Rabu, 25 Oktober 2017

Mengapa Laksamana Muda Soleman Ponto "Menyerang" Panglima TNI?

Tidak sedikit tokoh, politisi, pejabat, dan mantan pejabat yang menyoroti sikap dan pernyataan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo. Entah hal itu berdasarkan pada sudut pandang yang obyektif ataupun yang secara subyektif bernada "menyerang" kredibilitas Panglima TNI. Namun artikel ini hanya membahas bagaimana tokoh intelijen membangun opini yang tampak meyakinkan sekaligus membuat Panglima TNI tampak buruk atau setidaknya kurang profesional, ambisius, dan emosional. Tokoh intelijen tersebut adalah Laksamana Muda Soleman B Ponto.

Indikasi berdasarkan bukti-bukti

Cara paling mudah melihat pola-pola propaganda publik adalah berdasarkan pada bagaimana seseorang atau suatu kelompok memformulasikan suatu sudut pandang tertentu kepada pihak yang diserang. Dalam kaitan ini Blog I-I akan mengangkat kasus penolakan Panglima TNI ke AS yang dikomentari atau dipropagandakan dalam sudut pandang tertentu oleh Soleman Ponto. 

Sejumlah pandangan Soleman Ponto yang dimuat berbagai media nasional dan online sebenarnya biasa saja, namun perhatikan secara seksama bagaimana Ponto menyisipkan pesan-pesan yang dapat diterjemahkan lain. Dari wawancara dengan jurnalis Okezone Rayful Mudassir misalnya terpublikasikan bahwa Panglima TNI Batal ke AS Bukan Ditolak, dalam penjelasannya Ponto menyebutkan tentang masalah boarding pass Doha-Washington (mungkin maksudnya Dubai-Washington red.) yang tidak keluar yang kemudian dinyatakan kemungkinan masalah salah penulisan nama. Perhatikan bagaimana Ponto beropini sebagaimana dikutip langsung dari wawancara tersebut:

“Visa ada, (saat boarding tidak keluar) beliau (Jenderal Gatot) langsung marah, langsung bilang saya ditolak, padahal enggak ada yang nolak. Boarding saja yang terlambat keluar, 4 jam saja sudah selesai. Dan Amerika bilang saya mau membiayai penerbangan selanjutnya Panglima mengganggap itu penolakan Pemerintah AS. Sebenarnya tidak seperti itu," kata Soleman kepada SINDOnews, Rabu (25/10/2017).”

Mengapa Ponto yang tidak hadir saat Panglima TNI di bandara mendapatkan penjelasan dari Maskapai Emirates dapat memberikan pernyataan yang demikian? Sebagai mantan Kepala BAIS mungkin Ponto masih dapat mengakses sejumlah PATI dan PAMEN yang bertugas di BAIS dan mencari tahu apa yang terjadi di Bandara.

Dari propaganda yang dikembangkan Ponto, seolah penolakan Panglima TNI masuk AS tersebut adalah semata-mata pernyataan Panglima TNI, bahkan dengan nada yang marah-marah. Faktanya adalah bahwa boarding pass maskapai penerbangan apapun dengan tujuan AS tidak akan keluar apabila pihak yang berwenang memberikan izin masuknya seseorang ke AS tidak mengeluarkan izin. Pihak Custom and Border Protection AS memiliki sistem komputer yang terintegrasi dengan pihak Keamanan dan Kementerian Luar Negeri, sehingga apa yang disebut sebagai kekeliruan administrasi di AS adalah benar-benar rahasia mengapa bisa terjadi demikian. Kategori visa yang diterima Panglima TNI bukanlah visa biasa sebagaimana kita ingin melakukan kunjungan wisata ke AS dengan proses panjang antri dan perjanjian serta wawancara dan lain sebagainya. Sehingga sangat tidak masuk akal apabila terjadi kesalahan administrasi yang menyebabkan tidak keluarnya boarding pass Panglima TNI sebagaimana disebutkan oleh pihak Custom and Border Protection AS. Itulah sebabnya meskipun Blog I-I sejak awal telah mengindikasikan kemungkinan adalah kesalahan administrasi dalam artikel Panglima Gatot Nurmantyo, Blog I-I menduga adanya setting khusus AS yang secara strategis dirancang untuk menguji Jenderal Gatot. Semua argumentasi yang dikemukakan Blog I-I adalah berdasarkan pada fakta dan indikasi-indikasi yang berkembang. Mengapa secara resmi dipilih alasan kesalahan administratif pemerintah AS?  Hal ini selain untuk menutupi setting dan maksud yang sesungguhnya, juga untuk menjaga kewibawaan seluruh lembaga terkait dalam insiden penolakan Jenderal Gatot ke AS termasuk Custom and Border Protection (CBP) dan Kedubes AS yang dalam pemberitaan banyak dituduh sebagai sumber masalah.

Kemudian Soleman Ponto juga memberikan penjelasan melalui TVOne yang dikutip oleh berita online Viva dengan judul Eks Kepala BAIS: Kata Siapa Panglima TNI ditolak ke AS? Dalam penjelasannya, Ponto juga membantah telah terjadi penolakan masuknya Panglima TNI ke AS dan bersikukuh bahwa ada sistem protokoler yang tidak dipenuhi sehingga boarding pass kedua menuju AS tidak keluar. Sebuah alasan yang agak aneh yang dikeluarkan mantan Kepala BAIS karena boarding pass bukanlah jaminan seseorang dapat masuk ke suatu negara. Boarding pass dikeluarkan oleh maskapai penerbangan untuk penumpang agar dapat boarding masuk pesawat dan melewati wilayah terlarang di bandara yakni area tunggu sebelum masuk pesawat. Namun khusus untuk AS, setiap maskapai penerbangan wajib memberitahukan pihak CBP untuk mendapatkan clearance untuk mengeluarkan boarding pass. Ketika pihak CBP AS tidak memberikan tanda clear kepada maskapai penerbangan Emirates untuk memberikan boarding pass kepada Panglima TNI, maka otomatis pihak maskapai Emirates tidak dapat memberikan boarding pass kepada Panglima TNI. Sebagaimana dikutip dari Liputan6, pemberitahuan penolakan Panglima TNI masuk AS disampaikan pihak maskapai Emirates atas permintaan otoritas Keamanan Dalam Negeri AS (DHS c.q. CBP). Artinya fakta-fakta yang terkuat adalah bahwa alasan sistem protokoler yang tidak terpenuhi sama sekali tidak rasional.

Soleman Ponto juga memberikan pendapat kepada Sindo tentang Batalnya Panglima TNI ke AS, sekali lagi Ponto mencoba memutarbalikan fakta dengan pernyataan: "Panglima mengganggap itu penolakan Pemerintah AS. Sebenarnya tidak seperti itu," kata Soleman kepada SINDOnews, Rabu (25/10/2017)." Hal ini jelas arahnya dimana seolah-olah Panglima TNI adalah sumber informasi tentang penolakan AS tersebut, dan Ponto juga menyalahkan ketiadaan koordinasi antara pihak Panglima TNI dan Otoritas di AS serta ditambahkan tidak adanya pengawalan/pendampingan Athan AS dalam perjalanan Panglima TNI ke AS. Pertanyaan kemudian adalah sejak kapan Athan di suatu negara "menjadi syarat" protokoler kunjungan Panglima Tinggi negara akreditasinya ke negara asal Athan? Janganlah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada atau menjadi kelaziman dalam hubungan diplomasi militer antar negara. Benar bahwa biasanya Athan yang bertugas di suatu negara mendampingi Panglima Tinggi negara akreditasinya ketika dilakukan kunjungan resmi ke negara asal Athan, biasanya dalam kerangka bagian dari kunjungan kenegaraan bersama Presiden atau kunjungan kerja dalam kaitan kerjasama militer. 

