Sabtu, 24 Juni 2017

Senin, 12 Juni 2017

Tentang analisabaladacintarizieq.blogspot.com


Tampilan Blog analisabaladacintarizieq.com sebelum dihapus pemiliknya

Blog I-I akan berkomentar singkat tentang Blog yang menghebohkan tersebut diatas dengan merujuk kepada fakta-fakta berupa data-data dari analisabaladacintarizieq.blogspot.com (mengaku orang awam tanpa nama) dan bantahan resmi dari Polisi, bantahan dari BIN, serta bantahan dari tertuduh Sdr. Irfan Miftach (IM).


analisabaladacintarizieq.blogspot.com dipublikasikan bukan oleh orang yang sekedar iseng atau membangun cerita hoax atau berita bohong. Melainkan oleh seseorang yang tahu persis dampaknya yang akan viral, bukan saja memojokkan BIN dengan tuduhan berada di belakang operasi mengkriminalkan ulama Habieb Rizieq, melainkan juga menggunakan teknik propaganda sesuai peribahasa lembar batu sembunyi tangan. Tujuannya sangat sederhana yakni menciptakan "rasa tidak percaya" kepada aparatur keamanan khususnya Polisi dan BIN.

Benar tidaknya analisa yang disampaikan analisabaladacintarizieq.blogspot.com dapat diperdebatkan secara teknis dengan forensik IT mencari jejak-jejak pengunggah baladacintarizieq.com yang berisi pembicaraan pornografi antara Habieb Rizieq dengan Firza Husein. Setidaknya tiga pihak sudah membantah yakni Sdr. IM, Polisi, dan BIN. Artinya terjadi pro dan kontra, dan akhirnya masyarakat menjadi bertanya-tanya siapa yang benar. Itulah tujuan dari pembuat analisabaladacintarizieq.blogspot.com, penajaman pro kontra kriminalisasi ulama ke dalam ranah legalitas operasi pengungkapan kasus pembicaraan porno tersebut. Artinya pembuat Blog mendorong publik untuk merenung berpikir bahwa bila yang menyebarluaskan pembicaraan porno adalah intelijen, maka telah terjadi suatu penyalahgunaan wewenang. Hal ini bukan saja menjatuhkan kredibilitas Budi Gunawan sebagai Kepala BIN, melainkan juga pemerintahan Jokowi secara umum. Hal ini mirip dengan pengungkapan kasus pembicaraan antara Presiden ke-6 SBY dan Ketua MUI yang dibocorkan oleh Ahok dan pengacaranya yang mengaku memperolehnya dari Intelijen.

Bagaimana Blog I-I menilainya? Tentunya diperlukan pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan secara faktual dan hukum. Faktual misalnya tentang siapa yang membuat website baladacintarizieq.com serta bagaimana pihak pembuat website tersebut memperoleh data pembicaraan porno tersebut. Dapat dipastikan bahwa apabila pembicaraan porno tersebut otentik asli dan pernah terjadi, maka pihak yang membidik Habieb Rizieq memiliki akses langsung secara fisik kepada alat komunikasi yang digunakan (telepon genggam) apakah milik Habieb Rizieq ataukah milik Firza Husein, dengan adanya tambahan rekaman suara yang diduga Firza Husein, maka kemungkinan besar sumber pertama adalah telepon genggam Firza. Selanjutnya dapat dengan cepat dicloning atau dicopy isinya tanpa sepengetahuan pemiliknya. Seharusnya baik Habieb Rizieq maupun Sdri. Firza dapat menduga-duga siapa kira-kira yang melakukan itu. Karena telepon genggam adalah alat komunikasi yang sangat pribadi dan berisi hal-hal yang pribadi pula.

Kemudian tentang analisa yang disampaikan oleh blog analisabaladacintarizieq.blogspot.com, sejauhmana kredibilitasnya? Bantahan Sdr, IM termasuk yang paling detil dengan mengungkapkan pengakuan bahwa ybs hanya melakukan mirror website baladacintarizieq.com. Miror website biasanya dilakukan untuk mengurangi bobot trafik yang terlalu besar ke website utama, dan atau menganstisipasi penutupan sebuah website baik oleh pemiliknya maupun oleh pihak yang berwenang. Apa tujuannya? Mundukung website utama, ada yang untuk sekedar memiliki copy untuk dipelajari, ada juga yang mempublikasikannya sebagai cadangan bila kemudian benar-benar ditutup. Hal ini sudah biasa terjadi, contoh misalnya mirror dari Blog I-I yang telah dilakukan sejumlah simpatisan Blog I-I. Mengapa Sdr. IM melakukan mirror baladacintarizieq.com? pengakuannya adalah belajar digital forensik, benarkah? Hal ini Blog I-I tidak dapat memastikan. Bila ingin mempelajari forensik dari baladacintarizieq.com tentu sebuah replika atau mirror website bukan jawabannya. Mirror hakikatnya bertujuan mempercepat akses kepada informasi sejenis dalam wilayah yang berbeda-beda. Blog I-I tidak dapat berspekulasi dengan pengakuan Sdr. Irfan yang mengakui tidak melakukan restriksi terhadap mirror yang dibuatnya tersebut, sehingga telah menyebabkan ada pihak yang mengungkapkan adanya kaitan walaupun mungkin faktanya sungguh-sungguh hanya mirror website untuk belajar forensik digital.

Bantahan Sdr. Irfan Miftach

Bantahan dari Polisi sifatnya mengkonter temuan dari analisabaladacintarizieq.blogspot.com dan menyatakan analisa tersebut ngawur, sedangkan bantahan dari BIN sifatnya standar bahwa BIN tidak melakukan hal-hal yang dituduhkan.

Bagaimana kita sebagai masyarakat awam sebaiknya bersikap? Tanpa mengurangi sikap kritis kita, ada baiknya untuk lebih berhati-hati terhadap informasi yang kita kurang paham baik isi maupun teknisnya. Jangan kita terburu-buru menyebarluaskannya sebagai kebenaran atau bahkan menambahinya dengan opini-opini yang provokatif dengan tuduhan atau pertanyaan yang menuduh. Namun kita juga jangan percaya begitu saja dengan bantahan-bantahan yang terlalu cepat dan kurang komprehensif. Masyarakat yang cerdas dan terdididk tidak seharunya masuk ke dalam dinamika opini pro-kontra pernuh syak wasangka yang akhirnya menjermusukan kita kepada konflik-konflik yang lebih serius. Kita harus meneliti bila punya ilmunya, kita perlu menunggu pendapat ahli bila kita awam dengan apa yang menjadi pembahasan.

Bahwa berita-berita "heboh" mudah dan cepat viral itu adalah karena masyarakat Indonesia senang dengan gossip bahkan tanpa rasa prihatin atau bersalah membuatnya menjadi viral dalam berbagai versi tambahan komentar yang memperdalam rasa saling curiga. Maka meskipun yang pelempar isu yang sembunyi telah menghilang dengan menghapus Blognya, dampaknya masih terus bergulir dalam prasangka-prasangka yang mempertajam pro dan kontra diantara sesama warga bangsa Indonesia.

Dari penelitian Blog I-I, analisabaladacintarizieq.blogspot.com kemungkinan besar dibuat oleh seseorang yang dikenal atau mengenal Sdr, Irfan dan tidak secara tiba-tiba melemparkan tuduhan. Terlebih bisa mengaitkan kepada alamat registrasi yang tertuju kepada Kantor BIN atau minimal beralamat di Komplek BIN. Dunia intelijen sangat kejam, makan tulang kawan sudah sangat sering terjadi. Apabila Sdr. Irfan ternyata anggota BIN, maka ybs kurang berhati-hati dan sedang mengalami apa yang disebut sebagai Burn Notice atau diblow-up secara kejam. Namun apabila Sdr. Irfan bukan anggota BIN, maka kemungkinan besar alamat KTP atau identitasnya adalah di sekitaran Kantor BIN dan ybs sedang sial tertimpa musibah berita hoax karena proses belajar forensik digitalnya dituduh secara sepihak sebagai bagian dari penyebar konten pronografi yang melanggar hukum.

Semoga catatan Blog I-I ini dapat membiasakan kita semua untuk lebih menahan diri dan berhati-hati dalam setiap kali menyikapi suatu isu terkait dunia intelijen.
 
Salam Intelijen
Dharma Bhakti



Read More »
09.29 | 0 komentar

Sabtu, 10 Juni 2017

Radikalisasi: Sebuah Pengalaman Pribadi

Pengantar Blog I-I: Artikel berikut ini adalah komentar Sdr. Bunglon Hitam terhadap artikel ISIS: Sebuah Perspektif Obyektif. Komentar Sdr. Bunglon Hitam bila dipublikasikan sebagai komentar mungkin akan terlewat oleh sahabat Blog I-I yang hanya membaca bagian artikel-artikel Blog I-I, oleh karena itu ada baiknya diangkat sebagai artikel yang semoga bermanfaat bagi kita semua dalam memahami fenomena radikalisasi khususnya di Indonesia. Blog I-I hanya menambahkan judul yang semoga dapat mencerminkan isi dari tulisan Sdr. Bunglon Hitam.  Selamat membaca.... 




