Senin, 31 Juli 2017

Pembunuhan Karakter Presiden ke-6 SBY

Gambar-gambar infografis berikut ini hanya sedikit contoh dari pembunuhan karakter terhadap Presiden ke-6 SBY. Tujuannya bukan semata-mata kepada pribadi SBY, melainkan memastikan hancurnya kredibilitas anaknya AHY yang memiliki potensi kepemimpinan pada level nasional. Blog I-I tidak berwenang melakukan investigasi tentang siapa-siapa yang berada dibalik upaya penghancuran nama baik keluarga SBY tersebut.




Mengapa SBY menjadi target?

Sebagaimana pernah diungkapkan dalam artikel Penggembosan Prabowo bahwa disamping Prabowo, maka SBY juga menjadi sasaran propaganda negatif dalam rangka melemahkan kekuatan politik keluarga SBY dan Partai Demokrat.

Secara umum semua fenomena yang dapat dirangkum dalam kerangka pembunuhan karakter politisi tersebut berada dalam wilayah politik nasional yang kurang etis karena lebih banyak diwarnai oleh propaganda-propaganda negatif yang saling menyerang. Situasi yang serupa juga menimpa Presiden Jokowi. Semangatnya adalah saling menjatuhkan, menjelek-jelekkan, dan bila perlu menghacurkan nama baik serusak-rusaknya. Tujuannya tidak lain tidak bukan adalah kekuasaan melalui kompetisi pemilu berebut simpati dan dukungan rakyat Indonesia.

Pengungkapan track record baik dan buruk dari seorang politisi adalah hal yang wajar dalam rangka memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar tidak salah memilih dalam pemilu, Namun bila hal itu melampaui batas maka yang terjadi adalah berita bohong (hoax), tuduhan tanpa data, propaganda pembunuhan karakter, fitnah, dan yang paling berbahaya adalah penajaman sikap saling curiga yang mengarah kepada konflik yang akan merugikan kepentingan nasional dan kepentingan rakyat Indonesia secara umum.

Presiden Ri ke-6 SBY menjadi target bukan semata-mata karena menjelang pilpres 2019, melainkan karena musuh politiknya cukup jelas, yakni korban-korban politik yang ingin balas dendam atas dasar kebencian personal, penghianatan dari lingkaran SBY sendiri, Partai penguasa yang merasa khawatir dengan manuver politik SBY, serta yang terbanyak adalah petualang politik propagandis yang bekerja demi uang.

Sejumlah propaganda yang langsung ditujukan kepada pribadi SBY antara lain berupaya memastikan SBY dan Prabowo tidak berkoalisi. Misalnya dengan memperbesar masalah ketika SBY berkuasa atau mengkaitkan SBY dengan kasus-kasus korupsi diharapkan Prabowo dan Gerindra menjaga jarak dengan SBY. Sebaliknya dengan mengdepankan kasus pemecatan Prabowo dari TNI yang rekomendasinya ditandatangani SBY juga bertujuan sama yakni memastikan SBY dan Prabowo tidak bersatu. Semuanya berada dalam logika game theory.

Semua propaganda negatif tentang SBY meningkat tajam ketika nama AHY muncul dalam bursa pilkada DKI Jakarta. Berbeda dengan kritik ketika SBY berkuasa atau pada masa awal Pemerintahan Jokowi, propaganda pembunuhan karakter SBY dilekatkan kepada Partai Demokrat dan keluarga SBY (bukan figur SBY semata). Sekali lempar satu propaganda beberapa target terpukul, misalnya generalisasi Cikeas yag dapat diterjemahkan sebagai keluarga SBY dan Partai Demokrat.

Kemudian propaganda tersebut juga dilakukan terus-menerus dengan berbagai variasi termasuk penggunaan inforgrafis yang cepat dan mudah dipahami. Bahaya inforgrafis adalah mendikte karena menggiring pembaca pada kesimpulan tertentu. Manusia secara umum malas membaca detil peristiwa, malas memeriksa kebenaran suatu data atau pernyataan, serta senang loncat kepada kesimpulan sederhana. Infografis yang disusun dengan garis penghubung atau anak panah, dengan narasi singkat dan gambar yang mudah dipahami akan mempercepat proses pengambilan kesimpulan pembaca yang umumnya merujuk kepada judul infografis tersebut.

Misalnya judul inforgrafis "Bau Busuk Cikeas di Mega Korupsi E-KTP", judul tersebut merupakan kesimpulan bahwa Cikeas (SBY/Partai Demokrat) terlibat kasus Mega Korupsi E-KTP. Pembentukan opini semacam itu merupakan khas operasi penggalangan opini masyarakat yang masuk dalam kategori propaganda hitam dalam teori propaganda intelijen.

Bidikan kepada SBY juga tidak terlepas dari manuver SBY dalam pilkada DKI Jakarta sebagaimana terungkap dalam penyadapan komunikasi SBY dengan Ketua MUI.

Tahu sama Tahu

Dalam politik nasional Indonesia terdapat kecenderungan posisi informasi Tahu sama Tahu sebagaimana juga Tahu yang kita makan, apabila dibenturkan akan hancur berantakan. Maksudnya berbagai skandal dan kasus bernuansa politik pada umumnya sama-sama diketahui oleh para pihak yang bertikai. Intelijen politik masing-masing pihak sangat piawai dan mahir dalam mengumpulkan informasi. Baik itu skandal pribadi maupun skandal korupsi dan kolusi semua mudah diketahui bila anda cukup lama bermain di dunia intelijen politik. Persoalannya kemudian adalah bagaimana menggunakan informasi tersebut untuk kepentingan masing-masing.

Adakalanya terjadi negosiasi dan kesepakatan, namun adakalanya tidak tercapai sehingga menajam dalam perbedaan-perbedaan yang tampak seperti konflik bagi masyarakat. Oposisi adalah hal yang biasa dan perlu dalam demokrasi sebagai checks and balances. Namun ketika oposisi bergerak dalam bentuk boikot maka terjadi hambatan dalam proses politik. Sebaliknya ketika pemerintah berlebihan dalam menyikapi manuver oposisi, maka terjadi pula penyimpangan kekuasaan.

