik dan efektif dan tepat sasaran serta akan meredam berbagai tekanan masyarakat yang menciptakan perpecahan. Namun konteks dan waktunya sangat salah, yakni ketika nuansa kontestasi politik pilkada masih sangat segar dalam ingatan kita dan bahkan dalam pilkada 2018 akan kembali membahana.
  3. Terjadi semacam perasaan "tidak aman" (insecure) pada pemerintah karena pertama masih kurang solidnya leadership Presiden Jokowi yang seharusnya tercermin dari kepatuhan para pembantunya termasuk Wakil Presiden JK. Sesungguhnya perbedaan pendapat, kepentingan, dan kalkulasi politik dalam Pemerintahan Koalisi adalah hal yang biasa dan tidak perlu menciptakan kekhawatiran yang berlebihan. Selain itu, fenomena Aksi Bela Islam sejak tahun lalu yang menyerap perhatian bangsa Indonesia khususnya umat Islam juga memposisikan seolah-olah mereka yang menuntut keadilan terhadap Ahok adalah juga oposisi Pemerintahan Jokowi, padahal belum tentu. Kekeliruan analisa tersebut yang dilakukan oleh intelijen dan polisi menyebabkan kegamanangan bagaimana mengatasinya? Langkah yang paling mudah: BUBARKAN saja! Masalah Aksi Bela Islam sesungguhnya dapat meningkatkan kepercayaan umat Islam kepada Presiden Jokowi andaikata Ahok direlakan untuk diadili seadil-adilnya tanpa intervensi politik kekuasaan yang berlebihan. Meskipun Ahok cakap dalam memimpin DKI dan dinilai berhasil, Ahok kurang layak dibela secara berlebihan karena sikapnya yang sombong dan tidak mengerti terima kasih serta cenderung memancing konflik (baca: Arogansi Ahok).  
  4. Nasi sudah menjadi bubur, Ahok dibela habis-habisan. Wacana yang dibangun pemerintah bersama pendukung Ahok dalam membela Ahok adalah kebhinnekaan, toleransi, pluralisme, dan Pancasila. Disadari atau tidak pembelaan tersebutlah yang menciptakan perpecahan karena dihadapkan dengan Islam. Entah siapa yang paling piawai dalam permainan politik ini, akhirnya hal itu terus bergulir secara liar yang semakin menurunkan kepercayaan sebagian umat Islam terhadap kepemimpinan Ahok dan kemudian terbukti dengan kekalahan telak Ahok sebagaimana telah diramalkan Blog I-I tidak lama setelah Ahok melakukan blunder pernyataan yang menyinggung umat Islam. Lanjutan dari benturan Islam dengan Pancasila tersebut adalah peningkatan rasa saling curiga yang semakin tegas. Bahwa telah terjadi politisasi atas nama agama di satu sisi dan politisasi atas nama Pancasila di sisi lain. Masing-masing pihak merasa benar dan memiliki tujuan yang benar pula, dan ketika perasaan benar tersebut saling bertabrakan maka potensi konflik mengkristal. Hanya masalah waktu saja akan terjadi musibah baik dari level terendah berupa perdebatan yang dilandasi rasa "permusuhan" sampai level tertinggi berupa pertumpahan darah. Kunci pencegahan pertumpahan darah ada di tiga organisasi keamanan yakni TNI, Polri dan Intelijen. Kemudian kunci untuk menghilangkan rasa "permusuhan" ada di berbagai simpul sosial di masyarakat.