Lebih teliti lagi, perlu digarisbawahi bahwa otoritas boleh tidaknya seseorang masuk ke AS berada ditangan DHS c.q. CBP karena mereka juga yang mengolah visa izin masuk AS dengan berkoordinasi bersama Kementerian Luar Negeri dan Keamanan (CIA, FBI) dan tidak ada kaitannya dengan protokoler, apalagi soal pendampingan oleh Athan. Fakta penolakan oleh CBP adalah tetap fakta keras (hard fact), dan apabila hal itu tidak segera dikomunikasikan oleh Panglima TNI kepada Presiden serta kemudian menjadi berita nasional dan internasional maka mungkin CBP tidak segera menyelesaikan dalam waktu 4 jam. Kedubes AS juga tidak perlu minta maaf sekiranya pihak Panglima TNI, BAIS TNI dan Athan RI di Washington DC dan Athan AS di Jakarta tidak berfungsi sebagaimana mestinya sebagaimana diduga oleh Ponto.

Masih ada sejumlah pemberitaan propaganda Ponto yang lain terkait masalah penolakan Panglima TNI masuk AS yang dapat dibedah. Namun karena masih mirip-mirip, maka fakta-fakta tersebut diatas sudah cukup untuk dipahami oleh sahabat-sahabat Blog I-I dalam mengembangkan analisa yang obyektif.

Sahabat pembaca Blog I-I perlu juga teliti mengapa Blog I-I mengangkat masalah opini yang dikembangkan Soleman Ponto. Pertama Ponto adalah salah seorang anak didik terbaik senior jaringan Blog I-I yang sebagian telah meninggal dunia, tentunya menjadi tugas kami untuk meluruskan anak didik kami. Ponto tahu persis kelemahan-kelemahan intelijen baik militer maupun sipil yang semakin kehilangan gigi karena sistem pendidikan yang buruk dan pengabaian terhadap ilmu dan prinsip intelijen. Di Angkatan Laut, Ponto sangat kritis dan terhadap TNI juga demikian untuk kemajuan TNI, khususnya di bidang intelijen. Saat masih sebagai pejabat militer aktif, Ponto pernah sangat kritis dan marah dengan jenderal-jenderal "sampah" yang sebenarnya tidak lulus pendidikan syarat menjadi Jenderal kemudian juga dengan lemahnya pengetahuan intelijen para Pamen dan Pati yang berkiprah dibidang intelijen. Hal itu semua sangat baik, dan komunitas Blog I-I mendukung obyektifitas dan kritik Ponto tersebut. Namun belakangan ini mengapa Soleman Ponto tampak melangkah jauh dari prinsip-prinsip intelijen yang dipegangnya. Misalnya dalam teknik propaganda mengapa Ponto tidak menghindari pernyataan yang langsung "menuding" Panglima TNI. Seharusnya Ponto dapat memilih kata dan kalimat yang lebih elegan dan tetap obyektif dalam analisanya. Anggap saja artikel ini sebagai teguran keras kepada Ponto untuk lebih teliti dan cerdas lagi dalam beropini.

Artikel ini adalah bagian dari bahan pelajaran propaganda dan konter propaganda yang merupakan bacaan wajib jaringan dan komunitas Blog I-I. Artikel ini bukan dukungan kepada Panglima atau menyerang Soleman Ponto, tetapi lebih untuk mendudukan persoalan pada tempatnya.

Semoga bermanfaat
Salam Intelijen
Senopati Wirang

Read More »
23.43 | 0 komentar

Minggu, 22 Oktober 2017

Jenderal Gatot Nurmantyo




Nama Gatot Nurmantyo semakin sering menjadi pembicaraan masyarakat Indonesia dan pemberitaan media massa. Sesungguhnya cukup wajar bagi seorang Jenderal Bintang 4 dengan posisi sebagai Panglima TNI, seorang Gatot Nurmantyo menjadi sorotan publik. Terlepas dari baik dan buruknya, atau pro dan kontra, sosok Gatot perlahan namun pasti merayap terus meningkat popularitasnya. Terakhir terjadi insiden penolakan Gatot untuk masuk ke Amerika Serikat yang kemungkinan besar hanya disebabkan oleh dua hal: (1) Sudah menjadi settingan AS untuk semakin meningkatkan popularitas Gatot; (2) Murni kesalahpahaman antara Departemen Pertahanan AS, Kemlu AS, dan Pabean dan Perlindungan Perbatasan AS.

Apabila Jenderal Gatot dapat berkunjung ke AS maka dampaknya akan positif untuk Gatot, namun bila tetap gagal juga akan positif. Tentunya sahabat Blog I-I berpikir mengapa bisa demikian. Betapapun pihak-pihak yang sering memojokkan Gatot Nurmantyo menciptakan opini negatif, sikap dan posisi yang diambil Gatot memperoleh tempat tersendiri di hati masyarakat Indonesia. Misalnya dalam isu kedekatan Gatot dengan kelompok Islam, hal ini tidak serta merta dapat diperkecil ke kelompok Islam garis keras melainkan justru lebih merata ke berbagai lapisan masyarakat Islam. Misalnya dalam posisi Gatot yang membawa TNI lebih netral daripada Polisi atau BIN dalam menyikapi pilkada DKI Jakarta. Tidak dapat dipungkiri bahwa langkah-langkah yang ditempuh Gatot mendapatkan simpati yang luas di masyarakat.

Kesan negatif yang ingin dilabelkan kepada Gatot dalam kasus 5000 senjata hampir merata di berbagai media nasional dengan tuduhan utama Panglima TNI sedang berpolitik. Padahal penyebab utamanya adalah bahwa ada pihak-pihak di sekeliling Jokowi yang ingin merenggangkan hubungan Panglima TNI dengan Presiden, sehingga Gatot tidak dapat menyampaikan laporan langsung kepada Presiden dan akhirnya memilih tempat lain demi penegakkan hukum bahwa Polisi dan BIN tidak seharusnya memiliki senjata dengan spesifikasi militer. Belakangan akhirnya terbukti bahwa Brigade Mobil (Brimob) Polisi membeli senjata dan amunisi yang masuk dalam kategori militer, sehingga akhirnya amunisinya ditahan militer.

Masalah persenjataan Brimob sesungguhnya adalah warisan sejarah dimana spesifikasi senjata standar Brimob adalah yang paling mirip dengan militer. Dimasa Polisi masih menjadi bagian dari TNI, hal itu tidak menjadi masalah dalam pengadaan persenjataan Brimob. Namun setelah berpisah, maka seharusnya Polisi khususnya Brimob juga mulai menata ulang sistem persenjataannya, bahkan menyerahkan seluruh persenjataan lama yang berspesifikasi militer.

Berbagai ceramah Jenderal Gatot di perguruan tinggi dan kunjungan ke daerah-daerah khususnya ke komunitas Islam di Indonesia juga mendapat sorotan seolah sebagai bagian dari langkah politik Panglima. Hal itu bisa saja ada benarnya, namun bila diperhatikan mengapa banyak yang mengundang dan menginginkan kehadiran dan pencerahan dari Panglima tentunya kita tidak dapat mengabaikan fakta ini.