Tidak jarang terjadi semacam tebang pilih, dimana politisi yang akarnya melemah atau membusuk dipotong sekalian melalui proses hukum. Perhatikan mereka yang menjadi pesakitan terdakwa dalam kasus korupsi yang ditangani KPK. Semuanya berada dalam kondisi dimana akarnya mulai melemah. Anda mungkin beragurmentasi bagaimana dengan Setya Novanto dalam kasus E-KTP. Apabila diperhatikan sungguh-sungguh, sejak perpecahan Golkar kubu Agung Laksono vs kubu ARB dapat dikatakan Golkar mengalami krisis organisasi yang cukup serius. Sehingga secara faktual ketika kemudian Setya Novanto naik sebagai Ketua Golkar, kondisi Partai Golkar jauh dari solid dan tidak sedikit pengurus Golkar yang sudah siap menendang Setya Novanto dari posisinya.

Apabila kasus E-KTP tidak diintervensi secara politik, maka hampir tidak mungkin bagi Setya Novanto untuk menyelamatkan diri dari jeratan hukum. Sebelumnya Setya novanto dapat mengelak dan meyelamatkan diri dari kasus Freeport yang diungkap mantan Waka BIN yang juga mantan Direktur Utama Freeport, Maroef Sjamsoeddin. Artinya posisi Setya Novanto sudah mulai melemah tergerogoti dan mulai ditinggalkan kekuatan-keuatan politik di tanah air khususnya di dalam tubuh Golkar.

Situasi Tahu sama Tahu tersebut merupakan akar dari kegaduhan berbagai perkembangan politik pada era reformasi ini. Ketidakmampuan dalam mencapai kesepakatan bersama membangun Indonesia menyebabkan pihak-pihak yang berbeda pandangan dan kepentingan saling menggunting lipatan, itulah sebabnya berita-berita selalu membingungkan masyarakat.  Seolah tidak ada hentinya dari persoalan demi persoalan yang terlalu berat sisi politiknya.

Jokowi sebagai presiden juga tidak menyadari sepenuhnya bahwa rekomendasi-rekomendasi yang dterimanya dan kemudian menjadi kebijakan juga mengandung jebakan. Misalnya Perppu Ormas dan Dana Haji untuk investasi pembangunan infrastruktur. Siapapun yang menyarankan hal tersebut jelas ingin menjebak presiden. Khusus untuk Perppu hanya masalah momentum yang kurang tepat (keadaan genting) dan penjelasan serta prosedur penentuan ormas Anti pancasila yang kurang dikedepankan. Sementara dalam dana haji jelas jauh lebih menjebak karena sensitifitas syariah dan masalah nilai investasi dan jaminan bahwa investasi infrastruktur akan menguntungkan sesuai syariah.

Apabila pemerintah sudah kekurangan uang/dana untuk pembangunan infrastruktur mengapa memaksakan diri untuk ngotot terus membangun infrastruktur. Para ekonomi tentunya telah memperingatkan bahwa investasi sektor infrastruktur tidak akan menghasilkan keuntungan instan secara langsung dalam jangka pendek seperti orang berdagang atau membangun industri jasa maupun produksi barang.

Sebagai contoh misalnya pembangunan jalan raya dan pelabuhan laut maupun udara. Setelah memakan dana trilyunan, investasi tersebut dampaknya baru akan terasa ketika sektor ekonomi lain yang menggunakan jalan raya dan pelabuhan mulai memanfaatkan infrastruktur tersebut berupa kecepatan transportasi, penghematan, dan kelancaran arus barang sehingga keuntungan meningkat. Sementara sektor penyelenggara transportasi merasakannya dalam bentuk peningkatan volume arus transportasi. Sangat jauh berbeda kalkulasinya dengan sektor industri barang jadi. Walaupun investasi pembangunan infrastruktur menjanjikan keuntungan, biasanya hal itu juga karena ada jaminan dari pemerintah yang sebenarnya juga dapat menjadi beban. Singkat kata, pemerintah yang kekurangan dana saat ini melihat peluang pinjam uang dari dana haji dan pasti menjanjikan pengembalian dan keuntungan. Apabila dikelola secara bagi hasil syariah, maka agak sulit membayangkan kapan hasil keuntungan proyek infrastruktur dapat diperoleh. Paling mudah dengan bunga riba, bahkan sumber pengembalian dana haji oleh pemerintah kemungkinan dari pinjam lagi ke luar negeri tahun depan karena saat ini hutang sudah terlalu banyak. Blog I-I menyarankan pemerintah untuk lebih waspada dan sabar dalam membangun infrastruktur di Indonesia. Siapa sesungguhnya yang diuntungkan? rakyatkah atau segelintir pemain usaha. Tidak serta merta seluruh proyek infrastruktur menguntungkan rakyat, alangkah baiknya bila pemerintah menghitung secara rasional dana yang dibutuhkan dan tersedia serta jangka waktu pelaksanaan yang jangan dibatasi masa 5 tahunan berkuasa, tetapi berkesinambungan siapapun presidennya. Sikap tergesa-gesa ingin berprestasi dalam wujud hasil pembangunan infrastruktur akan melemahkan pembangunan sektor lain yang juga berpotensi menyerap tenaga kerja seperti industri.

Kembali kepada soal pembunuhan karakter SBY, bersama ini komunitas Blog I-I ingin menyampaikan kepada segenap pembaca dan seluruh masyarakat Indonesia untuk menghentikan propaganda-propaganda hitam maupun abu-abu yang menyasar kepada individu dan kelompok khususnya pada level nasional. Hentikan penggiringan opini publik untuk membenci atau kehilangan simpati kepada tokoh nasional tertentu seperti SBY. Kemudian jangan mematikan masa depan generasi muda seperti AHY dan yang lainnya. Contoh SBY dan AHY disini bukan karena Blog I-I bersimpati, melainkan hanya sekedar contoh saja yang mudah sejalan dengan bukti-bukti dari kasus propaganda yang terjadi di tanah air tercinta kita.

Hal yang sama tentuya juga berlaku untuk generasi muda politisi seperti keluarga Megawati Sukarnoputri, keluarag Jokowi, keluarga Gus Dur, dan juga yang lainnya. Tanpa terjebak kepada politik dinasti, kita harus mulai mengembangkan cara pandang yang lebih positif dan tidak tendensius.