  5. Penistaan agama, defamasi, blasphemy, atau apapun istilahnya tidak seharusnya memecah belah rakyat Indonesia. Biasanya kasus penistaan agama menimpa individu atau kelompok kecil yang nyeleneh menyimpang dan mengganggu kenyamanan beragama di Indonesia. Benar bahwa dosa Ahok tidak sebesar dosa tokoh atau kelompok aliran sesat yang menyesatkan masyarakat dengan tipu daya yang merugikan secara materil dan immateril bahkan kadang korban jiwa. Dosa Ahok hanya blunder bicara saja, yang berhasil dikapitalisasi lawan politik untuk mengalahkan Ahok. Adakah yang salah dengan kapitalisasi kelemahan Ahok? Tidak, hal itu sah secara hukum dan politik dan demokratis. Sebuah fenomena yang juga ekstrim adalah pada kampanye membesar-besarkan Ahok seolah sebagai pahlawan tanpa menyinggung kesalahan Ahok. Meniadakan elemen kesalahan Ahok berupa blunder pernyataan, sama saja dengan menghina seluruh umat Islam Indonesia. Diperlukan kearifan dalam berpropaganda dan menyatakan pendapat. Misalnya posisi Blog I-I sejak 9 bulan yang silam adalah bahwa Ahok "salah" dalam kategori mengeluarkan ucapan/ujaran yang tidak patut di depan publik atau salah bicara atau blunder pernyataan saja. Namun karena tidak ada itikad baik yang sungguh-sungguh dari Ahok untuk menyadari kesalahan "kecil" tersebut, maka oleh lawan politik Ahok berhasil dikapitalisasi menjadi gerakan sosial yang besar di seluruh Indonesia. Hal itu bukan saja semata-mata untuk pilkada DKI Jakarta, melainkan juga untuk pilkada di berbagai daerah dan juga menjadi genderang awal untuk pilpres 2019. Sikap defensif Pemerintah dan para pendukung berat Ahok terlalu kentara dan berlebihan serta sangat memaksakan pendapat baik secara simbolis dalam bentuk karangan bunga maupun kampanye di media sosial dan seluruh media mainstream nasional cetak dan elektronik. Justru semua upaya-upaya tersebutlah yang menkristalkan rasa "permusuhan" di antara anggota masyarakat. Sayangnya Pemerintahan Jokowi tidak mampu melihat itu semua. Ujungnya adalah mengulangi pola pendekatan Orde Baru dengan label, stigmatisasi, dan marjinalisasi terhadap gerakan Islam politik yang secara teori akan mendorong kegiatan mereka ke bawah tanah dan bahkan cenderung menguatkan radikalisasi dan terorisme.  
  6. Dua dampak lanjutan dari dinamika yang membenturkan Pancasila dengan Islam: (a) Sebagian kecil kelompok Islam pendukung syari'ah mengalami eforia dengan kebablasan mengkampanyekan Khilafah secara masif melalui media sosial atau bisa juga justru dilakukan oleh mereka yang anti-Islam agar kelompok Islam dihantam oleh Pemerintahan Jokowi, dan  (b) Semakin dalamnya rasa saling curiga antara pihak yang mengatasnamakan agama Islam dan mereka yang secara politik mengatasnamakan kebhinnekaan yang terkristalisasi selama pilkada DKI Jakarta, serta efek domino yang mulai terasa di berbagai daerah di Indonesia.   
  7. Alih-alih mengembalikan harmoni masyarakat khususnya secara sosial dan politik, Pemerintahan Jokowi mendapatkan masukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang posisi penting Pancasila sebagai ideologi negara. Kebetulan sebagaimana tampak pada nomor 6, berbagai bentuk sosialisasi Khilafah yang belum tentu dilakukan oleh HTI dkk menjadi sangat banyak belakangan ini tersebar cepat baik dalam bentuk video, gambar, tulisan melalui berbagai aplikasi sosial media. Tiba-tiba tercipta kesan adanya ancaman terhadap Pancasila, jawabannya adalah terjadi peningkatan ancaman dari kelompok-kelompok yang dilabelkan secara sepihak oleh pemerintah sebagai anti-Pancasila. Kemudian pengkajian Kemenkopolhukam menghasilkan keputusan membubarkan HTI.
  8. Bumbu penyedap proses pembenturan Pancasila dengan Islam yang paling berbahaya sesungguhnya adalah pihak-pihak yang memfasilitasi agen asing Allan Nairn dengan propaganda jahatnya. Belakangan ditengarai bahwa telah terjadi Sandiwara Allan Nairn dan Soleman Ponto mantan Kepala BAIS yang memberikan terjadinya kesan peristiwa MAKAR terhadap Pemerintahan Jokowi. Bahkan beberapa Jenderal aktif yang ingin menggulingkan kepemimpinan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo juga ikut serta menciptakan cerita-cerita makar. Untuk lebih jelasnya silahkan ditanyakan kepada Soleman Ponto yang sudah kelewatan dalam mengkondisikan keadaan yang memojokan kelompok-kelompok Islam melalui Allan Nairn. Meskipun Soleman Ponto hanya pion kecil saja, namun sebagai mantan Kepala BAIS tentu cukup besar pengaruhnya. Sedihya Allan Nairn masih terus difasilitasi untuk menyebarkan propaganda jahatnya misalnya melalui Kompas TV bersama Aiman Witjaksono pada Senin 8 Mei 2017 jam 20.00.