Kembali pada kasus penolakan Jenderal Gatot masuk AS. Apapun penjelasan resmi Pemerintah AS melalui Kemlu AS atau Kedubesnya di Jakarta sebaiknya jangan terlalu dipercaya karena hal itu hanya bagian dari skenario seolah ada masalah internal di AS terkait Jenderal Gatot. Selain itu AS tidak akan pernah memberikan penjelasan mengapa dan dalam dunia diplomatik sudah menjadi hal yang biasa bahwa insiden sejenis ini tidak perlu dijelaskan secara detil. Lebih jauh, bila diperhatikan rangkaian pemberitaan nasional dan internasional tentang Jenderal Gatot akan menguntungkan Jenderal Gatot sendiri, sehingga dapat dilihat sebagai bentuk paradoks dukungan AS kepada Jenderal Gatot. Mengapa AS mendukung Jenderal Gatot? Berdasarkan informasi jaringan Blog I-I di AS, Jenderal Gatot memiliki catatan yang baik di mata AS bahkan dalam analisa intelijen militer AS, Jenderal Gatot diperlukan untuk memimpin Indonesia baik sebagai Wapres ataupun Presiden untuk memastikan stabilitas Indonesia. Kedekatan Jenderal Gatot dengan kelompok Islam adalah poin yang sangat penting karena hal itu sekaligus juga dapat meredam tekanan kelompok Islam Indonesia yang anti AS. Berdasarkan kepada realita kepemimpinan Presiden Jokowi yang lemah dalam menghadapi China serta kelemahan Presiden Jokowi dalam kalkulasi strategi politik luar negeri dan performa kepemimpinan di kawasan, maka diperlukan sosok yang lebih kuat dan sebagai alternatif adalah Jenderal Gatot. Hal tersebut setidaknya semakin meyakinkan Blog I-I bahwa AS sengaja menciptakan suatu skenario "insiden" yang sesungguhnya merupakan sebuah dukungan tersembunyi kepada Jenderal Gatot. Dengan mengantongi dukungan AS dan kedekatan dengan kelompok Islam, maka tidak dapat dipungkiri bahwa sosok Jenderal Gatot berpotensi untuk terus bergerak naik. Sejumlah penghalang tentunya juga telah siap sedia, khususnya dari Intelijen yakni BIN yang ternyata berada dibelakang pemblokiran Blog I-I sebagaimana disampaikan oleh Kemenkominfo kepada jaringan Blog I-I. Namun organisasi BIN saat ini telah dipenetrasi sangat dalam oleh Panglima TNI dan Kepala BIN sama sekali tidak berdaya. Kepala BIN hanya dapat terus berkiprah pada level nasional paska 2019 apabila mampu menemukan waskita BIN yang tersembunyi sebagaimana disampaikan Eyang Senopati Wirang yang meramalkan kekalahan Jokowi pada pilpres 2019.  Kemungkinan besar penyelamat Jokowi selain waskita yang bersembunyi di BIN, adalah Jenderal Gatot bila kubu Jokowi mampu mengkondisikan Jenderal Gatot menjadi Cawapres Jokowi.

Terkait analisa sikap Jenderal Gatot yang kritis terhadap AS dan Australia seperti dalam analisa Jewel Topsfield1 dan Jewel Topsfield2, atau komentar bencana diplomatik seperti diberitakan  detik merupakan bagian dari polemik dugaan-dugaan yang mengkaitkan sikap Jenderal Gatot dengan insiden penolakan masuk AS tersebut. Sementara yang sesungguhnya adalah benar merupakan setting yang sangat baik apabila Jenderal Gatot mengerti dan dapat menerima apa adanya serta tetap rileks, proporsional dan profesional dalam menyikapi insiden yang menimpanya. Hal ini amat sangat berbeda dengan penangkalan AS yang dikenakan kepada sejumlah Jenderal Indonesia yang terlibat kasus pelanggaran HAM berat. Apa yang sedang diuji oleh AS adalah sejauh mana Jenderal Gatot bereaksi, apakah akan sangat keras dan menjadi anti AS sehingga dapat menjadi dasar AS untuk tidak mendukung Jenderal Gatot, ataukah sangat lemah dan ngambek sehingga dianggap tidak potensial untuk memimpin Indonesia yang besar, ataukah rasional, proporsional dan profesional sehingga dapat menjadi mitra seimbang bagi kepentingan AS sekaligus memiliki keseimbangan dalam hubungannya dengan umat Islam Indonesia.

Apakah berarti Blog I-I dalam artikel ini mendukung dan ikut mempopulerkan Panglima TNI? Jawabnya tidak. Sebagai komunitas intelijen non pemerintah yang tertua, tentunya Blog I-I boleh saja memberikan perkiraan-perkiraan ke depan sebagaimana juga sebelumnya sering dilakukan Blog I-I. Hingga saat ini hampir seluruh perkiraan Blog I-I tepat dan sangat sedikit yang meleset. Apa yang ingin Blog I-I sampaikan adalah bahwa Panglima Gatot Nurmantyo memiliki potensi yang besar untuk menjadi salah satu calon pemimpin nasional. Merujuk kepada hasil survei Indikator Politik, Charta Politika, dan SMRC, nama Jenderal Gatot Nurmantyo sudah mulai muncul sejak sebelum pertengahan 2017. Entah sebagai calon wakil presiden ataupun sebagai calon presiden, perlahan nama Gatot terus bersinar mendapatkan perhatian yang besar di masyarakat termasuk melalui survei-survei. Meskipun tingkat elektabilitas Gatot belum besar karena memang nama baru, namun hal ini dapat berubah di tahun 2018 dan 2019.

Masa-masa krusial bagi Jenderal Gatot Nurmantyo dalam menapaki jalan menuju kursi pimpinan nasional akan terjadi pada bulan Februari-April yakni menjelang pensiun dan paska pensiun pada bulan Maret 2018. Keputusan Jenderal Gatot untuk menempuh langkah-langkah apa pada periode tersebut akan sangat berpengaruh kepada tingkat popularitasnya ke depan. Apabila Jenderal Gatot ceroboh dan tampak ambisius melangkah ke dunia politik terlalu cepat dan salah memilih mitra, maka sinarnya akan meredup seiring dengan penurunan pada hasil survei yang akan semakin marak sepanjang tahun 2018 dalam menjaring calon pemimpin nasional. Namun apabila Jenderal Gatot tampak bimbang dan lama dalam memutuskan misalnya lebih dari bulan Agustus 2018, maka kemungkinan besar secara perlahan sinarnya juga akan meredup. Diperlukan sebuah proses dukungan kepada Gatot dari partai politik atau masyarakat, fenomena sikap beberapa politisi Nasdem yang melirik Jenderal Gatot adalah contoh positif bagi Gatot. Contoh lain adalah wacana Jenderal Gatot menjadi Capres oleh PAN. Apabila fenomena-fenomena tersebut semakin banyak dan bahkan mulai muncul kelompok simpatisan Jenderal Gatot yang kemudian mengorganisir diri menjadi relawan dan lain sebagainya, maka sinar Gatot akan semakin baik. Namun yang perlu diingat semua itu sebaiknya bukan digerakkan atau dimobilisasi oleh Gatot sendiri karena hal ini akan menjadi bumerang serangan balik karena masyarakat akan melihat hal itu sebagai cerminan ambisi pribadi Jenderal Gatot.