Radikalisasi: Sebuah Pengalaman Pribadi

oleh: Bunglon Hitam

Ijinkan saya untuk sedikit menuangkan pengalaman tentang gerakan Islam. Saya sudah cukup lama ikut gerakan-gerakan pengajian, sudah sejak saya masih SMA. Dari mengikuti berbagai macam gerakan tersebut, saya bisa melihat mana-mana saja subjek yang radikal, berpotensi radikal, konservatif, hingga moderat. Saya sendiri adalah salah satu orang yang berpotensi radikal, dulunya. Saya seringkali tak segan bicara soal hukum pancung (qishash), hukum potong tangan, dan hukum-hukum fisik lainnya di depan teman-teman saya yang bahkan masih awam dengan Islam.



Jika ada yang berbeda pandangan dengan saya, saya juga bahkan tak ragu melabeli kata "kafir" atau "munafik" atau "Yahudi" kepada orang tersebut. Dari pengalaman itu, saya belajar. Faktor utama saya teradikalisasi itu bukan karena faktor ekonomi dan sosial, tetapi karena faktor pengajar/pemahaman. Pengajar-pengajar (mentor) saya dulu lebih banyak mengajarkan hal-hal yang berbau hukuman fisik, apa-apa saja yang mengantarkan orang ke neraka, aliran fikih yang cukup keras, dan sistem kasta (kafir, fasik, munafik).

Tak pelak, saya pun merasakan menjadi radikal (walaupun masih dalam tahapan radikal verbal). Orangtua saya sebut kafir, adik saya sebut kafir, saudara saya sebut kafir. Saya "janjikan" mereka neraka, apa-apa yang mereka lakukan ujung2nya saya sebut sebagai cara-cara penghuni neraka, sampai akhirnya saya pun berkelahi dengan anggota keluarga. Semua berawal dari pemahaman "sesat" saya soal Islam.

Beruntung saya segera dikembalikan ke jalan yang benar oleh seorang ustadz jebolan Muhammadiyyah. Andai itu tidak terjadi, teman-teman Anda di BIN mungkin sudah mengincar kepala saya sekarang. Yang baru saja Seno sebutkan di atas, yakni faktor perang, faktor balas dendam, faktor ekonomi, kesemuanya adalah faktor-faktor radikalisasi yang terjadi di Timteng.

Saya rasa di tiap daerah tidak sama tentang cara meradikalisasi seseorang. Saya adalah satu dari sekian banyak orang yang hampir jadi radikal seutuhnya, padahal saya hidup di negara yang damai, ekonomi saya bagus, akademis saya bagus, dan sosial saya pun bagus. Jadi, kalau dikatakan bahwa faktor-faktor radikalisasi itu hanya faktor konflik, saya rasa itu kurang lengkap. Itu hanya salah satu dari sekian banyak faktor, Seno.

Indonesia, sepengalaman saya, punya cara unik untuk meradikalisasi seseorang. Caranya adalah dengan "menjejalkan" pemahaman-pemahaman tingkat lanjut kepada "para pencari Tuhan". Di Indonesia, banyak orang yang ingin menjadi relijius, tetapi tidak tahu harus belajar ke mana. Banyak orang yang ingin bertobat, tapi tak tahu harus menyerahkan diri ke mana. Keputusasaan itu berpotensi mengantarkan mereka ke pihak-pihak yang lebih tertarik untuk mengambil bahasan tingkat lanjut (seperti hudud, negara Islam, qishash, dll), padahal yang mereka butuhkan sebenarnya adalah siraman rohani.

Bahasan tingkat lanjut semestinya hanya bisa didiskusikan oleh orang-orang yang sudah mengaji cukup lama dan memiliki pemahaman dasar Islam yang kuat, tidak boleh dengan serta-merta dijejalkan ke orang-orang yang baru belajar. Saya bisa berbicara seperti ini karena saya menyaksikan sendiri TEMAN DEKAT saya berubah hanya dalam waktu yang sangat singkat, berkat suntikan pemahaman Islam yang keliru, dan berkat keterburu-buruan mereka ingin menjadi sholeh (setelah mungkin lelah dengan kehidupan duniawi). Oh, mereka bahkan tak ragu-ragu menjadi pendukung Santoso (MIT) di depan saya.

Jangan remehkan pula radikal secara verbal. Kebiasaan nyinyir, kebiasaan mengatai orang lain kafir, kebiasaan mengancam orang dengan neraka, kebiasaan-kebiasaan seperti itu apabila dibiarkan lama-kelamaan akan berkembang ke arah yang lebih berbahaya. Ini hanya sedikit tuangan pikiran saya sebagai orang yang dulu hampir jadi radikal. Intinya, jangan anggap remeh segala bentuk radikalisme, baik yang kecil maupun yang besar, baik yang tersirat maupun yang tersurat. Semoga ini bisa melengkapi pernyataan Seno dan teman-teman Blog I-I. 

Islam tidak hanya bicara pada tataran nahi munkar, tapi juga amar ma'ruf, dan dengan cara-cara yang ahsan. Kalau Anda tidak memahami basic-basic ini, Anda tidak akan mendapatkan Islam, tetapi hanya fragmentasi ajaran Islam. Dengan demikian, kita sepatutnya sadar bahwa apa pun bentuk radikalisme (baik verbal maupun fisik) adalah buruk. Kita harus melawan semua itu dengan menggalakkan kembali ajaran-ajaran yang lebih esensial, seperti berbuat baik, beribadah, dan bermuamalah secara adil dengan semua orang.

Mengontrol materi ceramah seperti yang dilakukan Menag itu bagus, karena memang tidak semua wawasan Islam bisa disuntikkan secara serta-merta kepada "newbie". Ada tahapannya. Itu bukan upaya untuk membatasi ruang gerak pendakwah, tetapi untuk membangun jati diri Islam yang lebih sempurna kepada kaum muslimin. Jangan sampai apa yang kita sampaikan malah membentuk pribadi Islam yang prematur. Nabi Muhammad pun memilih-milih bahasan ketika berhadapan dengan sahabat-sahabat tertentu kan? Jangankan terhadap sahabat, terhadap pemimpin seperti Heraklius pun beliau memilih bahasan dan tema yang lebih mudah untuk diterima oleh non-Muslim seperti Heraklius. Bukan membatasi gerak dakwah, sekali lagi, tetapi untuk membentuk pribadi Islam yang lebih paripurna.

Salam. -BunglonHitam

Read More »
07.20 | 0 komentar

Minggu, 04 Juni 2017

I S I S: Sebuah Perspektif Obyektif

Seorang anggota ISIS membawa bendera ISIS (Sumber: Before It's News)

Kita sering mendengar kata ISIS, membaca berita tentang ISIS, menonton berita TV terkait ISIS, namun bagaimana sebenarnya kita memahami ISIS?

Pemahaman yang tepat ISIS bukan saja penting untuk mencegah menguatnya simpatisan ISIS menjadi kekuatan nyata yang besar di Indonesia, melainkan juga untuk menurunkan sikap saling curiga dan ketegangan yang dipicu oleh perpecahan masyarakat dalam pilkada Jakarta serta dinamika konflik berdasarkan agama yang masih akan terasa sampai beberapa tahun ke depan khususnya menjelang memanasnya suhu politik di tahun 2019.

Apakah ISIS?

Jawaban singkat dan sederhana tentang ISIS adalah Islamic State in Iraq and Syria atau dalam singkatan lain disebut dengan Islamic State in Iraq and the Levant (ISIL). Dalam literatur Barat atau berita-berita di Barat kata the Levant lebih sering dipakai dari pada Syria karena fakta wilayah yang dikuasai kelompok ISIS dan cita-cita kelompok ISIS adalah wilayah mencakup Irak dan the Levant yang lebih luas dari Suriah.

The Levant yang merujuk kepada Levantines (Latin Kristen Katolik yang hidup dibawah kekuasaan Khalifah Ustmaniyah) mencakup wilayah yang saat ini kita kenal sebagai Suriah, Lebanon, Israel, Palestina, Yordania, dan Turki. Perhatikan gambar berikut ini:

Peta definisi the Levant (sumber wikipedia)

Keterangan:
  • Warna hijau tua adalah negara dan wilayah di kawasan the Levant (Suriah, Lebanon, Israel, Yordania, Cyrpus, dan propinsi Hatay - Turki)
  • Warna hijau muda adalah negara dan wilayah yang kadang juga dimasukan sebagai the Levant (Irak dan Sinai - Mesir)
  • Warna hijau sangat muda adalah negara dan wilayah juga dimasukkan dalam wilayah the Levant (Yunani, Turki, dan Mesir)
Merujuk kepada sejarah maka wilayah the Levant yang paling luas adalah gabungan seluruh kombinasi warna hijau tersebut, sedangkan merujuk kepada fenomena ISIS saat ini data hingga bulan Mei 2017, maka wilayahnya adalah mencakup sebagian wilayah Irak dan Suriah dengan konsentrasi kekuatan di Raqqa, Deir ez-Zour, Palmyra, Sha'er (Suriah) dan Mosul, Hawija, Qaim (Irak), lihat peta di bawah ini.