Delapan poin tersebut adalah satu rangkaian peristiwa yang ke depan akan semakin melemahkan Presiden Jokowi dalam pilpres 2019, dengan logika sbb:
  1. Masyarakat khususnya umat Islam terlepas apakah mereka radikal atau moderat, pendukung Khilafah, Islam tradisional, Islam modern, Islam politik, Islam KTP, Islam munafikun, Salafi-Wahabbi, NU, Muhammadiyah, Persis, FPI, dan lain-lain akan ingat bahwa selama Pemerintahan Jokowi begitu banyak wacana terkait tentang gerakan Islam. Wacana tentang "Makar" yang dikaitkan dengan Islam dan hoax keterlibatan tokoh TNI adalah wacana yang paling sensitif, padahal gerakan Islam yang belakangan ini terjadi sangat jauh dari level gerakan Islam Darul Islam pada tahun 1949-1962. Aksi Bela Islam I, II, II dst juga sangat jauh dari kekecewaan Politik Masyumi di era Presiden Sukarno. Hal itu sangat menyakitkan dan bahkan berpotensi menarik minat kelompok Islam moderat untuk berhati-hati dengan Presiden Jokowi. Kemudian terjadi juga kriminalisasi ulama baik dengan rekayasa "makar",  operasi intelijen yang menimpa Habibe Rizieq dengan tuduhan skandal seks, dan penyadapan pembicaraan Ketua MUI dengan Preside ke-6 SBY. Dalam kalkulasi dan analisa Blog I-I, saat ini hanya umat Islam dalam NU dan PKB yang masih sedikit bersimpati dengan langkah-langkah Presiden Jokowi secara umum. Sebagian tokoh NU khususnya di kalangan pesantren modern NU sudah kurang percaya dengan Jokowi, sehingga Jokowi akan akan sangat bergantung kepada Ketua PKB, Muhaimin Iskandar pada Pilpres 2019 nanti. Kebijakan membubarkan HTI sangat disayangkan langkahnya kurang pas, yakni melalui keputusan politik dulu baru kemudian menempuh jalur hukum. Seharusnya evaluasi terhadap HTI tidak melalui Kemenkopolhukam melainkan melalui kajian KemenhukHAM yang kemudian dapat mengajukan proses hukum pembubaran HTI karena alasan ini dan itu yang sah dan kuat secara hukum. Artinya sangat ketahuan bahwa motivasi pembubaran HTI adalah keputusan politik yang mendahului proses hukum sehingga dapat dinilai kurang atau bakan tidak demokratis.
  2. Berangkat dari poin 1, Presiden Jokowi secara khusus dan Pemerintah secara umum kehilangan simpati dari kelompok masyarakat yang merupakan anggota HTI, dan mereka yang bersimpati terhadap HTI. Mungkin jumlahnya hanya jutaan dan masih dibawah 10 juta orang. Namun demikian, perasaan senasib dari "ketidakadilan" Pemerintah akan memperbesar jumlah tersebut dan sulit dipastikan mencapai berapa % dari jumlah penduduk Indonesia. Ketidakadilan yang dimaksud adalah dalam keterkaitan dengan kasus penistaan agama oleh Ahok dan hubungannya dengan pembubaran HTI. Meskipun akan dibantah habis-habisan, namun urutan waktu dan fakta terjadinya peristiwa pembubaran HTI paska kekalahan Ahok sulit dipisahkan. Seandainya tidak ada kontestasi panas pilkada Jakarta, tentu pengkajian dan evaluasi terhadap HTI akan jauh lebih bersih dan netral dari unsur politik kekuasaan.
