Kamis, 16 Februari 2017

Kisah Pembunuhan Kim Jong-nam: Operasi Intelijen Korut?

Disclaimer: All photos in this Blog is taken from the internet from many different sources and the copyright belongs to the photographers, news agencies, and authorities of Kuala Luampur International Airport for the CCTV captions.

Hasil penyelidikan sementara Kepolisian Malaysia menyimpulkan ada 6 orang yang terlibat melakukan pembunuhan "bermotif politik" terhadap Kim Jong-nam yang juga kakak tiri dari pemimpin Korea Utara saat ini Kim Jong-un.

Kim Jong-nam adalah anak tertua dari Kim Jong-il dari wanita bernama Song Hye-rim lahir pada tahun 1971sedangkan Kim Jong-un lahir pada tahun 1984 dari wanita bernama Ko Yong-hui.

Kim Jong-nam (kiri) dan Kim Jong-un (kanan berjas)

Read More »
21.19 | 0 komentar

Tentang Hacking KPU Jakarta : Penting dibaca dan dipahami !

Puluhan email dan pesan singkat masuk ke jaringan Blog I-I menanyakan tentang terjadinya hacking terhadap jaringan sistem informasi KPU. Terutama hal itu dikaitkan dengan peristiwa down yang selama beberapa saat meninggalkan pesan seperti berikut ini:

https://pilkada2017.kpu.go.id/hasil/t1/dki_jakarta

Pesan Internal Error 500 tersebut sebenarnya bukan hanya menimpa pada bagian hasil pemilu DKI Jakarta pada website https://pilkada2017.kpu.go.id/hasil namun juga menimpa bagian hasil pilkada propinsi, kota, dan kabupaten lain di Indonesia. 


Artinya penyebarluasan pesan berantai melalui media sosial twitter, facebook maupun WAG dan bahkan beberapa berita online mengandung isi propaganda hitam, seolah terjadi hacking dari luar negeri khususnya dari dalam negeri sendiri, China dan Singapura, serta kemudian juga beberapa negara lain seperti Vietnam, Australia dst bahkan dinyatakan bahwa hacking dilakukan dengan proxy berlapis-lapis sampai enam proxy lebih. Hal itu jelas mencerminkan penyebar berita tidak mengerti teknis hacking dan makna proxy dalam operasi hacking. Hal ini terkait dengan kenyataan teknis perlunya forensik IT untuk menentukan berapa lapis proxy yang digunakan, apabila ada yang menyebarkan bahwa serangan hacking dilakukan dengan 6 lapis proxy, maka yang menyebarkan kira-kira sudah mengetahui atau bahkan merupakan pelakunya. Kelemahan sistem proxy berlapis adalah pada kelambatan proses serangan. Tim IT Blog I-I telah menguji salah satu metode hacking secara mobile dengan proxy berlapis maksimal 3 s/d 4 dan berganti lokasi fisik dan IP secara dinamis, dapat dipastikan cara tersebut tidak terdeteksi. Apalagi ada pihak yang mengklaim atau menyebarkan isu hacking dengan 6 lapis proxy, maka informasi tersebut perlu mendapatkan perhatian serius. Serangan pengujian sistem keamanan suatu website atau server adalah hal yang lumrah, dan seharusnya informasi penjelasan kepada publik ketika terjadi serangan juga telah ada protokolnya. Semoga KPU memperhatikan hal tersebut.

Analisa singkat yang dapat disampaikan Blog I-I berdasarkan informasi jaring Blog I-I di KPU adalah bahwa benar server KPU mengalami down karena masalah teknis yang bisa terkait atau tidak terkait dengan praktek hacking, namun yang dapat dipastikan adalah sulit untuk merubah atau mempengaruhi hasil akhir pemilu karena masih ada data manual rekapitulasi yang dapat menjadi rujukan. Data yang ditampilkan oleh website KPU adalah bentuk pelayanan publik untuk dapat menyajikan kepada publik hasil pemilu berdasarkan rekapitulasi suara yang masuk dari seluruh wilayah Indonesia yang menyelenggarakan pilkada. Prosesnya adalah setelah perhitungan manual masuk kemudian ditampilkan/diupload ke website KPU. Idealnya memang realtime dan langsung dapat diikuti oleh masyarakat melalui website, namun kecepatan penampilan data oleh media dengan berdasarkan kepada quick count menyebabkan ekspektasi masyarakat yang sangat tinggi agar KPU juga mampu menampilkan hasil pilkada secara real time yang mana tidak mungkin dilakukan karena tetap berdasarkan penghitungan manual dari TPS-TPS dan juga proses pengesahan dengan saksi-saksi dan rekapitulasi.