Warna hitam adalah wilayah yang dikuasai secara fisik oleh ISIS, sedangkan warna merah adalah wilayah dimana ISIS sering melakukan serangan militer (Sumber: Institute for the Study of War)


Memperhatikan fakta penguasaan wilayah secara fisik oleh ISIS yang tersebar dalam luas wilayah yang terbatas dan tersebar, sesungguhnya dapat diukur bahwa kekuatan nyata dari ISIS lebih tepat digambarkan sebagai gerakan gerilya pemberontak terhadap Pemerintah di Baghdad dan Damaskus. Selain itu, kekuata ISIS terbesar di Raqqa bahkan beberapa kali bergeser ke wilayah Deir ez-Zour, demikian juga wilayah Palmyra dan Mosul dimana antara ISIS dan tentara pemerintah Suriah dan Irak terjadi perebutan wilayah melalui pertempuran.

Bagaimana mungkin sebuah gerakan pemberontak yang masih belum stabil sebagai sebuah negara dengan wilayah yang secara utuh kuat dikuasai dengan nama ISIS atau ISIL memberikan efek yang begitu besar ke seluruh dunia termasuk Indonesia? Hal itu tidak lain tidak karena efek aksi kekerasan yang sangat atraktif dengan pemenggalan kepala atas nama hukum Islam, aksi-aksi teror di berbagai belahan dunia yang dinyatakan berafiliasi kepada ISIS atau terinsipirasi oleh ISIS,  dan jangan lupa efek pemberitaan serta media sosial yang begitu masif tentang ISIS.

ISIS adalah kelompok yang bercita-cita mendirikan negara Islam dengan sistem Khilafah di wilayah Irak dan Suriah. Cikal bakal kelompok ISIS tersebut adalah Jemaah al-Tauhid wal-Jihad yang kemudian berubah nama menjadi Al Qaeda di Irak dan sekarang menjadi ISIS. Apapun namanya ISIS belum dapat dikatakan sebagai negara Islam atau sebuah Khilafah karena persyaratan dasar berupa penguasaan wilayah secara stabil belum terjadi, masih terjadi pertempuran-pertempuran dengan tentara Suriah dan Irak di wilayah-wilayah yang dikuasai ISIS. Benar bahwa ISIS telah secara efektif menguasai sebagian kecil wilayah yang tersebar di Suriah dan Irak, namun hal itu dapat terjadi karena fakta Suriah dan Irak dihantam oleh konflik sektarian bersenjata yang cukup lama dan Pemerintah Irak dan Suriah tidak dapat secara efektif menguasai keadaan dan mengembalikan stabilitas keamanannnya. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa ISIS adalah organisasi yang militeristik sejak lahirnya dan banyak didukung oleh mereka yang memiliki latar belakang militer yakni dari mantan tentara Irak dan tentara Suriah yang membelot atau tersingkirkan.

Sebagai Muslim, sebagai orang Indonesia kita harus lebih cerdas dan teliti dalam melihat fenomena ISIS yang merupakan kelompok kecil pemberontak bersenjata yang menjadi kuat karena faktor geopolitik dan permusuhan sektarianisme yang tajam di Suriah dan Irak. Dengan demikian, ISIS bukan Khilafah sebagaimana diklaim oleh ISIS maupun diberitakan oleh media massa. Menyatakan ISIS sebagai sebagai sebuah Khilafah adalah penghinaan yang sangat besar terhadap umat Islam di seluruh dunia. Karena dalam sejarah Islam sebuah Khilafah hingga era Ustmaniyah di Turki jelas-jelas memiliki kelengkapan identitas sebagai entitas politik yang besar lintas benua dan kuat secara militer, sosial, politik, dan ekonomi. Saya katakan ISIS menjadi kuat karena adanya faktor geopolitik dan sektarianisme adalah berdasarkan realita perebutan kekuasaan antara kelompok Sunni dan Syiah yang diperparah oleh kepentingan pengaruh Rusia, dan AS secara global dan Arab Saudi dan Iran secara regional.

Apakah ISIL?
Secara hakiki adalah sama dengan ISIS. Namun dalam teknik propaganda, penggunaan istilah ISIL memiliki efek yang lebih besar karena menciptakan ketakutan meluasnya kekuasaan ISIL yang mencakup wilayah the Levant yang merujuk kepada sejarah kelompok Kristen Katholik Latin yang hidup tersebar di wilayah kekuasaan Khalifah Utsmaniyah. Pesan propaganda yang ingin disampaikan dengan penggunaan istilah the Levant dari sisi ISIL adalah cita-cita memulihkan kekuasaan Khilafah Islam dalam bahasa Arab di wilayah Masyriqi, namun dari sisi Barat atau kepentingan kelompok yang anti Islam adalah membesar-besarkan kelompok ISIL tersebut seolah-olah menguasai secara efektif kawasan the Levant yang sangat luas. Padahal ISIL hanya kelompok jihad dengan kekerasan yang tercerai berai berpusat di Irak dan Suriah. Istilah the Levant juga membangkitkan semangat Levantisme melindungi keturunan kaum Levantines Kristen Katholik Latin yang hidup di kawasan dimana ISIL berada.

Geopolitik 
Dalam berbagai analisa dan fakta yang terungkap, ISIS adalah anak haram Amerika Serikat sebagaimana dinyatakan oleh Julian Assange, penelitian Global Research, analisa Seumas Milne, analisa Tom Engelhardt, pernyataan Trump, dan berbagai pemberitaan lainnya dari yang obyektif sampai yang konspiratif. Kepentingan geopolitik global adalah dalam hal pengaruh AS di kawasan Timur Tengah yang berpotensi menurun karena peningkatan pengaruh Iran dan Rusia yang berada di belakang kelompok Syiah, sementara AS mau tidak mau mendukung kelompok Sunni dengan pentolan Arab Saudi. Hal ini tampak dalam kunjungan pertama Presiden Trump ke luar negeri baru-baru ini ke Arab Saudi. Selain itu, AS meskipun tahun ISIS dibiayai oleh Arab Saudi pada era Obama ternyata membiarkan atau bahkan berkonspirasi (baca: Hillary - ISIS). Geopolitik berupa perebutan pengaruh kekuasaan di kawasan, geoekonomi berupa perebutan ladang-ladang minyak adalah faktor yang lebih besar daripada radikalisme dan terorisme yang merupakan efek dari pederitaan dan kebencian yang lahir dari darah dan air mata penduduk di daerah konflik di Irak dan Suriah.

Psikologis
Bila anda adalah penduduk Mosul atau Raqqa, kecil kemungkinan anda tidak merasakan dampak konflik berdarah, di pihak manapun anda berada anda akan merasakan kepahitan dan penderitaan dari perang. Hal ini juga dirasakan oleh para migran yang berhijrah ke Eropa seperti Perancis, Inggris, Swedia, AS, dan lain sebagainya. Ketika mereka mendengar kabar kematian demi kematian dari saudara mereka, menyaksikan hancurnya kota lahir mereka, menyaksikan rusaknya kota asal leluhur mereka, tidaklah mengherankan apabila gejolak hatinya menjerumuskan ke dalam radikalisme dan aksi terorisme. Prosentase keterkaitan antara pelaku teror migran maupun keturunannya dan asal wilayah negara dimana terjadi konflik cukup tinggi. Artinya para teroris lahir dari pahitnya penderitaan konflik karena perang yang berkepanjangan membuat mereka berputus asa dan menempuh jalan singkat berbagi penderitaan dengan masyarakat yang hidup nyaman tentram dengan aksi terornya.

ISIS adalah sebuah entitas kelompok dan bukan cita-cita atau kata sifat
Kita bangsa Indonesia harus semakin cerdas dan tidak mudah dibohongi oleh propaganda-propaganda yang tidak jelas tentang ISIS. Harus kita yakini bersama bahwa ISIS adalah entitas kelompok jihad kekerasan yang terjado di Suriah dan Irak karena persoalan sektarian, perebutan kekuasaan, dan geopolitik yang menyebabkan terjadinya intervensi asing (Rusia, AS, Saudi Arabia, Turki dan Iran). ISIS bukan Khilafah Islam atau bahkan cita-cita mulia mendirikan negara Islam. Tidak tepat dan pantas bagi Muslim Indonesia untuk berbai'at kepada ISIS sebelum mengetahui hakikat keberadaan ISIS dari lahirnya dan karakter pemerintahannya. ISIS adalah fenomena yang tidak terhindarkan di dua negara yakni Irak dan Suriah yang tercabik-cabik akibat hilangnya kontrol kekuatan negara Irak paska hancurnya rezim Saddam Husein dan melemahnya rezim Al-Assad karena kebijakan keamanan yang represif terhadap warga negaranya sendiri.

ISIS juga bukan kata sifat yang menggambarkan gelombang semangat keIslaman dengan cita-cita Khilafahnya. Sehingga bila anda bersimpati kepada ISIS seolah anda semakin Islami, hal itu jelas jauh dari kenyataan.