Berpikir positif tentang orang lain atau seorang tokoh tentunya tidak menghilangkan sikap kritis terhadap kemungkinan hal yang buruk pada sang tokoh. Diperlukan kewajaran dalam arti kejelasan kritis kita terhadap para tokoh, apakah berdasarkan fakta hukum ataukah prasangka buruk ataukah gossip semata. Mari kita bangun Indonesia dalam semangat yang tidak merendahkan atau menghancurkan nama baik orang lain tanpa fakta.

Salam Intelijen
Dharma Bhakti

Read More »
05.52 | 0 komentar

Restrukturisasi Intelijen Australia

Komunitas Intelijen Australia dalam Koordinasi O N I


Membahas restrukturisasi Badan Intelijen Negara (BIN) menjadi kurang menarik karena dengan organisasi yang semakin gendut belakangan ini justru membingungkan fokus operasi BIN di masa mendatang akan seperti apa. Penambahan Deputi Siber BIN mungkin tepat dalam mengantisipasi ancaman di dunia siber, namun dengan sudah berdirinya Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) berdasarkan Perpres No.53 Tahun 2017 tentang BSSN maka Deputi Siber BIN hanya akan menjadi pemborosan. Blog I-I berani memperkirakan bahwa kinerja BIN akan semakin melorot tidak fokus dan boros anggaran.

Marilah kita tinggalkan sorotan terhadap BIN, dan perhatikan bagaimana restrukturisasi lembaga intelijen di Australia yang baru terjadi setelah puluhan tahun tidak melakukan restrukturisasi yang berarti. Restrukturisasi lembaga intelijen Australia terakhir terjadi pada era 1960-an dan 1970-an.

Perdana Menteri Malcolm Turnbull pada 18 Juli 2017 mengumumkan pembentukan Office of National Intelligence (ONI) dibawah Kementerian Dalam Negeri untuk mengkombinasikan kekuatan dari berbagai lembaga intelijen di Australia. Seperti diberitakan di media Australia, model ONI tersebut mengikuti model Kementerian Dalam Negeri Inggris dan tidak mengikuti pola Department of Homeland Security di AS.

Pembentukan ONI tersebut dinyatakan oleh PM Turnbull sebagai upaya merespon dinamikan ancaman yang berubah cepat dan kompleks.

Singkatnya pembentukan ONI tidak akan mengurangi otoritas lembaga keamanan dalam negeri yang sudah ada, melainkan mengintegrasikan arus informasi dan koordinasi serta operasi sejumlah lembaga keamanan dalam negeri seperti ASIO (Australian Security Intelligence Organization), the Australian Federal Police, the Australian Border Force, the Australian Criminal Intelligence Commission, the Australian Transaction Reports and Analysis Centre or AUSTRAC and the office of transport security dalam bentuk koordinasi erat dimana semua memberikan laporan kepada Mendagri Australia.

ONI yang akan dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal akan memusatkan kendali organisasi intelijen dan keamanan di Australia.

Analisa Blog I-I terhadap ONI 

Pelajaran terbaik dari sejumlah restrukturisasi lembaga intelijen di berbagai negara di dunia adalah fokus kepada dinamika ancaman yang semakin kompleks, perkiraan strategis masa depan, dan efektifitas kerja lembaga intelijen dalam mendeteksi dan mencegah ancaman keamanan secara kongkrit.

Persoalan klasik dari keberadaan lembaga-lembaga keamanan yang terpisah-pisah adalah arus informasi yang juga terkotak-kotak dan persaingan antar lembaga dalam mencapai prestasi kerja. Perkembangan geopolitik, konflik, ancaman ekternal dan internal, serta dinamika kejahatan lintas negara yang semakin kompleks tidak dapat menjamin masa depan keamanan dalam negeri Australia dari ancaman-ancaman yang langsung membidik negara dan masyarakat Australia di dalam wilayah kedaulatannya. Itulah sebabnya ONI akan fokus dalam integrasi sistem keamanan nasional Australia guna menghindari terjadinya kelengahan atau kecolongan karena lemahnya koordinasi.

Restrukturisasi besar dan kongkrit serta dapat segera mempersiapkan sistem operasi yang lebih efektif, sharing informasi yang lebih cepat, serta penguatan otoritas intelijen dalam melaksanakan tugasnya sesuai peraturan yang berlaku.

ONI dalam kerangka besarnya juga akan mengkoordinasikan intelijen dalam negeri ASIO,  intelijen luar negeri the Australian Secret Intelligence Service (ASIS), intelijen surveillance elektronik  the Australian Signals Directorate (ASD), intelijen militer the military’s Defence Intelligence Organisation (DIO). intelijen geospasial the Australian Geospatial-Intelligence Organisation (AGO), the police-linked Australian Criminal Intelligence Commission (ACIC), intelijen transaksi keuangan the Australian Transaction Reports and Analysis Centre (AUSTRAC), Australian Government Security Vetting Agency, the Australian Cyber Security Centre, serta the intelligence arms of the Federal Police, Border Force and immigration department. Sebuah koordinasi yang sangat besar yang hampir mustahil dapat dilakukan Indonesia walaupun jumlah lembaga keamanan dan intelijennya lebih sedikit.

Fungsi ONI yang akan langsung efektif tampaknya lebih kepada operasi keamanan dalam negeri, sementara fungsi koordinasi masih harus melihat perkembangan ke depan apakah akan berfungsi baik ataukah tidak. Namun setidaknya power yang besar yang disandang ONI bukan saja memungkinkan ONI untuk menyusun laporan yang komprehensif berdasarkan masukan dari seluruh lembaga keamanan dan intelijen Australia, melainkan juga dalam hal penyusunan strategi dan arah kebijakan intelijen yang lebih solid.

Pelajaran berharga dari restrukturisasi intelijen Australia

Semangat restrukturisasi lembaga intelijen di Australia berada pada level nasional lintas lembaga dan efektifitas kerja. Sementara restrukturisai lembaga intelijen di Indonesia masih sangat sektoral, internal lembaga masing-masing dan cenderung mengarah kepada semakin lemahnya sharing informasi intelijen dan operasi bersama.