Internal Error 500 adalah status umum kode HTTP sebuah website yang berarti tidak ada yang rusak dari server website, namun memberitahukan bahwa ada hal yang salah terkait dengan sistem programing website KPU. Hal ini sangat sering terjadi terhadap server yang menggunakan software Microsoft IIS dan apa yang harus dilakukan oleh IT KPU adalah mencari masalahnya dan memperbaikinya dan seharusnya segera ditampilkan pengumuman maintenance atau pengumuman yang lebih menenangkan publik bahwa website dalam pemeliharaan singkat dan dapat diakses kembali segera (ditentukan jangka waktunya misalnya besok atau tanggal berapa jam berapa). Pemulihan dari masalah teknis Internal Error 500 biasanya memerlukan waktu beberapa jam sampai seharian penuh untuk menormalkan website. Andaipun terjadi upaya serangan, maka hal itu lebih kepada membuat sistem server down karena traffic misalnya dengan DDOS. Pemulihan website dari serangan DDOS memerlukan waktu yang cukup lumayan tergantung sebesar apa serangan tersebut. Untuk lebih jelasnya KPU sudah mengumumkan secara resmi serangan yang dialami website KPU dilakukan dengan DOS dan sekarang sudah normal kembali. Adapun tentang jenis serangan yang sesungguhnya terhadap website KPU, Blog I-I tidak memiliki otoritas untuk menjelaskannya kepada publik.

Serangan terhadap website KPU seharusnya sudah diantisipasi dan bagusnya dapat segera pulih dan dapat dibaca kembali oleh masyarakat, sehingga berita hoax tentang hacking mengubah hasil pemilu untuk memenangkan salah satu paslon tidak dapat mempengaruhi masyarakat Indonesia yang semakin melek teknologi.

Catatan tambahan: 
Dalam dunia cyber, masih ada perdebatan apakah DDOS termasuk hacking atau bukan. Hacker serius yang tergabung dalam jaringan Blog I-I lebih menilai DDOS sebagai cara memblok akses publik kepada sebuah website sedangkan hacking adalah membongkar akses sever suatu website baik dengan mencari hole front door - back door - side door untuk diterobos dan masuk ke dalam sistem baik untuk mencuri, merubah data, maupun merusaknya. Hal inilah yang harus diwaspadai bukan hanya oleh pihak KPU melainkan juga oleh seluruh aparat keamanan dalam rangka antisipasi pemanfaatan isu kecurangan atau hacking KPU untuk merusak pilkada dan menciptakan kekacauan. Pihak-pihak yang berani mengungkapkan atau menyebarluaskan beberapa istilah teknis yang dicampur adukan dengan tuduhan kecurangan untuk menguntungkan salah satu paslon jelas niatnya menciptakan kecurigaan-kecurigaan yang dapat didorong menjadi konflik menambah situasi tegang dan panas dari pelaksanaan pilkada. Boleh jadi mereka yang menyebarluaskan info hacking melalui media sosial dan WAG tersebut juga pelaku serangan terhadap website KPU, karena sequential waktunya yang sangat berdekatan dan terkoordinasi dalam cipta kondisi dan cipta opini yang menyesatkan dengan didukung bukti terjadinya serangan kecil-kecilan yang membuat website KPU down beberapa saat.