Leadership atau kepemimpinan di Indonesia agak aneh bila dibandingkan dengan negara-negara Barat yang telah lama berdemokrasi. Hal itu dikarenakan masyarakat Indonesia kurang suka atau kurang bersimpati kepada mereka yang tampak sangat ambisius. Diperlukan sikap yang seimbang antara kesiapan menjadi pemimpin nasional dan keinginan masyarakat. Apa sebenarnya yang diinginkan masyarakat Indonesia? Masyarakat Indonesia sudah mulai bercampur antara sisa-sisa pengaruh feodalisme, hubungan patron-klien, mimpi Ratu Adil, kepentingan golongan, rasionalitas, emosi kedekatan/kesamaan identifikasi kelompok, ideologi dan agama, lemahnya pendirian politik (mudah dibeli dengan uang dlsb), serta individualisme yang berpengaruh kepada penurunan kepedulian pada isu politik. Hal ini menyebabkan diperlukannya suatu proses pengkondisian dalam memunculkan seorang calon pemimpin nasional.

Perkiraan Blog I-I dapat sahabat Blog I-I buktikan pada sekitar paska bulan Maret 2017, langkah apa yang ditempuh Jenderal Gatot. Apakah pensiun total dari berbagai kegiatan dan berkumpul dengan keluarga, ataukah secara ceroboh terjun bebas ke dunia politik, ataukah secara perlahan namun pasti mampu memproses dirinya benar-benar menjadi tokoh yang pantas diperhitungkan dipanggung politik nasional Indonesia.

Semoga bermanfaat
Salam Intelijen
Dharma Bhakti


Lampiran: Jawaban Resmi dan Standar dari Kedubes AS di Jakarta

Chairman of the Joint Chiefs of Staff General Joseph Dunford invited Commander of the Indonesian Armed Forces General Gatot Nurmantyo to attend a Chiefs of Defense Conference on Countering Violent Extremism being held October 23-24 in Washington, D.C. General Gatot was unable to travel as planned. The Embassy was in touch with the General’s staff about this matter throughout the weekend, working to facilitate his travel. U.S. Ambassador Joseph Donovan has apologized to Foreign Minister Retno Marsudi for any inconvenience to General Gatot. The U.S. Embassy was, and remains, prepared to facilitate the General’s travel to the United States. We remain committed to our Strategic Partnership with Indonesia as a way to deliver security and prosperity to both our nations and peoples.

Update: Bloomberg Politics mengkonfirmasi analisa Blog I-I kemarin bahwa AS tidak akan menjelaskan secara detil mengapa terjadi insiden penolakan Jenderal Gatot masuk AS. Bloomber mengutip sumber berita dari Kemenlu AS dan Pabean dan Perlindungan Perbatasan AS sbb: A State Department spokesman didn’t elaborate on the embassy statement or the apology. A message seeking comment from a Customs and Border Protection spokesman was not immediately returned. Berita serupa juga dipublikasikan oleh the Sidney Morning Herald.

Update: Meskipun semua pihak dapat memahami mengapa Panglima TNI memutuskan untuk tidak berangkat ke AS, namun sebaiknya masalah ini dilihat sebagai kesalahpahaman. Apabila Jenderal Gatot ingin menjadi pemimpin nasional, maka "ujian" ini sangat penting untuk dilalui secara proporsional. Misalnya isu ini dapat saja diperbesar dengan kekecewaan yang berlebihan, namun yang paling tepat adalah bahwa bahwa pembatalan keberangkatan Jenderal Gatot lebih disebabkan masalah teknis protokol pengamanan dan penyambutan beliau di AS dan bukan pemeriksaan clearance-nya. Disamping sekaligus menjadi setting untuk "menguji" sejauh mana sikap Jenderal Gatot dalam menyikapi insiden tersebut, AS juga ingin mengukur apakah Jenderal Gatot menjadi ngambek atau marah kepada AS dan terjerumus untuk bersikap anti AS dan merapat kepada kelompok-kelompok Islam Indonesia yang dianggap radikal oleh AS. Bila Jenderal Gatot terjerumus, maka dapat dipastikan bahwa pemanfaatan sentimen politik Islam oleh Jenderal Gatot akan mudah diolah lagi agar partai-partai politik yang nasionalis untuk meninggalkan Jenderal Gatot. Perlu diperhitungkan bahwa Golkar, Nasdem, dan bahkan Gerindra sudah mulai memberikan sinyal untuk menyambut Jenderal Gatot paska dirinya pensiun. Jawaban cerdas Jenderal Gatot sudah dipublikasikan melalui Tempo dengan pernyataan Saya Berangkat ke AS kalau Ada Perintah, hal ini juga merupakan ujian kepada Jenderal Gatot untuk menunjukkan loyalitas kepada Presiden dan Wakil Presiden yang telah menyatakan untuk tidak perlu berangkat. Sementara waktu acara di AS yang hanya 2 hari dan sudah berlangsung sejak Senin kemarin menyebabkan relevansi keberangkatan Jenderal Gatot ke AS juga berkurang karena sudah terlambat juga. Selamat Jenderal Gatot, anda lulus ujian untuk memproses diri menjadi salah satu calon pemimpin nasional Indonesia yang profesional dan proporsional dalam mengambil sikap yang tepat.

Kepentingan AS kepada Indonesia sangat besar bukan hanya soal kemitraan strategis hubungan bilateral, namun memastika bahwa Indonesia dapat menjadi "pendukung" kebijakan AS dalam menghadapi manuver-manuver poitik dan kebijakan keamanan China di Asia Pasifik. Hal ini bukan berarti pemimpin nasional Indonesia menjadi pro-AS, namun minimal tidak menentang kebijakan keamanan AS di Asia Pasifik, misalnya masalah pengerahan kekuatan militer AS ke Darwin. Indonesia perlu mengambil sikap yang jelas siapa musuh Indonesia yang membahayakan bagi kedaulatan RI. Apabila Indonesia menyikapi AS dan sekutunya sebagai ancaman dan juga melihat bahaya ancaman dari China, maka hal itu akan sangat merugikan strategi pertahanan dan keamanan nasional Indonesia. Walaupun Indonesia berpegang teguh kepada prinsip non-blok atau kemandirian sistem pertahanan dan keamanan, namun kita harus berkaca bahwa kekuatan militer Indonesia teramat sangat kecil bila dibandingkan dengan China dan AS beserta sekutunya. Kompatibilitas alutsista militer Indonesia juga acak-acakan, dimana dalam operasi gabungan semua Angakatan, apabila Indonesia menghadapi konflik perang yang sesungguhnya memiliki tingkat operabilitas yang sangat rendah.

Semoga Jenderal Gatot dan para Jenderal ahli strategis di Mabes TNI serta sahabat-sahabay Blog I-I di BAIS TNI dan juga komunitas Intelijen lainnya membaca catatan-catatan penting Blog I-I.

Blog I-I hingga saat ini masih diblokir oleh Kemenkominfo RI tanpa alasan yang jelas, sehingga Blog I-I tidak terlalu optimis bahwa analisa-analisa Blog I-I dapat sampai kepada pihak-pihak yang berkepetingan untuk dibuktikan validitasnya.
 