Perhatikan bagaimana setelah 40-an tahun Australia baru menempuh restrukturisasi besar. Selama kurun waktu 40 tahun tersebut tentu saja secara internal masing-masing lembaga intelijen di Australia juga melakukan sejumlah restrukturisasi internal yang tidak menjadi konsumsi publik. Restrukturisasi organisasi pada hakikatnya hanya satu tujuannya yakni peningkatan kapabiltas organisasi yang berdampak kepada kualitas laporan intelijen.

Peningkatan kapabilitas tersebut ada yang sifatnya penajaman yang fokus kepada fungsi tertentu dan ada yang sifatnya perluasan jangkauan operasi. Bila diperhatikan restrukturisasi yang terjadi pada BIN misalnya adalah lebih kepada perluasan jangkauan operasi dan bukan penajaman fungsi tertentu. Sementara pada level nasional muncul ide-ide pembentukan lembaga baru seperti BSSN dan BNPT yang mana bukan mempererat kerjasama dan meningkatkan sharing informasi, melainkan main sendiri-sendiri, sehingga tidak mengherankan bila BIN membentuk Deputi Siber karena hampir dapat dipastikan BSSN akan sulit berbagi informasi atas nama kompartementasi atau semata-mata karena persaingan belaka. Menyedihkan bukan?

Di saat berbagai negara mendorong intergrasi sistem intelijen nasional, Indonesia tak kunjung bergerak menuju kepada integrasi sistem intelijen nasionalnya, malahan justru semakin mengarah kepada disintegrasi. Contoh paling nyata dari sistem intelijen nasional yang kurang berjalan baik adalah Koordinasi Intelijen Negara dalam bentuk Komite Intelijen Pusat (KOMINPUS) dan Komite Intelijen Daerah (KOMINDA) berdasarkan Perpres No.67 Tahun 2013. KOMINDA dalam pantauan Blog I-I berjalan jauh lebih baik daripada KOMINPUS yang nyaris tidak efektif karena keengganan sharing informasi dari anggota-anggotanya.

Secara aturan hukum, koordinasi intelijen secara nasional di Indonesia berada di tangan BIN, namun pelaksanaannya tidak mudah karena tidak ada kewajiban lembaga-lembaga yang memiliki fungsi intelijen untuk melapor kepada Kepala BIN. Seharusnya BIN tidak perlu mempergendut organisasinya demi perluasan sumber informasi, melainkan memperkuat fungsi koordinasi misalnya melalui revisi UU Intelijen Negara atau Perpres yang mewajibkan lembaga-lembaga yang memiliki fungsi intelijen untuk menyampaikan laporan kepada Kepala BIN. Andaipun sudah ada aturan kewajiban melaporkan kepada BIN, masih belum ada jaminan bahwa dalam pelaksanaannya akan lancar karena masalah struktural, budaya, dan ego sektoral. Misalnya contoh, keluhan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu soal tidak menerima laporan intelijen dari BAIS TNI yang berada dibawah Mabes TNI da hanya melapor kepada Panglima.

Selama Indonesia gagal menciptakan sistem intelijen nasional yang lebih terintergrasi dan sharing informasi yang lebih lancar, maka kita akan terus menyaksikan persaingan-persaingan antar lembaga intelijen, ego sektoral, serta kurang efektifnya intelijen Indonesia dalam mendeteksi dan merespon ancaman.

Bertahun-tahun komunitas Blog I-I mendorong perubahan sistem intelijen nasional yang lebih profesional dan fokus kepada fungsi intelijen untuk keamanan nasional. Namun tampaknya kita masih akan menyaksikan masa depan intelijen Indonesia yang terkotak-kotak. Hanya do'a dan semangat membangun Intelijen yang profesional yang dapat mengingatkan generasi muda intelijen, semoga suatu saat nanti dapat mengubahnya menjadi lebih baik.

Salam Intelijen
Dharma Bhakti

   

Read More »
04.02 | 0 komentar

Sabtu, 22 Juli 2017

Operasi Intelijen Penggembosan Prabowo



Berdasarkan informasi A1 yang perlu Blog I-I rahasiakan sumbernya, dapat disampaikan bahwa mulai Juli 2017 ini operasi intelijen penggembosan Prabowo telah secara efektif dijalankan. Mengapa Blog I-I mengangkat tulisan bernuansa politis dan kurang spot intelijennya? Hal ini tidak lain tidak bukan karena keyakinan pada prinsip bahwa Intelijen harus bersih/steril dari kepentingan politik kekuasaan. Blog I-I hanya ingin menyadarkan Intelijen Resmi sejak Blog I-I lahir tentang pentingnya profesionalisme intelijen untuk fokus pada isu-isu keamanan nasional dan bukan pertarungan politik nasional.


Bahkan bila perlu intelijen dilarang melakukan operasi yang bertujuan menguntungkan salah satu calon Presiden termasuk calon petahana yang menjadi single client Intelijen. Satu-satunya Kepala BIN yang secara tegas menyatakan netral dan melaksanakan prinsip netral dalam pertarungan politik adalah Marciano Norman, selain itu semuanya termasuk Kepala BAIS TNI melakukan operasi-operasi yang menguntungkan salah satu calon Presiden dan secara efektif melakukan penggembosan kepada lawan politik. Hal ini teramat sangat tidak sehat dan dapat menyebabkan Intelijen kehilangan profesionalisme dan obyektifitasnya. Pernuh ditambahkan disini bahwa profesionalisme Marciano Norman tersebut tidak mengurangi loyalitas kepada single client saat itu Presiden ke-6 SBY, melainkan hal itu juga berdasarkan pada sikap SBY yang demokratis dan menginginkan intelijen, TNI dan Polisi yang netral dari kepentingan kekuasaan.

Komisi Pengawas Intelijen DPR dan civil society seharusnya segera melakukan investigasi manakala intelijen masuk terlalu jauh ke dalam ranah politik dan melakukan intervensi-intervensi yang merugikan demokrasi.

Informasi Blog I-I ini masih sangat awal dan belum cukup untuk pembuktian secara hukum karena operasi baru saja akan dilaksanakan oleh unit intelijen dalam negeri. Sebagaimana juga operasi intelijen menjegal Agus Yudhoyono dan Anies Baswedan dalam pilkada DKI Jakarta yang lalu yang berhasil dilemahkan komunitas Blog I-I, maka Blog I-I mempublikasikan tulisan ini untuk melemahkan operasi intelijen penggembosan Prabowo. Sebagai indikasi, operasi awal penggembosan Prabowo dilaksanakan di Jawa Timur dan akan terus berkembang ke berbagai daerah lainnya. Selain itu, setiap gerak Prabowo akan berada dalam pantauan. Hal ini sungguh sangat tidak etis dan mengancam demokrasi. SBY bahkan sudah pernah merasakan menjadi korban operasi ketika pilkada DKI tengah hangat-hangatnya dalam kompetisi di Jakarta.