Apabila Tim hacker Blog I-I mau, website KPU masih mudah ditembus, hal telah diujicobakan sebanyak beberapa kali dan berhasil. Namun pastinya Tim hacker Blog I-I tidak melakukan apa-apa, hanya mengintip saja. Alangkah baiknya apabila Tim IT KPU melakukan blokir akses dari gateways yang terenkripsi yang kemudian dideksripsi (exit-node) sebelum bergabung kembali dengan jalur/akses internet normal dan tiba menghampiri website KPU. Atau apabila KPU cerdik dan bekerjasama dengan Tim IT BIN atau Lemsaneg, dapat melakukan deteksi kepada pihak-pihak yang mencoba menciptakan kekacuan dengan menyerang website KPU. Eksploitasi pihak-pihak yang menyerang website KPU mungkin untuk dilakukan dan hal ini bukan pekerjaan sederhana. Namun karena banyak hacker pemula atau hacker bayaran yang kurang profesional terlalu meyakini bahwa dengan menggunakan proxy anonym semacam TOR mereka telah terlindungi, padahal tidak sepenuhnya 100% terlindungi dan masih dapat dibongkar. Walaupun tidak mudah karena dengan menjalankan exit-node asal penyerang tersembunyi, namun tetap ada data yang tidak tersembunyi. Minimal misalnya Tim IT KPU bersama BIN dan Lemsaneg dapat memastikan secara teknis jenis serangan-serangan dan kemungkinan sumber serangan. Langkah termudah tentunya menutup semua askses mencurigakan yang dapat terdeteksi di provider internet yang secara legal dapat memberikan bantuan kepada lembaga-lembaga strategis pemerintah dalam rangka perlindungan sistem IT pemerintah. Pentingnya semua itu bukan hanya soal perlindungan informasi, namun juga penjelasan kepada publik tentang apa yang terjadi, sehingga penggunaan uang pajak rakyat untuk tulang punggung demokrasi prosedural dalam tubuh KPU menjadi transparan dan meyakinkan.   

Akhir kata, mohon kepada seluruh jaring Blog I-I dapat meluruskan masalah teknis ini dan ikut menyebarkan informasi yang benar serta menghentikan upaya pihak-pihak yang menyebarkan hoax untuk merusak pesta demokrasi Pilkada serentak 2017. Hoax yang menggunakan istilah-istilah teknis dunia cyber seperti IP address asal negara, proxy, TOR, proxy berlapis, exit-node, hacking, hacker, peretasan, kode-kode transfer protocol dan lain sebagainya sepintas tampak meyakinkan. Kemudian fakta terjadi serangan terhadap website KPU sebagaimana telah terjadi selama beberapa saat dapat meningkatkan keyakinan terhadap hoax yang disebarkan. Selanjutnya adalah intisari atau isi hoax yang sesungguhnya yakni terjadinya perubahan data KPU dan seruan untuk mendesak KPU mengungkapkan kepada publik apa yang terjadi, tujuannya menciptakan kebingungan dan kecurigaan terjadinya kecurangan yang tidak diantisipasi oleh KPU.

Logika  propaganda hoax yang dilakukan pihak yang tidak bertanggungjawab mengikuti urutan langkah-langkah sbb:
  1. Pertama terjadi serangan DDOS yang membuat website KPU down. Hal ini adalah fakta, boleh dijadi dilakukan oleh kelompok yang telah merencanakan dan menyebarkan hoax.
  2. Saat periode down sebagaimana tampilan website KPU yang tidak dapat diakses, disebarkan berita terjadinya hacking terhadap website KPU. Hal ini masih fakta.
  3. Penyebaran berita tentang website KPU yang down secara faktual dapat dicek langsung ke website KPU. Hal ini tidak segera direspon oleh petinggi KPU karena awalnya masih dijelaskan sebagai gangguan teknis, dan belakangan baru diakui terjadi serangan hacking.
  4. Pada periode poin 1 dan 2 dimana masih tercipta kebingungan di masyarakat, tersebar melalui media sosial dan aplikasi whatsapp dll tentang kecurangan-kecurangan yang dilakukan hacker dengan melakukan hacking dengan mengubah data KPU. Berita pengubahan data KPU itulah yang hoax didukung oleh fakta website KPU yang down. Selanjutnya bahkan telah berkembang seruan-seruan aksi massa dan peningkatan kewaspadaan terjadinya manipulasi data karena ulah hacker dan seolah KPU tidak berdaya.
  5. Berikutnya terjadi tambahan bumbu-bumbu hoax yang diarahkan kepada salah satu paslon. Hal ini harus hati-hati dalam analisanya, apakah benar ditargetkan kepada salah satu paslon ataukah semata untuk kekacauan karena dampaknya dapat merugikan semua paslon. Misalnya hoax yang mengarahkan terjadinya serangan hacking dari IP address asal China diinterpretasikan sebagai memojokkan Ahok, padahal bisa sebaliknya justru menjadi propaganda yang memojokkan kelompok Islam sebagai pihak yang dituduh menyebarkan hoax. Hal yang sama juga berlaku dalam hoax bahwa suara Ahok/Djarot bertambah banyak setelah website KPU down padahal sebelumnya Anies/Sandi memimpin. Hoax tersebut mungkin secara sederhana diinterpretasikan sebagai upaya pendukung Anies/Sandi menyebarkan kebohongan dan menjatuhkan citra Ahok/Djarot. Padahal hal tersebut juga merugikan citra Anies/Sandi yang dicitrakan didukung oleh kelompok masyarakat pembohong penyebar hoax dengan sentimen agama Islam untuk merusak citra Ahok. 
Tambahan 17 Februari 2017: Analisa yang mirip dengan Tim IT Blog I-I juga diungkapkan oleh pakar keamanan cyber, Pratama Persadha di media massa. Baca : Terkait Peretasan Web KPU, Masyarakat Tak Perlu Khawatir, Analisa Pakar Keamanan Cyber.  