Read More »
13.46 | 0 komentar

Sabtu, 21 Oktober 2017

CIA ESAU-40: Indonesia 1965 - The Coup that Backfired



Dokumen setebal 356 halaman yang direlease CIA pada Mei 2007 dengan nomor CIA/SRS   /RSS 0033-68  belakangan ini menjadi ramai kembali karena isu komunisme yang marak menjadi pembicaraan masyarakat Indonesia. Isu komunisme bukan saja selalu menarik karena menjadi bagian sejarah hitam perjalanan bangsa Indonesia melainkan juga karena fakta masih adanya sebagian elemen bangsa Indonesia yang tergelincir untuk tetap memeluk faham komunis dalam hati dan pikirannya. Selain itu, sebagian elemen bangsa Indonesia juga menganggap bahwa masih ada masalah terkait HAM dalam penanganan ancaman komunisme di Indonesia. Masalah HAM tersebut terkait dengan perbedaan pandangan tentang apa yang terjadi paska pemberontakan PKI dengan dugaan terjadinya pembunuhan dan marjinalisasi terhadap kaum radikal komunis. Bagi para pembela HAM telah terjadi pelanggaran HAM berat, namun bagi pemerintah khususnya aparat keamanan telah terjadi penegakkan keamanan nasional menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman komunisme. Perbedaan yang tajam tersebut juga masuk ke ranah masyarakat akar rumput, dimana kaum nasionalis, Islam dan ormas lainnya mendukung kebijakan pemerintah dalam mengatasi ancaman komunisme tersebut. Perdebatan ini tidak akan ada habisnya, dan apabila terus-menerus dipertentangkan maka ujungnya adalah konflik yang tidak berkesudahan. Bangsa Indonesia juga akan menghabiskan waktu untuk sesuatu yang justru akan menghancurkan berbagai potensi bangsa dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Beberapa kunci penting dalam dokumen CIA terkait peristiwa G 30 S PKI adalah sbb:
  1. Benar bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan kudeta (coup) dengan bukti-bukti yang sangat banyak baik berupa dokumen maupun saksi-saksi.
  2. PKI berhasil menyusupkan kader-kadernya dan menjadi komandan di tubuh Angkatan Bersenjata serta memiliki pasukan. Jumlah kader PKI tersebut mencapai ratusan komandan namun tidak jelas sampai pada pangkat apa saja. Para komandan yang disusupkan atau direkrut PKI tersebut melakukan kontak rutin dengan Biro Khusus (Special Bureau) PKI yang sangat dirahasiakan. Tokoh militer seperti Untung, Sudjono, Latief, dan Supardjo bukan anggota aktif PKI namun merupakan sayap bersenjata dari kudeta PKI yang gagal. Mereka dapat dikatakan sebagai simpatisan PKI yang berkoalisi dan berharap akan memperoleh karir militer yang lebih cemerlang setelah berselingkuh dengan PKI.
  3. Kunci terpenting menurut dokumen CIA adalah bahwa apa yang terjadi pada tahun 1965 adalah "PENYINGKIRAN" sejumlah pimpinan Angkatan Darat yang direstui oleh Presiden Sukarno karena penolakan terhadap kebijakan Presiden Sukarno yakni Komisar Politik dan Angkatan ke-5. 
  4. Peranan Intelijen yakni BPI dibawah Subandrio diantaranya merekayasa dokumen Gilchrist tentang Dewan Jenderal dimana diduga kuat Presiden Sukarno juga tahu masalah ini. Meskipun apa yang dikenal sebagai Dewan Jenderal kemungkinan besar memang ada sebagai upaya menahan tekanan PKI mempengaruhi Presiden Sukarno untuk menghancurkan AD sebagai kekuatan politik, namun Dewan Jenderal tersebut tidak pernah merencanakan kudeta sebagaimana direkayasa oleh BPI.
  5. Republik Rakyat China tahu rencana kudeta PKI dan bahkan ikut mendukung dan mendorong terjadinya kudeta 1965 tersebut, namun yang perlu dicatat adalah RRC bukan otak dari kudeta PKI.
Beberapa catatan tersebut diatas tentunya tidak dapat menggantikan dokumen lengkap CIA yang menurut senior dan jaringan Blog I-I cukup valid sebagai sumber informasi dalam membuka tabir gelap peristiwa kudeta PKI 1965. Bila sahabat Blog I-I ingin mendalami silahkan baca langsung sumbernya dan lakukan pengecekan dan verifikasi dengan sumber-sumber sejarah yang dikumpulkan sejarahwan Indonesia.