  3. Meskipun secara politik kenegaraan, adalah sah dan benar untuk ditempuh suatu langkah pencegahan terhadap perkembangan faham yang dapat melemahkan ideologi negara Pancasila, namun cara mengatasi rongrongan terhadap ideologi Pancasila tersebut dapat dikatakan tidak demokratis dan kurang tepat dan malahan akan menjadi bumerang bagi Pemerintahan Jokowi. Kurang konsistensi dalam menerapkan prinsip dasar demokrasi yang menghargai perbedaan termasuk ideologi ini merupakan faktor krusial yang dapat dikapitalisasi dalam wacana "Pemerintahan Jokowi Anti-Islam". Hal itu merupakan reaksi logis dari labelisasi Anti-Pancasila. Demikian besar bahaya pembenturan Pancasila dengan Islam, maka Blog I-I merasa perlu menyampaikan koreksi agar pendekatan Pemerintah lebih hati-hati.
  4. Apakah hanya kelompok Islam saja yang menyoroti kebijakan pemerintah? Tidak, mereka yang jujur memperjuangkan demokrasi di dalam hati kecilnya juga tidak setuju dengan cara-cara labelisasi dan stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok tertentu di masyarakat. Meskipun kelompok yang diberikan label tersebut terbukti melakukan kegiatan yang berbahaya, pendekatan hukum harus berada di depan, sehingga tertutup ruang tuduhan terjadinya politisasi oleh Pemerintah.
  5. Apabila oposisi pintar, memanfaatkan dinamika sosial-politik dan blunder kebijakan Presiden Jokowi memerlukan keahlian analisa dampak dan propaganda yang halus. Hal ini untuk menghindari sorotan dari publik secara luas yang melihat oposisi sebagai oportunis belaka yang memanfaatkan masalah-masalah nasional tanpa ada solusi yang lebih baik. Oposisi harus melakukan kajian seksama untu menawarkan solusi yang lebih tepat selagi Pemerintah melakukan sejumlah blunder. Tentunya bahasa-bahasa politis dengan sindiran halus dan sudah cukup dan apabila hal ini terus terulang dan terpelihara hingga 2019, maka dalam polling menjelang Pilpres 2019 nanti akan terbukti penurunan elektabilitas Presiden Jokowi.
  6. Hanya berdasarkan faktor Islam saja, Presiden Jokowi akan mengalami masalah dengan elektabilitasnya. Terlalu banyaknya posisi-posisi penting yang diberikan kepada mereka yang kurang memperhatikan kepentingan umat Islam sudah menjadi faktor penting, ditambah perkembangan wacana ketidakadilan Presiden Jokowi terhadap kelompok Islam. Walauppun yang ditarget adalah para pembela syari'ah, namun cara dan pendekatannya sangat tidak elegan. Bandingkan dengan pendekatan makan siang atau makan malam Jokowi dengan diskusi terbuka dengan kelompok lain. Mengapa tidak ada sama sekali upaya dialog dengan mereka yang dilabel anti-Pancasila.
  7. Tindak saran untuk Pemerintah, perbaiki kebijakan dan langkah-langkah strategis dan taktis dalam menghadapi gerakan Islam pendukung syariah dengan tekanan agar patuh kepada hukum. Proses hukum jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan daripada keputusan politik yang rawan penyalahgunaan dan sorotan publik. Ketegasan untuk menjaga keutuhan NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945 sangat diperlukan, namun tidak berarti mengorbankan proses dan cara-cara yang demokratis. Hal ini juga akan mengurangi kemungkinan terjadinya situasi kontra produktif dari keputusan politik dapat ditafsirkan macam-macam.
Semoga artikel Blog I-I ini tidak diartikan sebagai rongrongan, atau sikap Anti-Pemerintah. Meskipun Blog I-I diblokir pemerintah atas masukan dari BIN, dimusuhi Intelijen resmi dan Polisi, namun Blog I-I akan tetap berkarya menyampaikan analisa kritis, bukan untuk kekuasaan, uang, ataupun popularitas, tetapi untuk kejayaan Indonesia baik saat ini maupun di masa mendatang.

Salam Waskita, Salam Intelijen
Dharma Bhakti
Share this article now on :

Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( :-p =))