Update 22 Februari 2017: Sampai hari ini belum ada peningkatan security yang berarti dari sistem IT KPU karena dalam uji coba Tim Hacker Blog I-I masih mudah ditembus. Mungkin karena anggapan informasi website KPU hanya bentuk pelayanan informasi kepada publik dan aksi hacking tidak akan mengganggu pesta demokrasi, maka keamanan IT KPU hanya biasa-biasa saja murah meriah. Karena andaipun terjadi hacking yang serius, maka KPU tetap memiliki database off line berdasarkan formulir C1, rekapitulasi dan hasil akhir yang telah disahkan secara manual. Apabila sistem IT KPU rusak sekalipun, pengumuman resmi hasil pemilu dan pilkada tetap dapat berjalan sesuai jadwal. Singkat kata, pengumuman hasil pemungutan suara pemilu dan pilkada di website KPU hanya bentuk digitalisasi yang memudahkan masyarakat luas melihatnya.

Demikian penjelasan singkat Blog I-I
Semoga bermanfaat
Salam Intelijen
Senopati Wirang


Read More »
01.26 | 0 komentar

Rabu, 15 Februari 2017

Ahok/Djarot VS Anies/Sandi

Sebelum memulai artikel ini, izinkan kami seluruh jaringan Blog I-I mengucapkan selamat kepada Tim Operasi Intelijen memenangkan Ahok/Djarot yang telah berhasil memulihkan elektabilitas Ahok/Djarot melalui berbagai operasi yang secara meyakinkan memojokkan seluruh lawan-lawan politik Ahok termasuk lawan-lawan politik Presiden Jokowi. Ingat ! Kami selalu mengawasi !

Sejalan dengan analisa Blog I-I dalam artikel Kode Sandi: Old Town Operation bahwa calon gubernur terdakwa penista agama Islam, Ahok telah mengalami pemulihan elektabilitas berkat operasi intelijen yang massif menyasar kepada lawan-lawan politik Ahok. Tepat sebagaimana digambarkan dalam artikel tersebut peluang Ahok untuk kalah atau menang menjadi 50%, artinya memasuki putaran kedua pilkada DKI persaingan paslon Ahok/Djarot VS Anies/Sandi benar-benar ketat dengan perkiraan awal 50-50. Sebagai mana tercermin dari hasil perhitungan cepat yang akan terkonfirmasi dengan perhitungan KPUD DKI Jakarta secara resmi nanti, tampak bahwa perolehan suara paslon Ahok/Djarot dan Anies Sandi hanya selisih antara 1 s/d 3% sementara paslon Agus/Sylvi tertinggal jauh lebih dari 20%,

Apakah Blog I-I masih meramalkan kekalahan Ahok? jawabnya IYA

Sebagai satu-satunya jaringan intelijen yang lahir dari rakyat dengan sistem jaring tidak saling mengenal terputus satu dengan yang lainnya, Blog I-I yang saat ini masih dimusuhi rezim Jokowi dan diblokir tanpa justifikasi hukum yang jelas merasa berkewajiban untuk menyampaikan informasi-informasi yang akurat untuk kepentingan bangsa dan negara mendorong terciptanya Intelijen Indonesia yang benar-benar profesional dan bersih dari kepentingan politik kekuasaan.