Namun demikian, kita sebagai bangsa juga harus hati-hati dalam berwacana tentang ISIS. Kita cukup berhenti dalam fakta-fakta dan hentikan opini sesat yang dapat mendorong kita ke dalam jurang konflik sektarian. Beberapa opini sesat terkait ISIS adalah kebiasaan buruk melabelkan kelompok-kelompok Islam di Indonesia dengan ISIS. Benar bahwa terjadi fenomena berbai'at kepada ISIS dari sekelompok kecil Muslim Indonesia, bahkan diantara mereka ada yang ikut berhijrah ke wilayah konflik di Suriah dan Irak dan menjadi bagian dari ISIS. Kelompok ini sangat kecil dan jangan diperbesar dengan melabelkan organisasi-organisasi Islam atau tokoh Islam yang cenderung radikal namun belum menempuh jalan kekerasan dengan ISIS. Bahaya berwacana atas suatu isu yang kita belum paham betul adalah pada mewujudnya wacana itu menjadi kenyataan. Lebih dari itu, wacana-wacana yang keliru adalah bagaikan benih-benih konflik yang akan tumbuh subur bila kita sebarluaskan yang akhirnya menjadi kesalahpahaman yang massal. Disadari atau tidak, kita justru menuju kepada hal-hal yang tidak kehendaki.

Indonesia   
Analisa-analisa atau peringatan bahwa Indonesia berpotensi mengalami situasi konflik seperti Irak dan Suriah jelas sangat kebablasan atau berlebihan. Faktor-faktor utama pembentuk konflik seperti di Irak dan Suriah sama sekali berbeda dengan di Indonesia. Satu-satunya faktor yang sama adalah keberadaan kelompok kecil yang radikal yang menempuh jalan kekerasan dengan aksi-aksi terornya. Sementara faktor geopolitik, faktor kepentingan asing, faktor konflik Sunni-Syiah, faktor perpecahan militer karena pembelotan, geografis komposisi dan konsentrasi penduduk (Sunni-Syiah), serta kerasnya karakter budaya konflik dalam konteks Indonesia dapat dikatakan tidak ada atau sangat lemah. Meskipun hanya faktor keberadaan kelompok kecil radikal, bukan berarti dapat diabaikan karena bila pemerintah salah mengambil kebijakan. Kelompok kecil tersebut dapat menjadi besar karena mereka yang baru radikal dalam wacana ditekan untuk menjadi radikal secara hakikat dan fisik sebagaimana kebijakan yang pernah ditempuh era Orde Baru yang memarjinalkan kelompok-kelompok Islam atas anti-Pancasila dan terkena UU Subversi.

Daripada menakut-nakuti masyarakat dengan potensi perang seperti di Suriah dan Irak, apakah tidak lebih baik apabila kita yakin percaya diri dengan karakter bangsa kita luhur bahwa situasi dan kondisi di Irak dan Suriah dapat kita cegah dengan mudah. Mengapa kita menjadi sedemikian lebay dan lemah seolah ISIS ada dimana-mana menjadi ancaman serius? Mengapa kita tidak secara masif menyadarkan masyarakat bahwa klaim ISIS sebagai Khilafah adalah penghinaan yang nyata terhadap umat Islam di seluruh dunia? ISIS tidak pantas menjadi inspirasi dalam perjuangan umat Islam, namun demikian ISIS merupakan fenomena wajar untuk survive dari kaum Sunni di Irak dan Suriah yang mengalami represi kekerasan dari pemerintah Suriah dan Irak yang dikuasai oleh kaum Syiah. Konflik di kedua negara tersebut adalah khas berdasarkan pada kondisi obyektif pendorong konflik di sana. Sehingga seharusnya bila anda seorang Muslim yang peduli, maka jalan keluar dari isu konflik berdarah di Suriah dan Irak adalah mengupayakan perdamaian, bukan menambah masalah dengan ikut berperang atau bahkan mengatasnamakan Islam menciptakan teror di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang tidak tahu menahu situasi di Irak dan Suriah.

Bila anda mengaku sebagai pejuang syariah Islam dan ingin mendirikan negara Islam di Indonesia, maka lihatlah dengan mata dan hati anda bagaimana situasi dan kondisi Indonesia saat ini? Apakah anda tidak dapat menjalankan ibadah secara aman? Apakah anda dimusuhi oleh negara atau non-Muslim sehingga hidup anda terancam? Apakah anda tidak dapat berdakwah dan mengembangkan ajaran Islam secara damai? Serta bagaimana sebenarnya keinginan mayoritas umat Islam Indonesia menjalani kehidupannya? Apakah anda ingin memaksakan idealisme Khilafah kepada seluruh masyarakat Indonesia? Bagaimana anda mengukur diri anda sendiri dan kekuatan kelompok anda menghadapi realita sistem politik, sosial, ekonomi yang telah tertata baik dan damai di Indonesia? Blog I-I tidak anti Islam, bahkan bila dibaca secara hati-hati Blog I-I sering memberikan analisa-analisa yang obyektif tentang bagaimana kondisi yang dihadapi umat Islam Indonesia.

Harus pula diwaspadai bahwa di Indonesia juga terdapat kelompok kecil radikal yang memusuhi Islam dan secara sistematis berusaha menguasai berbagai peri kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah kendali mereka. Identifikasi menguatnya faham komunisme serta masifnya propaganda kelompok Kristen radikal juga patut diwaspadai. Hal ini bukan untuk memecah belah bangsa, melainkan memberikan kesadaran kepada kita semua untuk berhati-hati dalam memperjuangkan kepentingan masing-masing dalam koridor demokrasi. Ciri-ciri propaganda Kristen radikal Indonesia adalah dengan menyebarluaskan ketakutan-ketakutan ancaman dari ormas Islam yang kemudian dilabelkan dengan anti-Pancasila dan juga pro-ISIS yang seringkali ditambahi bumbu mengkaitkannya dengan tokoh Islam seperti Wapres JK, Pimpinan PKS, Tokoh Muhammadiyah, dll dengan sikap merendahkan. Sebaliknya propaganda-propaganda kelompok radikal Islam Indonesia adalah secara tegas menyoroti penguasaan sektor-sektor ekonomi oleh kaum Nasrani. Kelompok-kelompok radikal tersebut baik Islam maupun Kristen sesungguhnya masih berada pada wilayah wacana, propaganda, dan seruan atau hasutan-hasutan yang diwarnai argumentasi yang sepihak dan kadang disisipi berita bohong (hoax). Blog I-I terang-terangan mengungkap ini untuk menyadarkan semua pihak untuk menghentikan wacana-wacana sesat pembentukan opini yang dapat mendorong kita ke dalam jurang konflik berdarah. Masih belum terlambat bagi anda semua yang gemar menyebarluaskan tulisan melalui media sosial twitter, facebook atau grup-grup WA untuk menghentikan wacana-wacana yang bernuansa permusuhan atau labelling yang bertujuan mendiskreditkan kelompok tertentu.

Apakah Blog I-I tidak ikut-ikutan menjerumuskan dengan artikel ini? Silahkan dibaca dari atas hingga selesai secara hati-hati. Blog I-I hanya mengungkapkan fakta adanya perspektif yang macam-macam tentang ISIS yang ditarik ke dalam situasi dan kondisi nasional Indonesia. Bahwa ada perbedaan kepentingan di dalam negeri Indonesia adalah hal yang wajar, kita punya aturan sistem politik demokrasi dan kita punya hukum positif. Sepanjang pemerintah adil maka akan tercipta kepercayaan yang tinggi dan stabilitas dapat terjaga. Sepanjang TNI, Polri dan BIN tidak terpecah belah, maka kerusuhan sosial politik sebesar apapun akan dapat dikembalikan kepada kedamaian.  Kita tentunya tidak menghendaki terulangnya kerusuhan-kerusuhan apalagi yang bernuansa sektarian, maka hentikanlah wacana-wacana yang mengundang konflik dan ini berlaku untuk semua pihak.

Contoh konflik berdarah yang tercipta dari wacana atau isu dan gosip terkait agama Islam-Kristen adalah kerusuhan Ambon dan Poso, sedangkan yang berlatarbelakang etnis adalah peristiwa Sampit (Dayak-Madura). Dalam peristiwa Ambon dan Poso sebelum pecahnya serangan-serangan terbuka dalam waktu yang relatif singkat tersebar provokasi-provokasi sebagaimana saya sampaikan diatas digerakkan oleh kelompok Islam radikal dan Kristen radikal. Sementara dalam peristiwa Sampit, provokasi berdasarkan suku juga menjadi faktor pendorong pecahnya konflik terbuka. Artinya kecurigaan, prasangka, bercampur dengan kepentingan-kepentingan tertentu mampu menciptakan terjadinya konflik berdarah. Apabila telah terlanjur terjadi, maka hal itu cenderung menjadi lingkaran aksi kekerasan saling membalas karena dendam telah merasuk ke dalam hati manusia yang berkonflik. Seluruh konflik-konflik tersebut dapat diredakan karena masih kuatnya NKRI dan solidnya TNI, Polri, dan BIN. Walaupun dalam kasus Ambon dan Poso terjadi sedikit perpecahan dalam tubuh aparat keamanan lokal yang bersimpati berdasarkan agama, namun hal itu dapat segera diatasi berkat intervensi dari pusat yang mendorong perdamaian.