Catatan tambahan analisa Blog I-I tentang bumerang dari kudeta PKI terhadap PKI dan seluruh anasir-anasirnya di Indonesia.
  • Kegagalan kudeta PKI menjadi bumerang yang sangat dahsyat bagi PKI dan seluruh anasirnya hingga ke akar-akarnya. Secara situasional, ketegangan yang terjadi begitu mencekam masyarakat Indonesia dan kebijakan ekstrim yang ditempuh kepemimpinan darurat nasional paska kudeta adalah langkah yang sangat krusial dalam memantapkan stabilitas keamanan nasional.
  • Sejumlah produk hukum menjadi dasar pelaksanaan penghapusan PKI dari bumi Indonesia. Disinilah titik terpenting sejarah Indonesia yang diperdebatkan oleh para pembela HAM, yakni pelaksanaan penghukuman terhadap PKI termasuk simpatisannya. Pembicaraan tentang perbedaan pendapat terjadi dan tidak terjadinya penyiksaan dan pembunuhan terhadap anggota PKI serta berapa banyak jumlahnya selalu dihindari oleh para pelaku sejarah. Semakin lama masalah ini akan menjadi perdebatan tanpa ujung dan perkiraan Blog I-I adalah bahwa masalah ini tidak akan pernah menemukan titik temu. Alasan Blog I-I adalah bahwa sudut pandang dalam melihat masalah PKI adalah konflik ideologi dan politik dan bukan masalah kemanusiaan. Akibatnya untuk memulai pembicaraan saja sudah akan mengudang polemik yang tajam. Bahwa para pembela HAM bersikukuh dengan sisi HAM dapat dimaklumi, namun kecurigaan dan kekhawatiran kebangkitan komunisme sulit dihilangkan dari hati dan benak masyarakat Indonesia. Akibatnya pihak-pihak anti Komunis sangat mudah mencegah pembicaraan masalah HAM paska kudeta PKI 1965 dengan mengedepankan bahaya laten PKI dan kebangkitan komunisme. 
  • Fakta terjadinya kudeta PKI menjadi justifikasi untuk melarang PKI dan faham komunisme di Indonesia. Hal yang sama sesungguhnya juga menimpa kelompok Negara Islam Indonesia yang dipimpin oleh Kartosuwiryo ketika kelompok NII (DI) / TII gagal dalam deklarasi Negara Islam Indonesia dan ditumpas oleh Angkatan Bersenjata.  
  • Blog I-I bukan jaringan yang memperjuangkan HAM, namun tidak berarti mengabaikan HAM. Menurut Blog I-I, jalan tengah dalam masalah keadilan HAM paska kudeta PKI 1965 harus berdasarkan pada fakta penyebab seluruh rangkaian insiden kemanusiaan yang menimpa bangsa Indonesia tersebut adalah PKI, sementara korban-korban yang berjatuhan baik dari pihak non-komunis dan komunis adalah ekses dari kudeta PKI tersebut. Hal ini dapat memastikan komunisme tidak dapat dihidupkan kembali di bumi Indonesia. Kemudian untuk mengungkapkan masalah HAM seperti yang dituduhkan sebagian pihak dapat dibentuk Tim Pencari Fakta dalam rangka memberikan penghormatan yang semestinya kepada korban-korban yang berjatuhan dari semua pihak tanpa membenarkan siapapun. Semua fokus pada masalah HAM, fokus kepada keadilan untuk korban. Tidak ada yang perlu minta ma'af atau memberikan ma'af. Namun bila terbukti ditemukan korban-korban manusia yang terbunuh paska kudeta PKI tersebut, maka selayaknya mereka dibangunkan monumen untuk pengingat bagi generasi mendatang Indonesia, bahwa pernah terjadi peristiwa kemanusiaan yang tidak diinginkan oleh seluruh bangsa Indonesia tersebut.
  • Ide Blog I-I tersebut tentu tidak dapat memuaskan mereka yang berfaham komunis, namun juga mungkin akan ditolak oleh mereka yang anti komunis. Tidak akan ada titik temu antara kaum komunis dan anti komunis karena keduanya berada dititik ekstrim yang bersebrangan. Bila kita sungguh-sungguh ingin memberikan ketenangan kepada para korban yang merupakan ekses kudeta PKI, maka penghormatan yang sewajarnya dapat diberikan dengan kesadaran persatuan dan kesatuan bangsa. Penghormatan tersebut tentunya tetap tidak berlaku kepada mereka yang terlibat langsung atau aktif dalam PKI karena faktanya PKI melakukan kudeta berdarah. Meskipun dalam dokumen CIA, kudeta PKI tersebut direstui Presiden Sukarno dalam skenario menyingkirkan pimpinan AD, namun melesetnya kalkulasi PKI justru menyebabkan dampak yang besar kepada para simpatisan PKI. 
  • Apabila ingin adil siapa yang harus meminta maaf adalah seluruh keluarga ahli waris dari pimpinan PKI dan Biro Khusus serta keluarga Presiden Sukarno karena merekalah penyebab awalnya. Kemudian berikutnya adalah keluarga Presiden Suharto karena beliaulah yang bertanggung jawab dalam proses pemulihan stabilitas keamanan nasional.  Apakah mereka semua bersedia? Apakah hal itu dapat diwakilkan oleh pemerintah RI saat ini sebagai tanggung jawab moral? Jawabannya TIDAK karena dampaknya adalah pengakuan salah dan benar secara ideologi dan politik. PKI yang jelas-jelas salah baik dari kacamata strategi politik maupun dari kacamata kesetiaan kepada bangsa dan negara tidak dapat diberikan maaf. Bahwa keluarga korban dari kalangan komunis/PKI masih belum merasakan keadilan, maka periksa sungguh-sungguh mengapa dulu PKI melakukan kudeta. Apa yang telah berkembang di Indonesia melalui demokrasi saat ini sudah sangat baik bagi para keluarga PKI dimana litsus sudah dihapuskan dan mereka dapat hidup normal. Apakah hal ini masih belum cukup? Apakah ingin mengulangi sukses PKI di masa lalu dan menghidupkan kembali PKI? 
  • Sekali lagi, para korban adalah ekses dari konflik ideologi dan politik dan hal ini tidak dapat dipisahkan hanya dari kacamata HAM. Para pimpinan PKI tahu persis resiko yang mereka tempuh dengan melakukan kudeta, namun anggota PKI dan simpatisannya tidak tahu. 
  • Saran lain dari Blog I-I, adalah kita semua sebagai bangsa seyogyanya dapat menerima fakta sejarah yang sulit dan menatap masa depan yang lebih baik. Masa depan tersebut jauh lebih penting daripada mengorek-ngorek luka lama yang membangkitkan kembali emosi, permusuhan, dan sikap ingin saling membunuh.   
Mohon maaf bila banyak pendapat-pendapat Blog I-I yang para sahabat Blog I-I pandang kurang pas. Mungkin ada yang menganggap Blog I-I sudah mulai melemah dalam menyikapi simpatisan komunisme yang belakangan mulai bergeliat bangkit. Mungkin ada yang berpendapat Blog I-I tidak peduli masalah HAM, dan lain sebagainya. Bagi Blog I-I, pada akhirnya kita semua akan mati dari generasi demi generasi. Sebagai jaringan Intelijen Nasional dari kalangan masyarakat biasa yang paling tua di Indonesia, Blog I-I fokus pada kejayaan Republik Indonesia dan masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik. Tidak ada sejarah bangsa di dunia yang tidak diwarnai catatan hitam kemanusiaan, sehingga tidak ada yang perlu dirisaukan dengan catatan sejarah bangsa Indonesia.

Semoga bermanfaat,
Salam Intelijen
Senopati Wirang



Read More »
13.44 | 0 komentar

Rabu, 18 Oktober 2017

Pribumi dan Non-Pribumi


PRIBUMI dan NON-PRIBUMI

Dua tokoh nasional Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti menyampaikan pernyataan yang terkait dengan istilah pribumi, namun mendapatkan reaksi yang agak berbeda. Anies bahkan dipolisikan oleh Gerakan Pancasila didampingi Banteng Muda Indonesia (organisasi sayap PDI Perjuangan) karena ucapannya tersebut, sementara Menteri Susi mendapatkan pujian. Mengapa demikian?


Jawaban paling sederhana adalah karena faktor politik kekuasaan yang melekat pada diri Anies Baswedan sebagai simbol kemenangan politik Islam dan Partai Oposisi menghadapi Partai Penguasa. Posisi Anies Baswedan sangat rawan sorotan dari lawan-lawan politiknya termasuk sejumlah Menteri yang berupaya memangkas wewenang Gubernur Jakarta dengan kebijakan-kebijakannya, misalnya tentang reklamasi Pantai Jakarta yang diduga kuat hanya menguntungkan kelompok tertentu.

Sementara itu, Menteri Susi berada di posisi bagian dari penguasa yang relatif tidak terlalu dapat dikendalikan Partai Penguasa dan memiliki latar belakang bisnis yang sarat pengalaman nyata dalam menghadapi persaingan bisnis dimana para pengusaha "Pribumi" mengalami banyak hambatan dan kesulitan bila dibandingkan dengan pengusaha "Non-Pribumi". Akibatnya Menteri Susi menempuh kebijakan afirmatif mendukung dan mendorong pengusaha Pribumi untuk maju menjadi konglomerat.

Adakah yang salah dengan istilah Pribumi dan Non-Pribumi tersebut? Diskriminasi, rasisme, dan berbagai warna pemahaman dalam dua istilah tersebut begitu kuat dihembuskan. Tetapi tengoklah di hati dan pikiran kita masing-masing, apakah identitas sebagai realita bawaan berpengaruh dalam kehidupan anda sehari-hari. Keberhasilan, sukses, kekayaan, penguasaan sumber-sumber ekonomi bukanlah hal yang terjadi secara ajaib, melainkan melalui proses dan hubungan-hubungan kerjasama serta kerja keras. Tidak mungkin anda seorang diri tiba-tiba menjadi pengusaha sukses ataupun menjadi seorang gubernur atau Menteri. Semua terjadi karena kombinasi keahlian anda dan hubungan anda di dunia sosial ekonomi dan politik. Istilah pribumi harus diakui baik dalam konteks politik maupun ekonomi adalah merujuk kepada sejarah bangsa Indonesia dimana pribumi adalah warga kelas tiga dibawah warga Eropa dan China di masa penjajahan Belanda. Penghinaan tersebut berlangsung sangat lama sehingga tidak dapat segera hilang hanya dengan UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis atau Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan. Apa yang ingin dicapai oleh kedua peraturan tersebut adalah memenuhi keinginan dari mereka yang selama ini dianggap sebagai non-pribumi untuk dapat diperlakukan sama sebagai warga negara. Perlu diketahui bahwa warisan peraturan penjajah kolonial Belanda meninggalkan bom waktu "pembedaan" penduduk dalam aturan Staatblad pencatatan sipil. Meskipun peraturan-peraturan tersebut telah diperbaiki melalui UU Kewarganegaraan dan aturan tentang Catatan Sipil, serta penghapusan berbagai peraturan tentang urusan Tjina (Urtjin), namun dimensi sosial dan realita sosial masyarakat dalam konteks hubungan antara sesama warga bangsa Indonesia masih belum mencapai apa yang diharapkan. Eksklusifitas masyarakat Tionghoa dengan klan marga semakin kuat memperkuat jaringan bisnis masing-masing marga, sementara identitas keIndonesiaan yang misalnya telah ditunjukkan oleh sebagian politisi keturunan Tionghoa masih belum didukung oleh pembauran yang sejak awal Orde Baru telah diserukan oleh para tokoh Tionghoa maupun politisi. Hal ini pula yang menyebabkan kecurigaan terhadap reklamasi pantai Jakarta sangat kuat karena adanya kecurigaan hanya menguntungkan kelompok tertentu.