Sekali lagi, ini baru informasi awal namun dampaknya akan sangat dahsyat dalam jangka dua tahun menjelang 2019.

Semoga Intelijen dapat kembali pada marwahnya untuk netral dan bersih dari pertarungan politik kekuasaan. Bahwa intelijen mencatat dan menganalisa jalannya persaingan politik dalam rangka memelihara stabilitas keamanan adalah sah secara hukum, namun intelijen tidak boleh melakukan intervensi. Garis batasnya sangat tegas dan jangan sampai dilanggar.

Catatan tambahan 24 Juli 2017:
Beberapa bulan lalu tepatnya pada 24 April 2017, Eyang Senopati Wirang menyampaikan perkiraan waskitha bahwa Jokowi akan kalah dalam pilpres 2019 (baca ramalan tersebut dalam artikel Klarifikasi Soleman Ponto). Namun setelah mendengar kabar operasi penggembosan Prabowo, Eyang SW menarik nafas dalam dan menyatakan bahwa dalam sejarah pemilu Indonesia baik pada era Orla, Orba, maupun Reformasi, peranan intelijen sangat luar biasa. Hal itu bukan saja karena sumber daya dan fasilitas serta akses yang dimiliki, namun juga karena diantara insan intelijen khususnya di BIN tersembunyi para ahli waskitha yang secara sadar maupun tidak akan selalu memperkuat posisi Presiden Republik Indonesia. Kehebatan memadukan skill intelijen, analisa intelektual akademik yang solid, jaringan dan informasi yang luar biasa, dan kemampuan waskitha sesungguhnya merupakan kekuatan terbesar BIN. Hanya saja karena pimpinan BIN seringkali tidak mengetahui siapa para waskitha tersebut, maka mutiara BIN tenggelam dalam manipulasi informasi yang menyebabkan laporan BIN kurang berkualitas. 

Eyang SW hari ini persis 3 bulan setelah meramalkan kekalahan Jokowi merevisi ramalannya dan menyatakan bahwa bila BIN solid dalam kepemimpinan BG mendukung Jokowi, maka harapan Prabowo menang dalam Pilpres 2019 semakin memudar. Cepat atau lambat, BG akan memperoleh analisa-analisa tajam dari mutiara BIN yang tersembunyi. Harapan Prabowo hanya bila mampu mengakses mutiara-mutiara waskitha BIN yang tersembunyi tersebut. Hal itu tentunya hampir mustahil karena pimpinan BIN saja tidak tahu persis siapa mereka. Sementara itu, oposisi yang sebenarnya potensial yakni Partai Demokrat dibawah kepemimpinan SBY akan semakin terpuruk karena juga tidak luput dari penggembosan terutama terhadap potensi Agus Yudhoyono yang kemungkinan besar akan menyesali hidupnya seumur hidup karena keluar dari TNI. Kejamnya politik dan tajamnya operasi intelijen menggerus masa depan Agus Yudhoyono juga hanya dapat diatasi bila SBY mampu mengakses waskhita yang tersembunyi di dalam organisasi BIN. Sungguh tidak mudah karena intel waskhita sejati tidak akan dapat dirayu dengan uang, jabatan, wanita, dan berbagai gemerlap dunia. Intel waskhita sejati hanya akan melihat ketulusan calon pemimpin nasional dan pasti hatiya tergerak untuk mendo'akan dan bahkan menyampaikan saran. Salah satu alasan Eyang Seno menyampaikan hal ini adalah untuk menggugah hati insan-insan intelijen waskhita yang tersembunyi di BIN untuk memperhatikan masa depan Indonesia secara lebih obyektif.

Ramalan Eyang SW bukan Sabda Alam yang pasti terjadi, hanya sebuah perkiraan semata. Kita akan melihat pembuktiannya nanti pada tahun 2019. Itupun apabila para lakon kisah masa depan tersebut masih hidup semua.

Demikian semoga bermanfaat.
Salam Intelijen
Dharma Bhakti

Read More »
03.14 | 0 komentar

Jumat, 21 Juli 2017

Dokumen Intelijen Pengurus dan Anggota HTI

Infografis Jokowi Gebuk HTI sumber: Tirtoid


Sejak beberapa hari yang lalu dalam sejumlah media sosial seperti facebook, grup WA dan berbagai model komunikasi termasuk email beredar dokumen Intelijen yang menurut sumber Blog I-I hampir dapat dikatakan 80% adalah hasil karya Badan Intelijen Negara (BIN) yang berisi pengurus, anggota dan simpatisan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Hal itu menurut analisa Tirto.id dalam artikelnya Beredar Dokumen Pengikut HTI dan HTI dalam bayang-bayang pengawasan seolah beredarnya dokumen tentang HTI tersebut merupakan bagian dari langkah-langkah Presiden Jokowi dalam menggebuk HTI. Peredaran dokumen anggota HTI yang menurut Tirto.id mencapai 1300an orang tersebut sengaja pertama kali diedarkan di kalangan ormas Islam khususnya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), namun karena Muhammadiyah lebih berhati-hati, peredaran yang paling dahsyat terjadi di dalam lingkungan NU. Entah apa maksudnya, apakah untuk mengadu domba sesama umat Islam ataukah untuk memperkuat dukungan NU di tingkat akar rumput masyarakat.


Sungguh sangat berbahaya BIN dan Presiden Jokowi melakukan strategi adu domba sesama umat Islam apabila Tirto.id benar dalam memberikan ilustrasi langkah-langkah Jokowi menggebuk HTI. Bagaimanapun juga, HTI adalah berada dalam kelompok benar Islam Sunni sebagaimana juga Muhammadiyah dan NU. Perbedaan HTI yang paling mencolok adalah pada cita-cita mendirikan Khilafah Islamiyah dan metode dakwah/gerakan mengubah pikiran masyarakat Muslim Indonesia agar mendukung konsep Khilafah HTI. Selain itu, makna Hizbut Tahrir yang merupakan Partai Pembebasan adalah gerakan politik menentang demokrasi dan bermain di luar koridor demokrasi.