Penutup
ISIS adalah fenomena gerakan radikal kekerasan karena situasi obyektif di Suriah dan Irak yang terkait erat dengan survival dari kelompok-kelompok yang bertikai di kedua negara tersebut. Merupakan fenomena biasa di wilayah konflik, hanya saja kebetulan mengatasnamakan Islam dan mengklaim sebagai Khilafah. Kelompok ISIS tidak ada bedanya dengan kelompok-kelompok yang bertikai berperang di wilayah konflik lain seperti di Ukrania antara yang pro Rusia dan pro-Barat. Namun bedanya ISIS mengembangkan daya tarik internasional dengan solidaritas Khilafah Islam karena kebutuhan dukungan meniru model Al Qaeda dengan cabang-cabangnya di berbagai negara. Bila anda bersimpati kepada ISIS, maka anda telah tertipu dan masuk ke dalam konflik lokal Suriah dan Irak. Bila anda merasa telah membantu ISIS dengan melakukan aksi teror di Indonesia, maka hal ini dua kali tertipu karena anda bukan saja tidak paham konteks keberadaan ISIS, melainkan mengalami ilusi seolah Indonesia berada dalam kondisi gawat karena represi terhadap kelompok Sunni. Kelompok di Indonesia yang simpati atau bahkan berafiliasi kepada ISIS adalah minoritas yang diperkirakan tidak lebih dari 3% dari jumlah penduduk Indonesia, sementara mayoritas orang Indonesia merasa nyaman dengan Republik Indonesia dan sistem politik demokrasi. Mayoritas umat Islam Indonesia juga lebih nyaman dengan Republik Indonesia daripada model pemerintahan yang lain. Meskipun isu agama tetap penting dalam perpolitikan Indonesia, hal itu tidak mencerminkan adanya dukungan kepada model negara Islam atau Khilafah (silahkan baca: Mayoritas WNI Tolak ISIS dan ISIS Ancaman NKRI). Dengan demikian, membesar-besarkan isu ISIS justru akan memberikan semangat kepada minoritas pendukung ISIS yang hidup dalam ilusi. Seharusnya yang kita kampanyekan bukan "awas bahaya ISIS", melainkan sikap tegas bangsa Indonesia yang menolak ISIS serta keyakinan diri kita semua bahwa gerakan model ISIS tidak dapat hidup di Indonesia. Tentunya kewaspadaan masyarakat Indonesia secara kongkrit adalah dengan senantiasa memperhatikan lingkungan terdekat dan segera melaporkan kepada aparat keamanan sekiranya terdeteksi adalah gerakan-gerakan yang bersimpati kepada ISIS.

Bagi anda yang benci Islam, jangan mewacanakan ISIS berdasarkan opini pribadi dan melabelkan ormas dan tokoh Islam dengan ISIS. Kaum Muslimin Indonesia yang mencita-citakan negara Islam belum tentu setuju dengan aksi teror dan kekerasan, namun bila dipojokkan terus-menerus maka mereka justru akan mengalami radikalisasi yang lebih cepat dan boleh jadi akan menempuh jalan kekerasan. Garis pemisah yang tegas dalam menilai sebuah radikalisme menjadi aksi kekerasan (teror) adalah ketika telah sungguh-sungguh menjadi gerakan baik dengan niat maupun aksi melakukan kegiatan teror. Sementara itu, bila masih berada dalam bentuk aksi-aksi protes dan pernyataan sikap, hal itu belum tepat untuk dikategorikan sebagai radikalisme kekerasan.

Kumpulan konflik-konflik kecil pada gilirannya akan menjadi besar bila tidak ada upaya meredakannya. Sebagai contoh sederhana, perlakuan kurang adil terhadap Habieb Rizieq dengan operasi intelijen (baca: Habieb Rizieq dan Old Town Operation) terletak pada proses hukum yang lebih fokus pada pihak yang terungkap dalam pembicaraan "porno" daripada pengungkapan penyebarluasan pornografi melalui situs baladacintarizieq, bahkan polisi membandingkan kasus tersebut dengan kasus Ariel-Luna, sebuah perbandingan yang tendesius menghakimi. Dalam hukum Islam sekalipun fakta-fakta kasus pornografi yang menimpa Habieb Rizieq belum dapat dikategorikan sebagai Zina Hakiki bila dibandingkan dengan kasus Ariel-Luna. Dari dinamika kasus tersebut, kemudian berkembang meme-meme penghinaan dan perendahan derajat yang cukup masif dari yang tidak terdeteksi siapa pembuatnya sampai pada komentar-komentar yang dapat ditelusuri di media sosial yang kemudian direspon dengan aksi persekusi oleh anggota FPI. Artinya konflik-konflik kecil seperti terpelihara entah sengaja atau tidak.

Apakah pemerintah sedang mengkondisikan pembubaran FPI secara tuntas dengan memenjarakan Habieb Rizieq dan membubarkan FPI dilabel intoleran anti Pancasila serta terbukti melakukan sejumlah aksi persekusi melawan hukum? Apakah hal itu akan menghilangkan masalah radikalisme tanpa pembunuhan yang sering dilakukan FPI? Ataukah sedang ada upaya mendorong radikalisme FPI menjadi organisasi teroris yang masuk ke bawah tanah? Sekali lagi konflik-konflik kecil dipermukaan kehidupan sosial yang lahir dari organisasi FPI jauh lebih mudah dikendalikan daripada organisasi teroris. FPI mungkin telah berdiri di tepi radikalisme kekerasan menuju aksi yang lebih keras dan emosional, namun FPI belum terjerumus ke dalam aksi terorisme bom bunuh diri. Belakangan ini begitu masif keinginan dari sebagian masyarakat yang anti FPI untuk melenyapkan FPI, namun mencermati dinamika menuju kepada pembubaran atau penghancuran FPI secara tidak adil secara hukum dapat dipastikan akan kontra produktif dan menyebabkan potensi berkembangnya kelompok teroris yang merekrut mantan-mantan anggota FPI yang akan kehilangan Habieb Rizieq dan kehilangan tempat bernaung organisasi FPI.

FPI lahir paska runtuhnya rezim Orde Baru bersama-sama sejumlah ormas dan LSM yang tumbuh berkembang di era reformasi sejak tahun 1998. Mengapa pada era Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, kelompok FPI dapat dengan bebas bergerak dan bahkan kadang tampak dekat dengan penguasa dan Polisi, sementara sekarang sedang menuju kehancurannya?

Hal itu tidak terlepas dari politik kekuasaan dan pertarungan menuju pilpres 2019 (dimana Eyang Senopati Wirang meramalkan kekalahan Jokowi). Ketakutan terbesar dari Presiden Jokowi dan PDI-P adalah pada bersatunya kekuatan politik Islam mendukung lawan politik Jokowi siapapun orangnya. Sehingga diperlukan langkah-langkah sistematis memangkas seluruh kekuatan Islam yang dianggap oposisi terhadap Presiden Jokowi sedini mungkin. Strategi yang digunakan jelas menggunakan ideologi negara Pancasila dan labelling anti-Pancasila kepada kelompok-kelompok yang kemarin bersatu mengalahkan paslon gubernur penista agama Ahok dan wakilnya Djarot. Itulah sebabnya Blog I-I sangat kritis dengan langkah-langkah yang ditempuh Jokowi. Kekhawatira Blog I-I bukan kepada siapa yang akan memenangi pilpres 2019, melainkan kepada proses radikalisasi yang semakin dalam paska gerakan revitalisasi Pancasila ala Jokowi yang membenturkan Pancasila dengan Islam. Blog I-I juga telah berusaha memberikan masukan melalui artikel Saya Indonesia Saya Pancasila yang mendorong pemeritah agar lebih berhati-hati dalam memanfaatkan ideologi negara Pancasila untuk stabilitas dan kekuasaan.

Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Tidak ada kesempurnaan analisa dan kepastian perkiraan masa depan hingga akhirnya terjadi menjadi kenyataaan. Apa-apa yang Blog I-I sampaikan hanyalah sebuah pemikiran dari sudut pandang intelijen yang menjadi ciri khasnya yakni peringatan-peringatan agar kita sebagai bangsa dapat menghindari bencana atau jatuh ke jurang masalah yang besar.  Bacalah analisa Blog I-I secara kritis dan jangan anda terima mentah-mentah, anda boleh setuju juga boleh bertentangan karena kita manusia memiliki berbagai cara pandang sesuai pada latar belakang dan kapasitas kita masing-masing.