Apa yang disampaikan baik oleh Gubernur Anies dan Menteri Susi adalah realita yang masih berlangsung di masyarakat Indonesia tentang perlunya meningkatkan kapabilitas rakyat Indonesia dalam mengisi kemerdekaan dengan kerja keras yang memerlukan dukungan pemerintah. Benar bahwa pemimpin sebaiknya menghindari pernyataan yang kontroversial dan mengundang polemik atau konflik, namun apakah kita dapat menghindari realita kita sehari-hari dari masalah pribumi dan non-pribumi? Silahkan dipikirkan kembali bagaimana sebaiknya bangsa Indonesia melangkah ke depan. Cukupkah kita hanya dengan menanggalkan kata pribumi dan membiarkan bangsa kita menjadi bangsa yang tertinggal, atau cukup yakinkah anda bahwa apa yang tercatat dalam sejarah sebagai non-pribumi yakni ketururnan Tionghoa sungguh-sungguh tidak lagi eksklusif dan membaur secara utuh menjadi bagian bangsa Indonesia? Fenomena masuknya Warga Negara China yang tiba-tiba memiliki e-KTP di sejumlah daerah adalah modus lama di masa lalu. Sudah menjadi kebiasaan sejumlah kalangan Tionghoa untuk tidak melaporkan kematian dan menggunakan data orang mati tersebut untuk pendatang gelap dari China, siapakah mereka? Intelkah? ataukah jaringan keluarga semata?

Catatan tambahan. Apa yang pernah ditempuh BKMC BAKIN adalah hal sangat baik dimana kecurigaan-kecurigaan terhadap komunitas keturunan Tionghoa  dapat dinetralisir. Bahkan tanpa disadari oleh masyarakat, BAKIN adalah otak dari reformasi yang menguntungkan warga Tionghoa. Betapapun besarnya kebencian dan kecurigaan warga Tionghoa terhadap BAKIN di masa lalu, peranan BAKIN sangat sentral dalam mendorong penghapusan diskriminasi. Walaupun hal itu mendapatkan kritikan keras dari senior-senior mantan KOTI G-5, namun BAKIN lah yang menormalkan hubungan RI-RRC (RRT), BAKIN pula yang merestui pembentukan sejumlah gerakan masyarakat Tionghoa dalam perhimpunan seperti PSMTI, INTI, dlsb termasuk yang berdasarkan Marga, serta Partai Politik. Alasannya sederhana, diharapkan suatu saat nanti demokrasi adalah jawaban untuk penghapusan diskriminasi, demokrasi juga akan menjawabnya dimana kesadaran sosial politik yang mengikat tanggung jawab warga negara cukup melalui mekanisme hukum dan sistem politik demokrasi. Apakah BAKIN salah strategi dengan membubarkan  BKMC sehingga saat ini tidak ada lagi komunikasi yang menengahi kecurigaan terhadap warga Tionghoa?

Mari kita lebih terbuka dan berani namun tetap berhati-hati dan berdasarkan fakta dalam menyikapi dinamika sosial, ekonomi, dan politik.

Bila ada yang keliru, mohon koreksi.
Salam Intelijen
Senopati Wirang



Read More »
05.26 | 0 komentar

Apa Kabar Komunisme Indonesia?

Sehubungan dengan pertanyaan dari sahabat Blog I-I di Kalibata, Cilendek, Cijantung, Cilangkap, dan Pejaten tentang komunisme Indonesia dipersilahkan kepada seluruh sahabat yang setia menjaga NKRI dan Pancasila untuk membuka kembali analisa-analisa lama Blog I-I tentang komunisme Indonesia tersebut dalam artikel-artikel berikut ini:

Kiri oh Kiri
Sebuah Catatan untuk Gerakan Kiri Indonesia
Gerakan Kampungan Marxist Indonesia
Tentang Komunisme versus Liberalisme
Tentang Film the Act of Killing
Komunisme dan Ulang Tahun TNI

Disamping artikel-artikel tersebut kadangkala Blog I-I juga menyisipkan pesan-pesan kewaspadaan nasional terhadap ancaman radikal kiri yang pernah mengoyak persatuan nasional Indonesia.

Dalam artikel-artikel Blog I-I tersebut perlu kehati-hatian dalam membaca karena Blog I-I bukan semata-mata kritis terhadap mereka yang berideologi kiri, sosialis, komunis atau varian lainnya, melainkan juga konstruktif mendorong agar kaum kiri Indonesia dapat lebih cerdas dengan menanggalkan komunisme dan membangun ideologi khas Indonesia yang meskipun intinya berjuang demi rakyat wong cilik, namun lepas dari bayang-bayang kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tidak akan pernah dapat dilupakan oleh bangsa Indonesia.

Mencermati perkembangan terkini, marilah kita renungkan sejenak catatan Blog I-I yang terbaru dalam menyapa komunisme Indonesia.


POLITIK dalam arti pertarungan memperbutkan kekuasaan dan cara mencapainya adalah sumber dari menguatnya pendefinisian ancaman oleh mereka yang berkuasa. Sudah puluhan tahun definisi ancaman radikal kanan RAKA (Islam) dan radikal kiri RAKI (Komunis) melekat kuat dibenak kita semua yang mengabdi kepada Republik Indonesia di bidang keamanan. Kita di TNI, Polisi, dan Intelijen telah dilatih secara khusus dengan uang pajak rakyat Indonesia untuk memelihara persatuan dan kesatuan Indonesia, melindungi dan mengayomi rakyat Indonesia dari berbagai ancaman. Salah satu definisi ancaman tersebut adalah ancaman ideologis yang hingga saat ini masih melanjutkan warisan sejarah tentang ancaman RAKA dan RAKI tersebut. Semua itu sangat inward looking dan terkait erat dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang mengalami konflik dari kedua kelompok tersebut. Akibatnya kadangkala kita lupa bahwa ancaman dari luar/asing dapat merembes melalui RAKA dan RAKI tersebut melalui proses rekayasa politik dan sosial yang canggih dan mendorong kita menjadi bangsa yang kejam saling membunuh karena perbedaa ideologi. Bahkan di era yang sudah demokratis sekalipun kerawanan dari perbedaan ideologi masih kuat dan dapat menciptakan suatu konflik yang berbahaya bagi keselamatan rakyat Indonesia.