Lalu mengapa Blog I-I masuk ke ranah politik dengan menyampaikan analisa-analisa politik? Hal ini tidak lepas dari monitoring jaring Blog I-I yang menyaksikan bagaimana para intel BIN, BAIS, Polisi berkeliaran dengan penampilan yang sangat kampungan mengawasi para ulama, organisasi Islam, memonitor ceramah-ceramah di masjid dan pengajian yang mana semuanya terekam dengan baik oleh jaringan Blog I-I. Mohon jangan menantang jaringan Blog I-I untuk mempublikasikan wajah-wajah kampungan intel tersebut. Jaringan Blog I-I juga melihat bagaimana intel-intel berkeliaran secara tidak jelas mengawasi kelompok Pro-Ahok. Penampilan para intel yang dibiayai oleh uang pajak rakyat Indonesia tersebut sangat kelihatan mencolok pada aksi-aksi massa baik kelompok Islam maupun pro-Ahok, baik dalam aksi-aksi independen terpisah maupun pada saat pelaksanaan sidang-sidang penistaan agama dengan terdakwa Ahok.

Mungkin tujuannya para intel tersebut untuk menyerap informasi dan mempersiapkan cipta kondisi yang damai mendukung pelaksanaan demokrasi. Dengan prasangka baik, jaringan Blog I-I akan merahasiakan seluruhnya dan meminta dengan serius kepada pimpinan Intelijen Negara untuk mendidik kembali para operator intelijennya agar tidak mudah terdeteksi.

Sesungguhnya tidak etis bagi Blog I-I membahas masalah politik, namun sejak publikasi artikel Politik, Agama dan Intelijen Blog I-I justru dianggap musuh oleh rezim Jokowi, sehingga dapat disimpulkan bahwa Intel dan Politik sulit dipisahkan. Padahal Blog I-I hanya bersikap kritis dalam rangka memberikan pembelajaran kepada publik tentang pentingnya kebenaran, keadilan, dan kedamaian sebagaimana ketika Blog I-I meluruskan fitnah yang ditujukan kepada Jokowi sebagai calon Presiden dalam artikel Stanley Greenberg dan Indonesia sampai-sampai Blog I-I dicurigai sebagai bagian dari tim sukses Jokowi. Padahal tidak, semua itu dilakukan Blog I-I demi masa depan Indonesia yang lebih baik, dimana dalam proses pemilihan pemimpin nasional dan daerah kita semua mengharapkan terpilihnya kader bangsa yang terbaik dan bukan yang lahir dari kebohongan, manipulasi dan operasi-operasi intelijen.

Keputusan Blog I-I untuk menyoroti Pilkada DKI Jakarta tidak terlepas dengan Pilpres 2019 serta upaya memelihara persatuan dan kesatuan dan harmoni hubungan sesama anak bangsa Indonesia. Ancaman terhadap demokrasi yang masih terus berkonsolidasi adalah pada "pemaksaan" kehendak yang dikemas melalui kekuatan-kekuatan kelompok yang didukung oleh uang dan kepentingan. Baik kelompok pendukung terdakwa penista agama, Ahok maupun pendukung Anies memiliki potensi radikal yang cukup besar yang terdeteksi secara jelas dalam dinamika selama 4 bulan terakhir ini. Sikap berlebihan saling menghina yang juga ditunjukkan oleh sebagian pimpinan dan tim buzzer pendukung masing-masing bukan saja dapat menggambarkan polarisasi politik, melainkan juga menggambarkan sikap mental "permusuhan". Hal inilah yang menyebabkan Blog I-I merasa terpanggil untuk memberikan pandangan-pandangan yang dapat dipertimbangkan masyarakat pembaca Blog I-I sebagai alternatif cara pandang.