Semoga bermanfaat
Salam Intelijen
Dharma Bhakti

Read More »
07.41 | 0 komentar

Kamis, 01 Juni 2017

Belajar Intelijen: Deteksi Aliran Radikal

Sumber gambar : Saudi Gazette

Kita sering mendengar, melihat, dan membaca berita tentang aliran radikal, baik yang berdasarkan agama maupun ideologi tertentu di media massa elektronik dan cetak. Kita juga sering mendengar terjadinya radikalisasi yang kemudian mengarah pada aksi-aksi terorisme. Apapun sebutannya, kelompok radikal, kelompok garis keras, ataupun kelompok teroris, hanya satu kesamaannya yakni pada aspek "pemaksaan kehendak" yang diiringi oleh kekerasan. Meskipun cita-cita kelompok radikal mungkin sesuatu yang ideal berdasarkan keyakinan kelompok tersebut, namun ketika cara mewujudkannya dengan menggunakan pemaksaan dan aksi kekerasan, maka sah dapat dikatakan kelompok tersebut radikal. Lalu bagaimana kita masyarakat biasa dapat mendeteksinya?

Berikut ini beberapa tips sederhana untuk kita pahami dan dapat kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mendeteksi adanya aliran radikal di lingkungan kita masing-masing. Tips deteksi aliran radikal ini berdasarkan kepada pengalaman jaringan Blog I-I yang selama bertahun-tahun hidup bersama berbagai aliran-aliran radikal yang tumbuh subur di Indonesia.


  1. Ciri pertama dari aliran radikal adalah eksklusif dengan keanggotaan kelompok baik yang ditandai dengan adanya sumpah setia (bai'at) kepada pimpinan atau guru. Bai'at tersebut seringkali tidak seperti sumpah setia kepada aliran atau kelompok, melainkan dibungkus dengan kesetiaan kepada Allah dan Rasul SAW dan kemudian diujungnya baru diikat dengan keta'atan kepada pimpinan kelompok. Bagi anda yang lemah dan kurang pengetahuan agama serta lemah secara psikologis (kurang percaya diri) akan mudah diikat oleh model sumpah seperti itu. Meskipun secara prinsip agama tampak tidak menyimpang, namun ada upaya pengendalian pengikut melalui indoktrinasi kepatuhan kepada pimpinan kelompok yang sangat kuat mengikat anda bila terjerumus ke dalam kelompok radikal. Itulah sebabnya aliran radikal cenderung eksklusif tertutup karena bila terbuka tanpa ikatan sumpah setia, proses radikalisasi anggota menjadi sulit. Pada masjid-masjid dan pengajian yang terbuka dapat dihadiri siapa saja, sangat jarang terjadi proses radikalisasi karena pasti diantara jamaah masjid atau pengajian ada yang kritis atau bahkan berilmu agama yang baik, akibatnya ajaran-ajara radikal tidak dapat disampaikan secara terbuka. Apabila di lingkungan anda terdeteksi ada pengajian yang sifatnya tertutup khusus anggota, perlu anda mulai waspada. Karena kemungkinan pengajian tersebut mengajarkan radikalisme atau mungkin juga sekedar penipuan untuk menyerap dana dari masyarakat. Sungguh bahwa ajaran Islam yang lurus tidak perlu disampaikan secara sembunyi-sembunyi, apalagi dengan mengikat sumpah setia dari umat Islam kepada guru atau pimpinan. Model bai'at juga sering kita temui dalam pengajian-pengajian sufi atau kebathinan, namun pengajian sufi ini akan segera terlihat bahwa bai'at yang dilakukan bukan dalam rangka pengendalian anggota melainkan dalam rangka menciptakan pengkhidmatan atau penghormatan murid kepada guru yang menjadi pembimbing spiritualnya. Selain itu, pengajian sufi lebih banyak diisi oleh pengajaran dan kegiatan mengingat Allah SWT dan ibadah (melihat ke dalam dan introspeksi), sedangkan pengajian yang mengajarkan radikalisme akan lebih banyak melihat ke luar (menilai keadaan sosial politik secara kritis) dan berdiskusi bagaimana merubah keadaan sosial politik yang dianggap tidak Islam menjadi Islam.
  2. Ciri kedua adalah pada penanaman simbol-simbol agama yang bertujuan memantapkan sikap keagamaan sebagaimana diajarkan oleh guru atau pimpinan aliran radikal. Hal ini mencakup disiplin dalam berpenampilan, membiasakan menggunakan istilah dari bahasa Arab dalam keseharian, serta sikap yang jelas dalam memandang dunia secara hitam putih antara penyembah thogut dan orang beriman. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ciri kedua ini, karena umumnya umat Islam yang belajar agama dan cukup mengerti ajaran Islam tidak akan menolak pentingnya pemantapan sikap keagamaan. Perbedaan yang mendasar dari aliran radikal adalah manakala sikap keagamaan ini mengeras kepada sikap berlebihan yang memandang diri sendiri paling benar dan yang di luar kelompoknya adalah salah. Sikap merasa paling benar secara berlebihan ini sering tercermin dari mudahnya mengkafirkan orang lain yang tidak sejalan meskipun sama-sama Muslim,  yang mana lebih dikenal dengan istilah takfiri. Dengan sikap keagamaan yang mengerucut kepada konsep kami benar yang lain salah ini, tidak jarang kemudian menjadi dasar cara pandang terhadap dunia yang seolah-olah sudah sedemkian rusaknya dan mereka merasa wajib memperbaikinya dengan cara mereka. Salah satu cara memperbaikinya tersebut lagi-lagi munculah ide pemaksaan dengan kekerasan yang menjadi metode perjuangannya.
  3. Ciri ketiga adalah adanya kepura-puraan dalam bersikap ketika berada di dalam kelompok dan ketika berada di luar kelompok. Maksudnya mereka yang telah masuk dan meyakini ajaran radikal akan tampak memiliki dua kepribadian. Yakni sangat keras dan sangat bersemangat dalam kegiatan-kegiatan tertutup kelompok, namun ketika berada di tengah-tengah masyarakat tampak biasa saja bahkan sering berpura-pura tidak memperlihatkan sikap kerasnya. Hal itu dilakukan dalam rangka mengelabui masyarakat dan aparat keamanan agar kelompok radikal tersebut tidak terdeteksi. Lebih jauh lagi, pengajian-pengajian kelompok radikal tidak selalu membahas masalah-masalah jihad, melainkan juga membahas masalah umum keagamaan yang biasa. Sehingga untuk dapat tahu persis apakah suatu kelompok radikal atau tidak, harus benar-benar menjadi anggota dan rajin mengikuti pengajian-pengajiannya. 
  4. Ciri keempat adanya struktur bertingkat dalam mencapai kedekatan dengan guru atau pimpinan kelompok radikal. Pengikut kelompok radikal yang masih baru tidak akan segera sadar bahwa ada sekat-sekat yang ketat dalam struktur kelompok radikal yang bertujuan menyeleksi siapa-siapa yang dianggap cukup syarat untuk dapat mengikuti pengajaran yang lebih radikal seperti merakit bom, atau menjadi pengantin bom bunuh diri. Dalam setiap kelompok radikal ada pencari-pecari "bakat" yang mengamat-amati peserta pengajian yang dapat diradikalisasi secara cepat untuk mampu melakukan aksi-aksi yang radikal. Hal ini berbeda dengan kelompok-kelompok aksi massa yang secara beramai-ramai melakukan aksi protes dengan kekerasan. Radikalisasi pelaku bom bunuh diri biasanya menimpa mereka yang telah memiliki potensi suicidal kehampaan dalam hidup, perasaan berdosa yang berat dan berlebihan, putus asa, terdoktrin oleh konsep mati syahid yang dipelintir untuk justifikasi aksi bom bunuh diri. 
  5. Ciri kelima, adalah cara pandang khas tentang dunia Islam dan musuh Islam. Dari cara pandang tersebut dikembangkan konsep-konsep Darul Islam, Darussalam, Darul Tauhid sebagai wilayah dimana ajaran Islam dapat dilaksanakan secara utuh. Kemudian pada wilayah lain ada konsep Darul Harb, Darul Kufr, dan Darul Gharb yang mencerminkan dunia yang tidak Islami. Pembagian dunia dalam dua bagian tersebut menyebabkan lahirnya konsep perang meski faktanya tidak sedang berperang. Yakni ketika suatu negara bangsa tidak menerapkan hukum Islam dan bukan negara Islam, maka di negara tersebut umat Islam berada dalam kondisi "perang", artinya boleh melakukan pembunuhan (teror) kepada masyarakat di negara Darul Harb tersebut. 
  6. Ciri terakhir adalah adanya pembinaan fisik berupa latihan fisik seperti militer yang diiringi dengan berbagai kemampuan dasar militer sampai pada kemampuan khusus seperti merakit bom, dll.
Catatan tambahan untuk nomor 5. Terjadi kekeliruan penerapan konsep Darul Harb dalam menilai Indonesia karena apabila konsisten dengan konsep kenegaraan Khulafaur Rasyidin sampai era Utsmaniyah di Turki, maka Indonesia modern paska kemerdekaan 1945 masuk dalam kategori Darul Ahd (wilayah damai) atau Darul Sulh (wilayah konsiliasi) yakni meskipun Indonesia bukan negara Islam, namun umat Islam dapat berkembang melaksanakan ajaran Islam seutuhnya beribadah dengan tenang serta dapat mengembangkan ajaran Islam tanpa adanya ancaman atau pelarangan dakwah. Pandangan sejumlah ulama radikal seperti Aman Abdurrahman dkk yang menilai Indonesia sebagai Darul Harb yang dipimpin oleh para Thogut jelas keliru, karena faktanya Islam tidak mengalami hambatan baik dalam pelaksanaan ajaran maupun pengembangan dakwahnya.  