Catatan Blog I-I terhadap kasus peredaran/pembocoran dokumen BIN tentang HTI adalah sbb:
  1. Langkah dan strategi Presiden Jokowi, Pemerintah dan BIN dalam menghadapi HTI tampak terlalu tergesa-gesa dan kurang matang sehingga menimbulkan ekses yang akan berkepanjangan dan berdampak strategis kepada keamanan nasional Indonesia. Blog I-I 100% setuju bahwa gerakan HTI dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dan bahkan menciptakan konflik yang lebih besar di masa mendatang bila tidak segera ditangani saat ini. Namun langkah-langkah yang ditempuh pemerintah menciptakan kontroversi yang berpotensi memperdalam persoalan, menciptakan masalah baru terkait keadilan dan HAM, serta dapat diinterpretasikan sebagai otoriterisme gaya baru.
  2. Penerbitan Perppu No.2 Tahun 2017 dengan berbagai perdebatan hukum dan politik meskipun mengandung sejumlah masalah (baca Perppu tentang Perubahan UU Ormas) sudah tepat. Blog I-I awalnya menyayangkan langkah Perppu tersebut karena awalnya lebih setuju Pemerintah menempuh proses hukum dalam langkah-langkah pembubaran, namun berdasarkan argumentasi hukum bahwa pejabat yang memberikan izin berwenang mencabut izin jika terjadi pelanggaran izin (contractio actus) maka komunitas Blog I-I dapat menerima argumen tersebut. Hal ini dapat diibaratkan dengan berbagai izin/license yang dikeluarkan lembaga yang berwenang di Indonesia yang dapat dicabut karena pelanggaran. Contoh sederhana yang dapat dipahami masyarakat biasa misalnya Surat Izin Mengemudi (SIM) yang dapat dicabut apabila pemilik SIM melakukan pelanggaran berlalu lintas berat sebagaimana diatur dalam UU No.22 Tahun 2009 Pasal 89 ayat 2 dan Pasal 314. 
  3. Setelah langkah Perppu yang memberikan dasar hukum bagi Pemerintah untuk menegakkan aturan tentang Ormas, Ditjen AHU menerbitkan Surat Keputusan Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Kementerian Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI. Langkah ini juga sudah tepat, karena HTI dapat mengajukan keberatan sesuai dengan prosedur yang berlaku, salah satunya dengan membuktikan bahwa HTI tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dan berjanji untuk taat kepada aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Proses ini dapat dilakukan melalui pengadilan atau suatu upaya sungguh-sungguh dari HTI untuk berubah sehingga tidak lagi dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
  4. Sebelumnya Blog I-I berpandangan bahwa pembubaran HTI harus melalui proses hukum/pengadilan terlebih dahulu, hal ini jelas keliru karena Pemerintah berwenang mengambil langkah berupa pembubaran Ormas, namun kemudian Ormas yang dibubarkan dapat mengajukan keberatan melalui proses hukum. Logika ini sudah cukup kuat dan dapat diterapkan secara maksimal demi kepentingan bangsa dan negara.
  5. Catatan khusus mengenai beredarnya dokumen BIN tentang HTI dan lustrasi langkah-langkah Presiden menggebuk HTI versi Tirto.id, apabila semua itu benar, maka disinilah blunder terbesar Pemerintahan Jokowi karena menempuh strategi yang kasar intimidatif dan melanggar HAM dengan mempublikasikan data-data anggota HTI atau yang diduga terkait HTI yang dapat berdampak kepada kehidupan orang-orang yang namanya tercantum padahal belum dibuktikan secara hukum. Hal ini merupakan tindakan sewenang-wenang yang mendahului prosedur hukum yang sedang berjalan seperti gugatan uji materil Perppu No.2 Tahun 2017 dan pengajuan keberatan HTI melalui pengadilan. Beredarnya daftar anggota HTI tersebut mengindikasikan adanya upaya persekusi atau penghakiman terhadap pengurus dan anggota HTI yang jauh dari itikad baik pembinaan masyarakat dalam rangka penyadaran yang lebih manusiawi dan dialogis paska bubarnya HTI. Hal ini juga sangat buruk dalam kacamata penegakkan hukum dan meningkatkan kecurigaan yang besar terhadap pemerintahan Jokowi yang dapat diplesetkan Anti Islam. Logikanya adalah apabila data lengkah HTI dengan mudah dibocorkan ke publik di saat proses hukum masih berjalan, maka data-data yang lain seperti politisi Anti Jokowi, bahkan data anggota dan pengurus NU sekalipun suatu saat dapat menjadi sasaran operasi intelijen bila kondisi politik mendorong demikian.
  6. Bahaya terbesar dari operasi intelijen yang ceroboh mendahului proses hukum adalah konflik horisontal dan menajamnya kecurigaan sesama anggota masyarakat. Bahwa Intelijen harus tahu data yang lengkap tentang siapa, dimana, bilamana, bagaimana, dan mengapa adalah benar wajib adanya. Namun kerahasiaan adalah jantung informasi intelijen. Kemudian ketika data sudah lengkap maka strategi, langkah kebijakan dan jenis operasi intelijen yang tepat juga sangat penting dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah secara umum. Dalam kasus HTI, kebijakan pemerintah adalah membubarkan secara umum dapat diterima masyarakat karena tujuannya adalah masa depan Indonesia yang bersatu adil dan makmur serta deteksi dan cegah dini konflik yang lebih besar di masa mendatang. Namun kebijakan menyebarkan dokumen data anggota HTI belum tentu sejalan dengan kebijakan umum pemerintah membubarkan HTI.
  7. Dampak penyebaran dokumen tentang HTI sepintas lalu hanya kekhawatiran terjadinya persekusi terhadap anggota HTI. Namun dampak yang lebih berbahaya adalah menciptakan kondisi psikologis para pendukung syariah dan khilafah suatu keyakinan bahwa pemerintahan Jokowi tidak adil dan Anti Islam. Dalam menyelesaikan masalah-masalah perbedaan pendapat untuk pembangunan misalnya kasus penggusuran dll, Jokowi dengan sangat manusiawi mengajak dialog, diskusi dan makan-makan. Namun dalam menghadapi pendukung syariah dan khilafah, langsung digebuk tanpa sedikitpun komunikasi. Dari ketidakadilan tersebut akan lahir keyakinan bahwa komunikasi telah ditutup dan mereka yang mendukung syariah dan khilafah akan masuk dalam gerakan bawah tanah, keadaan yang paling membahayakan adalah bila mereka terjerumus ke dalam radikalisme dan terorisme yang semakin keras namun tersembunyi di tengah-tengah masyarakat. HTI hanyalah ujung dari gunung es gerakan khilafah secara damai dengan mengubah pikiran masyarakat melalui dakwah. Argumentasi Negara Islam dalam sejarah bukanlah soal duniawi pembangungan ekonomi sosial, stabilitas politik, persatuan dan kesatuan, melainkan untuk mencapai ridho Allah SWT. Artinya cita-cita khilafah tidak akan pernah hilang selama umat Islam sadar akan keIslamannya. Bahwa terjadi perbedaan tafsir tentang bagaimana wujud Negara Islam tersebut adalah bagian dari dinamika sosial, politik, dan hukum Islam. Seluruh umat Islam berada dalam pusaran perdebatan tersebut. Ada yang memilih untuk liberal dan merangkul penuh konsep Barat demokrasi dengan berbagai aturan mainnya dan tetap sebagai Muslim yang taat beribadah. Ada yang memilih untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam tanpa memaksakan syariah dan khilafah Islamiyah yakni Indonesia yang Islami. Ada yang ingin memformalkan hukum-hukum syariah tanpa membentuk negara Islam seperti dalam Perda dan penerapan hukum Islam secara sebagian-sebagian seperti hukum pernikahan dan waris. Bahkan di Aceh penerapan syariah jauh lebih lengkap. Ada yang mencita-citakan khilafah secara formal melalui jalan damai dan dakwah mengubah pikiran masyarakat seperti HTI. Ada yang mencita-citakan negara Islam melalui jalan kekerasan seperti kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia dan kelompok teroris Jemaah Islamiyah dll. 
  8. Begitu banyak perbedaan-perbedaan di masyarakat adalah keniscayaan yang akan selalu terjadi dalam perjalanan suatu bangsa. Pendekatan jangka pendek yang seolah telah menyelesaikan masalah sebenarnya dapat menyimpan bom waktu yang lebih berbahaya di masa mendatang. Itu semua hanya karena kecerobohan-kecerobohan yang tidak perlu seperti beredarnya dokumen tentang HTI. 
  9. Sekali lagi Blog I-I setuju dengan niat pemerintah untuk menjaga persatuan dan kesatuan dan mendukung penuh langkah-langkah yang efektif dengan tetap memperhatikan keadilan, HAM dan melalui prosedur hukum yang wajar. 
Semoga catatan kritis ini tidak dipandang sebagai rongrongan terhadap Intelijen, khususnya BIN melainkan sebagai masukan untuk perbaikan di masa mendatang. Apabila dokumen intelijen tentang HTI adalah kebocoran, maka sudah waktunya BIN tegas menegakkan aturan kepada pembocor-pembocor informasi dengan melakukan litsus ulang seluruh anggota BIN dan sumpah setia dengan sumpah intelijen serta bila terungkap ditindak dengan pemecatan dan tuntutan hukum yang maksimal dengan ancaman penjara dan denda, karena lembaga intelijen yang dihuni banyak tikus-tikus pembocor adalah bahaya besar bagi bangsa dan negara. 