Kepada anda yang merasa bagian dari kaum Komunis Indonesia perlu menyadari psikologis masyarakat Indonesia secara umum dan seluruh aparat keamanan Indonesia khususnya yang tidak akan dapat melepaskan persepsi ancaman komunis dari benak dan hati mereka. Itulah sebabnya Blog I-I sudah sangat lama mendorong kaum komunis Indonesia untuk mengabdikan keahliannya di bidang masing-masing dengan menanggalkan komunismenya. Betapapun kebebasan, HAM, dan sistem politik demokrasi memberikan ruang untuk berpendapat dan beraspirasi, namun sejarah hitam komunisme Indonesia tidak dapat dihapus begitu saja. Tentu anda kaum komunis akan beragumentasi balik: "kami kaum komunis Indonesia yang mengalami penindasan, penyiksaan, dan pembunuhan", anda juga akan bertanya: "mengapa justru kami yang harus diam dan menanggalkan komunisme?" Dengan klaim terjadinya pembunuhan massal, pengungkapan tragedi kemanusiaan, serta atas nama keadilan, anda sebagai kaum komunis tentu ingin membersihkan sejarah dengan versi yang anda yakini bukan? Masalah ini tidak sederhana dan mudah, sebagai manusia biasa seluruh jaringan Blog I-I paham dengan "kemarahan", "dendam" dan "kebencian" keluarga korban mereka yang terlibat PKI dan simpatisannya. Namun sekali lagi, persoalannya tidak sederhana karena hal ini terkait dengan keyakinan mayoritas rakyat Indonesia bahwa PKI berada dipihak yang salah dan jahat. Perlu diingat bahwa korban dari konflik ideologi ini bukan hanya dari pihak komunis melainkan juga merata kepada berbagai strata masyarakat Indonesia yang menjadi korban dari aksi brutal kelompok komunis seperti pembunuhan alim ulama di Jawa seperti peristiwa Madiun 1948. Namun yang lebih penting adalah historiografi cerita tutur dari orang-orang tua kita yang hidup di masa PKI masih ada dimana intimidasi PKI terhadap non-PKI sangat menegangkan dan bahkan diwarnai sejumlah insiden pembunuhan-pembunuhan yang merata khususnya di pulau Jawa.

Apa yang Blog I-I gambarkan adalah konflik ideologi, konflik politik, yang kemudian berpuncak pada konflik berdarah disebabkan oleh para pihak yang bertikai termasuk dari kaum komunis dan non-komunis khususnya TNI sebagai pelindung dan penyelamat bangsa Indonesia. Anda seluruh kaum komunis KALAH dalam konflik tersebut. Dalam sebuah dinamika konflik korban demi korban berjatuhan, entah berapa jumlahnya dan entah lebih besar ada di pihak mana menjadi tugas sejarahwan untuk menggalinya. Langkah-langkah yang ditempuh TNI diyakini oleh masyarakat Indonesia sebagai langkah yang tepat setidaknya dalam konteks masa itu. Bahwa kemudian tidak terjadi rekonsiliasi paska konflik adalah kebijakan Pemerintah Orde Baru paska pemberontakan PKI yang gagal tahun 1965. Pemerintah Orde Baru menganggap komunisme sebagai bahaya laten sekaligus dijadikan simbol musuh bersama bangsa Indonesia. Perhatikan kasus-kasus pemberontakan dimanapun di dunia yang selalu berakhir dengan korban jiwa dan pemenjaraan. Pemberontakan adalah penghianatan kepada bangsa sendiri dan tidak jarang dampak dari pemberontakan tersebut dampaknya tidak dapat diukur atau segera diatasi seperti terciptanya kebencian yang luar biasa kepada komunisme dalam kasus pemberontakan PKI. Apa yang ditempuh Pemerintahan Orba mungkin berlebihan dan menyebabkan keluarga PKI yang tidak terlibat ikut merasakan dampak kehidupan sosial ekonomi yang sulit.  Namun sekali lagi lihat konteks sejarah dimana stabilisasi keamanan menjadi sangat penting bagi sebuah negara yang relatif masih muda. Bila saat itu ditempuh rekonsiliasi, mungkin konflik akan berkepanjangan dan bahkan PKI kembali dan konflik berulang lagi. Indonesia akan menjadi negara gagal bila terlalu banyak diwarnai konflik internal yang berkepanjangan. Memang akan terasa tidak adil bagi kaum komunis, tetapi mengapa anda berontak saat itu? Tanyakan kepada seluruh senior anda yang masih hidup, bukankah saat itu kaum komunis berpikir dan merasa cukup kuat sehingga dapat berkuasa?

Sekarang mari kita melihat kekinian yang jauh lebih baik dengan demokrasi dan penghormatan terhadap HAM. Meskipun Intelijen dan TNI masih memiliki seluruh catatan detil tentang kaum komunis dan keluarganya, tetapi anda semua dibiarkan bebas bahkan menduduki posisi-posisi yang cukup penting dan strategis. Kami memberikan kesempatan kepada anda kaum komunis untuk menatap masa depan dan menutup sejarah hitam. Tetapi sebagian dari kaum komunis justru memancing kembali konflik lama dengan secara atraktif memunculkan simbol-simbol komunis, secara tebuka menuntut penghapusan TAP MPR RI No 25 Tahun 1966, mengadakan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada menghidupkan kembali komunisme, serta secara terencana menciptakan opini publik baik nasional maupun internasional tentang kekejaman bangsa Indonesia khususnya TNI dan sejumlah ormas Islam terhadap kaum komunis. Mengapa anda tidak berpikir lebih cerdas lagi demi masa depan Indonesia? Anda kaum komunis sungguh-sungguh membuka pintu konflik yang sulit diatasi.

Pemutaran film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI merupakan cara kami jaringan Blog I-I bersama seluruh sahabat Blog I-I yang aktif untuk mengingatkan kembali bahwa kami tahu persis siapa anda kaum komunis Indonesia. Ingat, hal ini bukan untuk mempertajam konflik apalagi mengancam!


Apa yang kami lakukan semata-mata adalah demi meredanya konflik yang berakar dari perbedaan ideologi. Puji Tuhan bahwa seluruh institusi keamanan telah melakuka nonton bareng film G 30 S PKI tersebut, kami secara khusus mendorong TNI, Polri, BIN, hingga Presiden Jokowi pun akhirnya bersedia menonton film tersebut. Para penggiat HAM luar negeri dan dalam negeri telah mengkritisi hal tersebut dan menuduhnya sebagai stigmatisasi dan propaganda anti komunis. Kami tegaskan bahwa pencegahan konflik adalah tetap lebih baik daripada menyelesaikan konflik berdarah.


Apalagi yang ingin anda lakukan wahai kaum komunis Indonesia? Bagaimana kabar anda sekarang?

Semoga anda semua kaum komunis Indonesia yang menbaca artikel ini menjadi sadar betapa TNI, Polri, dan BIN sudah sangat bersabar dan memberikan anda kesempatan yang luas untuk berpartisipasi dalam pembangunan Indonesia yang modern dan demokratis. Buanglah jauh-jauh ideologi komunisme, apa yang masih bermanfaat dari komunisme hanya sebagai pisau analisis dari kondisi sosial namun tidak akan laku dalam arena politik nasional Indonesia. Anda tetap dapat memperjuangkan egalitarianisme, kesetaraan sosial, keadilan, dan berbagai keberpihakan kepada rakyat tanpa komunisme.

Semoga bermanfaat.
Salam Intelijen
Senopati Wirang 

Read More »
04.36 | 0 komentar