Semoga bermanfaat,
Salam Intelijen,
Dharma Bhakti


Read More »
17.49 | 0 komentar

BG: Saya Indonesia Saya Pancasila


Kepala BIN Jenderal Pol Budi Gunawan

Sumber: MNOL

Jakarta – Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Pol Budi Gunawan dalam rangka memperingati Hari Pancasila 1 Juni 2017 ini mengutarakan pandangannya tentang urgensi nilai moral Pancasila untuk keselamatan bangsa dan negara Indonesia. “1 Juni adalah Hari Lahir Pancasila yang merupakan tonggak penting perjalanan bangsa dan negara kita dimana seluruh elemen masyarakat secara bersama menyepakati Pancasila sebagai falsafah bangsa dan Dasar Negara,” ujar BG sapaan akrabnya di Jakarta (1/6).


Menurutnya, Dasar Negara Pancasila mengandung makna sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang merupakan Negara kepulauan dari Sabang sampai Merauke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Tidak ada sekat atau dinding pemisah antara bagian barat, tengah dan timur semua menjadi satu dengan satu dasar Pancasila,” tambahnya menegaskan. Pancasila yang dicetuskan oleh para founding fathers dalam sidang BPUPKI dari tanggal 29 Mei- 1 Juni 1945 menjadi Dasar Indonesia Merdeka yang menyatukan seluruh kepulauan di Indonesia. Pancasila pun menjadi pengukuh amanat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Selanjutnya, Pancasila pula melandasi lahirnya Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 sebagai penegasan terhadap negara kepulauan Indonesia. Di mana perjuangan itu pun menembus ranah internasional dalam mendapat pengakuan pada UNCLOS 1982. Masih kata BG, dalam momentum peringatan Hari Lahir Pancasila tahun 2017 kali ini, perlu diwujudkan dengan komitmen bersama untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila melalui penerapan perilaku yang menjunjung tinggi kebersamaan dalam hidup berbangsa dan bernegara. “Musyawarah, persamaan derajat, menghargai adanya perbedaan baik suku, agama, ras dan antar golongan serta mengedepankan semangat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus senantiasa kita junjung tinggi,” bebernya.

Lulusan Akpol tahun 1983 ini mengimbau kepada seluruh elemen bangsa untuk menanamkan sila-sila dalam Pancasila di kehidupannya sehari-hari. “Mari kita tanamkan nilai semangat persatuan dan kesatuan yang diaplikasikan dalam kehidupan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, mewujudkan Kemanusiaan yang adil dan beradab di seluruh sektor kehidupan, mengedepankan musyawarah dan mufakat, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” jelas dia.

Sejalan dengan tagline yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo, bahwa nilai-nilai Pancasila harus terus di-reaktualisasikan dalam kehidupan nyata. BG pun menyatakan bahwa nilai-nilai tersebut harus menjadi way of life-nya bangsa Indonesia. “Kita harus terapkan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi pola hidup atau way of life seluruh insan Indonesia, Saya Indonesia, Saya Pancasila,” pungkasnya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Catatan Blog I-I

Seruan Presiden Joko Widodo tentang reaktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian apa yang diserukan oleh Kepala BIN Budi Gunawan juga sangat penting dan sejalan dengan pemaknaan dasar negara yang menjadi pemersatu bangsa Indonesia.

Tidak ada keraguan atau bantahan terhadap apa-apa yang diserukan oleh Presiden Jokowi dan Budi Gunawan tentang pentingnya Pancasila. Bahkan kampanye Saya Indonesia Saya Pancasila menjadi tema #PekanPancasila dalam rangkaian peringatan Hari Lahir Pancasila yang jatuh pada hari ini tanggal 1 Juni.

Peringatan dan kampanye yang bertujuan mendorong reaktualisasi Pancasila sebagai way of life bangsa Indonesia tidak dapat hanya sekedar peringatan dan kampanye belaka. Reaktualisasi berarti benar-benar dilaksanakan tentunya setelah dipahami sebelumnya. Warisan sejarah kelam Orde Baru yang menafsirkan Pancasila sebagai ideologi negara yang bermanfaat dalam mempertahankan kekuasaan dan "menggebuk" seluruh kelompok oposisi telah membuat Pancasila kehilangan simpati di hati sebagian elemen bangsa. Pancasila oleh Orde Baru diidentikan dengan eksistensi kekuasaan Orde Baru, dimana siapapun yang anti-Pemerintah, kritis terhadap Pemerintah atau bertentangan dengan Pemerintah akan dicap anti-Pancasila dan melakukan subversi terhadap Pemerintahan yang sah. Kekeliruan Orde Baru tersebut merupakan bagian dari strategi Presiden Suharto untuk mempertahankan kekuasaannya selama 32 tahun. Alih-alih pembinaan mental ideologi, penataran P4 digalakkan di berbagai bidang kehidupan masyarakat khususnya di dunia pendidikan sampai pada level Perguruan Tinggi. Apakah semua itu berhasil? Secara formalitas pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), Penataran P4, serta berbagai bentuk indoktrinasi dapat dikatakan berjalan, bahkan sebuah badan yang khusus bernama Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dibentuk khusus untuk melaksanakan pembinaan dan pendidikan P4. Sejak dibentuk dengan Keppres No.10 tahun 1979 hingga dibubarkan pada tahun 1998, BP7 memiliki peranan sentral dalam menyebarluaskan nilai-nilai Pancasila sebagai pembinaan dan pendidikan serta pelaksanaan P4 bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mengapa gerakan reformasi 1997-1998 salah satunya menghasilkan pembubaran BP7 bersama-sama dengan tuntutan yang lainnya?

Sebagaimana dinyatakan oleh Presiden Habibie dalam pidato pertanggungjawabannya pada 14 Oktober 1999:

"Selain itu, Pemerintah juga telah menindaklanjuti TAP MPR No. XVIII/MPR/1998 dengan membubarkan lembaga BP-7 Pusat maupun Daerah. Dengan pembubaran BP-7 tersebut maka interpretasi tunggal tentang Pancasila yang dilaksanakan selama Orde Baru dapat kita akhiri. Di masa depan kita dapat mengembangkan pemahaman terhadap Pancasila sebagai ideologi dasar negara secara lebih terbuka, dinamis, kontekstual dan sejalan dengan proses demokrasi yang berkembang."

Alasan utama pembubaran BP7 adalah pemanfaatan Pancasila melalui interpretasi tunggal Pemerintah Orde Baru yang secara efektif melakukan represi kepada seluruh kelompok oposisi di dalam negeri. Reformasi merupakan gerakan kelompok anti-Orde Baru bersama-sama berbagai elemen masyarakat dengan penggerak terkuat mahasiswa. Semua ketika itu (tahun 1998) setuju dan sepakat untuk mendorong pembubaran BP7.

Pekerjaan Rumah terbesar yang belum dilakukan oleh seluruh Pemerintahan era reformasi adalah mengembangkan pemahaman Pancasila sebagai ideologi dasar negara secara lebih terbuka, dinamis, kontekstual dan sejalan dengan demokrasi. Apakah sekarang Presiden Jokowi akan melakukan itu dengan Unit Kerja Pembinaan Pancasila atau Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila (UKPPIP)? Ataukah Presiden Jokowi akan mengulangi strategi Presiden Suharto dalam mempertahankan kekuasaannya? Kita masih harus menunggu perkembangannya.

Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, ancaman ideologi terbesar terhadap Pancasila hanya ada tiga yakni Komunisme, Liberalisme, dan Islam. Namun Liberalisme mampu untuk lebih fleksibel masuk ke dalam sistem pemerintahan karena kepentingan pembangunan ekonomi dan sistem ekonomi global yang lebih didominasi oleh prinsip-prinsip liberal khususnya mekanisme pasar bebas. Liberalisme dalam konteks sosial dan politik juga relatif lebih mudah merasuk karena kekuatan prinsip universal kebebasan individu serta hak-hak asasi manusia yang kemudian juga menjiwai sistem politik demokrasi yang saat ini kita sepakati bersama. Dengan demikian, ancaman yang tersisa hanya komunisme dan Islam. Komunisme secara ketat adalah mewujudkan cita-cita mendirikan negara yang komunal dimana anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya setara secara ekonomi dan sosial dimana tidak ada kelompok kaya borjuis dan tidak ada proletar miskin, semua sama. Kebanyakan kaum komunis modern hanya mengambil sebagian prinsip dan mengabaikan prinsip yang lain, atau dapat dikatakan telah bergeser ke tengah dengan sosialisme atau sosial demokrat atau sosialisme campuran. Secara formal negara komunis yang masih tersisa di dunia saat ini hanya Republik Rakyat China, Kuba, Laos, Korea Utara, dan Vietnam. Namun hanya Korea Utara dan Kuba yang masih dikatakan ketat dalam penerapan sistem politik dan ekonomi komunis, sedangkan yang lainnya sudah merupaka campuran. Apa yang kita lihat dengan Sosialisme ala China, sosialis republikan Vietnam, sosialis revolusioner Laos telah menerapkan campuran dimana politik tetap dikendalikan oleh partai komunis, namun ekonomi telah terbuka dengan prinsip-prinsip liberalisme.