Salam Intelijen
Dharma Bhakti

    Read More »
    02.35 | 0 komentar

    Jumat, 14 Juli 2017

    Perppu No.2 Tahun 2017 tentang Perubahan UU Ormas



    Pendapat Prof. Yusril Ihza Mahendra tentang Perppu No.2 Tahun 2017 sudah banyak diangkat media massa, bahkan Prof. Yusril akan mengajukan gugatan uj materil terhadap perppu tersebut. Baca: Kompas, Detik, Tempo, Ketentuan Pidana dalam Perppu Ormas, dll. Intinya Perppu tersebut merupakan ancaman bagi demokrasi serta Prof. Yusril mengatakan: "Dengan Perpu yang baru ini, Menhumkam dapat membubarkan ormas semaunya sendiri. Ini adalah ciri pemerintahan otoriter.Dalam kontruksi negara hukum demokratis, setiap kerja dan produk organ negara harus bisa divalidasi dan diperiksa oleh organ negara lain, sebagai manifesto kontrol dan keseimbangan" (Lihat: Kumparan). Apakah cukup hanya dengan berdasarkan pendapat pakar Hukum Tata Negara seperti Prof Yusril untuk menilai Perppu No. 2 Tahun 2017? Tentu tidak, dan Blog I-I akan membandingkannya dengan pendapat-pendapat lain yang sangat banyak. Pendapat Pemerintah cukup diwakili oleh Menkopolhukam Wiranto misalnya menjelaskan Perppu No.2 Tahun 2017 bukan untuk membatasi Ormas, bukan kesewenang-wenangan dan bukan mau menang sendiri melainkan untuk merawat persatuan dan kesatuan serta menjaga eksistensi bangsa. Pendapat kalangan Civil Society  misalnya oleh Hendardi dari Setara Institute yang meskipun mendukung Perppu No.2 Tahun 2017 namun mengingatkan bahwa dalam konstruksi negara hukum demokratis, setiap kerja dan produk organ negara harus bisa divalidasi dan diperiksa oleh organ negara lain, sebagai manifesto kontrol dan keseimbangan, sehingga Hendardi menyarankan agar mekanisme pembubaran Ormas tetap dilakukan dengan pertimbangan MA dan tetap menyediakan mekanisme keberatan melalui Badan Peradilan.


    Disamping tiga pendapat mainstream tersebut kita juga dapat melihat pro kontra yang lebih tegas berupa dukungan dari sejumlah Ormas Anti Khilafah dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dukungan dari tokoh dan pakar yang mengkhawatirkan persatuan dan kesatuan serta Pancasila, dukungan dari berbagai kalangan yang memahami betapa pentingnya persatuan dan kesatuan Indonesia. Kemudian kita dapat melihat penolakan dari kelompok yang merasa terbidik khususnya HTI yang merupakan contoh pertama Ormas yang secara khusus dibidik untuk dibubarkan. Baca: BBC dan Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia. Selain HTI, tentu sejumlah Ormas telah dapat merasakan kira-kira akan senasib dengan HTI atau tidak. Ormas-ormas tersebut tidak harus Islam, melainkan Ormas apapun yang dimasukan dalam kategori Anti Pancasila atau diduga merongrong persatuan dan kesatuan.

    Blog I-I sangat memahami pentingnya persatuan dan kesatuan, namun persatuan dan kesatuan yang dipaksakan khususnya secara politik dan pendekatan kekuasaan justru akan melahirkan perlawanan. Apabila kebijakan Perppu No.2 Tahun 2017 merupakan shock therapy dan ujungnya adalah penegakkan hukum yang adil dengan mekanisme yang adil pula, maka kita dapat berhadap bahwa langkah pemerintah akan sukses dalam mengikis ancaman-ancaman perpecahan bangsa. Hukum yang adil dan mekanisme yang adil tersebut tentunya juga dijiwai oleh semangat demokrasi dan hak asasi manusia, dimana individu, kelompok, organisasi masyarakat diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri sekiranya telah kebablasan dalam berpikir, bertindak dan berperilaku yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Alangkah baiknya apabila Ormas seperti HTI diberikan kesempatan untuk bersumpah setia kepada Pancasila dan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan secara sukarela. Apabila HTI menolak, barulah alasan untuk pembubaran menjadi sangat kuat. Proses tersebut dapat berlangsung dalam proses peradilan yang adil merujuk kepada UU No.17 Tahun 2013 tentang Ormas dan peraturan-peraturan hukum dibawahnya.

    Mengapa proses pembubaran HTI tidak menempuh mekanisme hukum yang panjang dan melelahkan namun jauh lebih pasti sehingga kemudian dapat menjadi referensi hukum yang beradab? Apakah pembubaran HTI melalui pengkajian sepihak dari Pemerintah dan keputusan politik dapat menghindari perdebatan hukum dan politik yang justru akan lebih panjang dari proses hukum? Serta apakah pendekatan Perppu akan lebih efektif daripada proses peradilan yang adil?

    Meskipun Prof. Yusril sebagai kuasa hukum HTI bersama-sama HTI akan melakukan gugatan uji materil terhadap Perppu No.2 Tahun 2017, namun inisiatif Pemerintah dengan menempuh kebijakan Perppu tersebut sungguh sangat disayangkan. Bukan karena soal ancaman terhadap persatuan dan kesatuannya, melainkan karena masalah pilihan strategi yang kurang tepat. Kita semua setuju, bahwa pemerintah harus mampu mengikis habis seluruh ancaman terhadap persatuan dan kesatuan apalagi bila ada ancaman yang nyata dekat di depan mata. Kita juga setuju bahwa Pemerintah harus tegas dalam menindak individu, kelompok, dan organisasi yang memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa seperti (1) mereka yang ingin mengubah negara, dasar negara, dan konstitusi negara, (2) mereka yang ingin memisahkan diri dan membentuk negara baru, (3) mereka yang mengadu domba menciptakan konflik sesama anak bangsa untuk perpecahan Indonesia, dst. Namun dalam mencapai tujuan tersebut, strateginya juga harus tepat dan disertai dengan peningkatan kesadaran publik secara massal tentang bangsa dan negara Indonesia yang bersatu adil dan makmur.

    Realita sosial dan politik seringkali tidak sejalan dengan konsep-konsep persatuan dan kesatuan karena adanya kepentingan individu dan kelompok baik yang dikendalikan oleh motf ideologi maupun motif kekuasaan dan uang. Masalah tersebut memang kompleks dan sulit diatasi dalam waktu singkat terlebih apabila simpatisan kelompok yang tersesat bercita-cita menghancurkan negara Republik Indonesia dan membangun yang baru tersebut telah menyebar bagaikan virus hingga ke tubuh birokrasi, swasta, dan masyarakat di berbagai pelosok negeri. Revitalisasi peranan dan kehadiran negara tentu sangat penting dalam menyikapi hal tersebut, namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana mengatasi masalah tersebut tanpa melahirkan masalah baru atau mengulangi kesalahan yang sama di masa lalu, yakni digebuk dengan cepat sehingga melahirkan luka-luka baru yang menjadi api di dalam sekam.

    Blog I-I mendukung langkah hukum yang ditempuh Prof. Yusril, apapun hasilnya nanti adalah proses hukum yang baik dan dialogis argumentatif demi tegaknnya hukum. Blog I-I juga mendukung dorongan Setara Instute agar pendekatan hukum yang adil dan kesempatan menyampaikan keberatan tidak ditinggalkan. Blog I-I juga sangat memahami keinginan pemerintah untuk merawat persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga langkah-langkah pemerintah sudah tepat tujuannya, hanya saja caranya perlu diperbaiki dengan mengedepankan hukum yang berkeadilan.

    Blog I-I yakin, apabila perdebatan hukum tentang Perppu No.2 Tahun 2017 dapat dilalui dengan meyakinkan menghasilkan suatu kedekatan pemahaman dasar hukum yang tepat dalam menyikapi organisasi yang dianggap merongrong persatuan dan kesatuan, maka ormas manapun tidak akan dapat mengelak untuk tunduk dan patuh terhadap hukum positif Indonesia. Selain itu, hasil dari perdebatan argumentatif hukum tersebut seharusnya dapat menciptakan kepastian hukum tentang Ormas, sehingga tidak akan berkembang menjadi saling tuding yang merupakan propaganda negatif antar pihak yang satu dengan yang lain. Apabila pro kontra wacana, sikap saling tuding, dan sikap saling curiga terus dipelihara dalam jangka waktu yang panjang, hal itu akan mengiring Indonesia ke dalam keadaan konflik dengan semakin runtuhnya kepercayaan diantara sesama warga bangsa Indonesia. Maka hentikanlah polemik yang tidak perlu, tempuhlah jalur hukum dan tegakkanlah keadilan hukum yang sesungguhnya, termasuk untuk tetap menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

    Salam Intelijen
    Dharma Bhakti




    Read More »
    03.36 | 0 komentar