Sejarah Indonesia telah diwarnai oleh catatan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kemudian membuat PKI dan ideologi komunis menjadi terlarang. Sejarah Indonesia juga telah mencatat pemberontakan DI/TII yang menyebabkan kelompok Darul Islam menjadi organisasi terlarang.

Kita semua dapat melihat sejarah bagaimana dinamika ideologi negara dalam kaitan ini Pancasila dapat berperan sebagai perekat persatuan bangsa. Bukan karena ideologi-ideologi selain Pancasila adalah sangat buruk, melainkan lebih karena Pancasila dibentuk belakangan bukan melalui proses akademis atau wahyu Tuhan, melainkan atas dasar pemikiran para pendiri bangsa Indonesia untuk menyatukan persepsi dan cita-cita bersama dalam ikatan bangsa dan negara Indonesia. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa telah memberikan pondasi yang kuat dalam kehidupan bangsa dan negara yang meyakini bahwa Tuhan itu hanya satu, bukan dua, tiga atau banyak. Artinya seluruh agama yang ada di Indonesia menjiwai Pancasila dan kemudian disepakati bahawa meskipun Indonesia bukan negara agama, namun dijiwai dan sangat menjunjung tinggi moral-moral agama serta bahwa kemerdekaan dan terbentukan negara Republik Indonesia adalah atas berkat rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Kita bangsa yang beragama dan bermoral. Berbeda dengan Komunisme yang berdasarkan kepada Marxisme-Leninisme-Maoisme yang tidak tepat untuk konteks Indonesia.

Apakah berarti bertentangan dengan konsep Islam, negara Islam dan syariah Islam? Pertanyaan ini sangat sulit bila dibahas dari sudut pandang yang berbeda dan hampir dapat dipastikan tidak akan ada titik temunya. Namun bila dilihat dari konteks umat Islam Indonesia, konteks sejarah bangsa Indonesia, serta fakta-fakta tentang siapa bangsa Indonesia itu, maka dapat saya sampaikan Pancasila sebagai ideologi negara tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tidak ada satupun sila dalam Pancasila yang bertentangan dengan ajaran Islam. Lima sila yang sederhana dari Pancasila hanya memberikan rujukan tentang bagaimana bangsa Indonesia menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga tidak mengantikan posisi agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu dari hati pada penganutnya. Akan keliru bila kita pertentangkan karena memang tidak ada pertentangan.

Bahwa masih ada pihak-pihak yang menentang Pancasila hal itu dapat dipastikan karena adanya keinginan untuk berkuasa atau membentuk negara baru, misalnya dengan membentuk Republik Sosialis Indonesia yang berdasarkan kepada Komunisme Marxisme atau dengan membentuk Negara Islam Indonesia. Seberapa besar kelompok tersebut? Dapat dipastikan hanya sedikit karena mayoritas manusia Indonesia tidak menghendaki konflik dan merasa nyaman dengan sistem politik demokrasi saat ini yang berdasarkan kepada Pancasila. Jangan kemudian pancasila dianggap sebagai sebuah kemusyrikan karena tidak boleh kita memperTuhankan pancasila, mensakralkan pancasila, atau mengkultuskan Pancasila sebagai sebuah mantra sakti mandraguna melebihi ajaran agama.

Pancasila dalam interpretasi Blog I-I adalah ideologi kompromi dan kesepakatan yang dapat menghilangkan potensi-potensi konflik karena perbedaan keyakinan, cara pandang, dan kepentingan. Kita memiliki kesepakatan untuk dirujuk agar tidak berkelahi terus-menerus karena perbedaan-perbedaan.

Bagaimana menyukseskan Pancasila sebagai rujukan dalam perkehidupan kita berbangsa dan bernegara? tentu saja peranan pemerintah menjadi sangat penting.

Misalnya sebagai contoh tentang kasus geradak geruduk yang dilakukan pengikut FPI kepada pengguna media sosial yang melakukan penghinaan kepada pimpinan FPI Habieb Rizieq. (Baca: Fiera Lovita, Mario Alfian). Apakah itu semua murni kesalahan pengikut FPI yang brutal? Iya benar FPI salah bila melakukan penghakiman sendiri karena sudah ada aturan hukumnya. Bahkan banyak pihak yang menyatakan negara harus hadir mencegah brutalitas FPI. Apakah sesederhana itu?

Kasus-kasus penghakiman oleh massa bukan khas milik FPI melainkan juga sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia, misalnya ketika menangkap maling, membakar begal motor, memukuli pemerkosa, dan lain sebagainya. Hal itu adalah refleksi masih kurangnya jumlah polisi yang dapat merespon setiap peristiwa kejahatan yang terjadi dari Sabang hingga Merauke. Kurangnya jumlah polisi yang hingga tahun 2017 ini masih dalam rasio 1:750 bukan saja menyebabkan kelambatan respon melainkan juga ketidakmampuan memenuhi harapan masyarakat dalam penegakkan hukum. Idealnya rasio polisi dan masyarakat adalah 1:350 sebagaimana diungkapkan oleh Asisten Kapolri bidang SDM Irjen Arief Sulistyanto (baca: jumlah personel polisi belum ideal). Akibat nyata yang sering kita saksikan adalah massa tidak tahan sehingga mengambil keputusan untuk menghakimi sendiri. Persoalan jumlah personel polisi tersebut diperparah dengan penyebaran yang belum merata serta masih adanya masalah dengan profesionalisme dan dukungan anggaran serta peralatan yang kurang memadai. 

Jangankan mengurusi masalah yang muncul dari medsos dan perilaku masyarakat yang menyebabkan terjadinya konflik. Dalam menekan angka kriminal saja Polisi sudah sangat kewalahan belum lagi ditambah dengan kejahatan luar biasa seperti terorisme. Oleh karena itu, dperlukan kewaspadaan kita semua untuk dapat menahan diri mengurangi potensi-potensi konflik horisontal yang disebabkan oleh luapan emosi kita melalui media sosial.

Kasus penghinaan terhadap Habieb Rizieq tidak terlepas dari emosi-emosi negatif tersebut. Di satu sisi, Habieb Rizieq juga sering melakukan hal-hal yang kontroversial dan mengundang emosi sehingga tentunya wajar bila ada yang tidak suka atau bahkan benci. Namun di sisi lain, ungkapan-ungkapan kebencian atau penghinaan kepada Habieb Rizieq juga sangat masif beredar di berbagai media sosial yang tentunya juga mengundang emosi pengikut FPI. Apakah pemerintah dan polisi dapat secara adil dan memberikan keadilan kepada semua pihak agar dapat tentram kembali tanpa konflik. Luka yang dihasilkan oleh perilaku Ahok yang menghina menista Al Quran sudah sangat dalam di dalam hati umat Islam, namun luka yang dhasilkan oleh gerakan FPI dkk terhadap kehidupan kerukunan beragama juga tidak kalah dalamnya. Hal itu kemudian diperparah oleh operasi-operasi intelijen yang menjatuhkan kredibilitas sejumlah tokoh nasional seperti Presiden ke-6 SBY, Ketua MUI, Habieb Rizieq, dan berbagai tokoh yang terlibat dalam berbagai aksi selama pilkada Jakarta termasuk dengan tuduhan makar yang direkayasa.

Membeberkan seluruh fakta-fakta tidak akan pernah enak, bagaikan memakan makanan yang bercampur dengan kotoran, anda akan muak dan ingin muntah dengan semua kepalsuan-kepalsuan dan kepentingan-kepentingan politik yang bersembunyi dibalik fakta-fakta tersebut.

Blog I-I adalah Indonesia dan Blog I-I juga pendukung Pancasila. Namun hal itu tidak berarti menutup mata dari fakta-fakta sepak terjang pemerintah yang semakin kurang adil dalam menyelesaiakna berbagai konflik karena perbedaan kepentingan antar anggota masyarakat. Apakah Pancasila akan kembali menjadi alat gebuk sebagaimana telah menimpa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan tuduhan anti Pancasila? Akankah menyusul pembubaran dan pelarangan ormas lainnya dengan tuduhan anti-Pancasila? Tidak adakah jalan yang lebih pancasilais dengan musyawarah dan ajakan untuk memahami Pancasila sebagai kesepakatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Sudahkan Pemerintah dan aparat keamanan hadir secara adil di saat rakyat memerlukan penyelesaian dari perbedaan dan konflik?

Berbagai pertanyaan tersebut masih dapat disusul oleh berbagai pertanyaan lainnya yang mana apabila tidak mampu dijawab, maka Indonesia akan menuju kepada kemunduran-kemunduran secara mental dan karakter walaupun tampak maju dalam pembangunan fisiknya.

Semoga bermanfaat,
Salam intelijen
Dharma Bhakti

Read More »
12.25 | 0 komentar