Benar bahwa hampir tidak ada pemimpin dalam sistem demokrasi yang dicintai 100% warganya, hal itu juga berlaku untuk sistem-sistem politik yang lain. Kesadaran tersebut mendorong setiap pemimpin yang sedang berkompetisi atau yang telah terpilih untuk dapat merangkul seluas-luasnya berbagai kalangan masyarakat termasuk yang tidak memilihnya, dengan kata lain pemimpin yang baik dapat menghilangkan prasangka dalam dirinya dan bersungguh-sungguh mengabdi untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Namun demikian, dalam proses pilkada DKI Jakarta kita telah menyaksikan bagaimana hiruk-pikuk kegaduhan politik banyak dipolitisir sedemikian rupa seolah mengarah kepada konflik atau ditakut-takuti seolah dibayangi ATHG perpecahan bangsa. Bahkan sejumlah pakar memberikan pandangan yang agak mengkhawatirkan misalnya @BurhanMuhtadi yang dikutip @JewelTopsfield dalam artikel Anies Baswedan surging in polls, but some claim there's a cost menyampaikan bahwa Anies telah merusak reputasinya sebagai Muslim moderat. Kemudian @BurhanMuhtadi dikutip oleh Joe Cochrane dalam artikel Election in Indonesia's Capital Could Test Ethnic and Religious Tolerance menyampaikan bahwa suara Islam konservatif jelas bersama Anies, sehingga mereka yang percaya Ahok telah melakukan penistaan agama juga jelas bersama Anies.

Blog I-I menghormati pandangan dan analisa Burhanuddin Muhtadi sebagai pollster yang kredibel dan akademik yang obyektif. Contoh pandangan seperti Burhan tersebut cukup umum tersebar kepada kalangan terdidik Muslim Indonesia yang moderat dan khususnya lagi didikan Barat. Namun opini semacam itu yang dikutip dengan baik oleh Joe Cochrane dan Jewel Topsfield dalam artikelnya dapat mengarah kepada pandangan yang anti-ajaran Islam. Kehati-hatian disini lebih terletak kepada penilaian-penilaian labelling yang dapat menyesatkan masyarakat. Seolah terjadi ikatan-ikatan sebab akibat dari suatu pandangan atau pilihan yang berujung kepada label tertentu.

Beberapa logika yang dibangun dari cara pandang tersebut adalah sbb:

Muslim Moderat  identik dengan sikap toleran dan bersandar kepada prinsip demokrasi yang tidak dipengaruhi sentimen SARA dan rasional 

Muslim konservatif identik dengan tidak toleran dan cenderung berpegang teguh pada prinsip ajaran Islam serta seolah tidak rasional

Pertanyaannya kemudian adakah yang keliru dengan logika tersebut?


Setiap individu memiliki identifikasi diri yang dinamis dan bersifat multi, misalnya saya orang Indonesia, etnis Betawi, Muslim, ekonom, dan dosen. Atau saya orang Indonesia, etnis Tionghoa, Kristen, dokter, dan pegawai negeri. Semua itu melekat dalam identifikasi diri sebagai mana juga juga dijadikan acuan dalam penelitian sosial kuantitatif untuk data responden dan mencari hubungan antar variabel yang menjadi perhatian peneliti.

Persoalan klasik dari akademisi yang terlalu meyakini pendekatan kuantitatif adalah generalisasi dan label-label berdasarkan pada data statistik yang kadangkala belum tentu menggambarkan hakikat dinamika sosial yang sesungguhnya. Misalnya pandangan seluruh Muslim yang percaya Ahok melakukan penistaan agama adalah Muslim konservatif atau pandangan yang memaksakan argumentasi bahwa seorang Muslim moderat akan toleran dan tidak tersinggung dengan ucapan penistaan agama yang didakwakan kepada Ahok. Generalisasi tersebut dapat menghilangkan realitas sosial bahwa konsep moderat dan konservatif yang dilabelkan terhadap umat Islam sangat luas interpretasinya dan boleh jadi memiliki definisi yang berbeda-beda batasannya.

Berteori, melakukan klaim terhadap suatu kebenaran cara pandang, keberanian menilai, dan menyampaikan analisa merupakan pekerjaan akademisi dan pengamat, sehingga sah-sah saja bila sebagai pengamat memberikan pandangan-pandangannya. Demikian juga yang dilakukan oleh jaringan Blog I-I dalam sama-sama membangun suatu konstruksi pemahaman yang lebih baik bersama-sama seluruh sahabat Blog I-I, pembaca setia Blog I-I, dan masyarakat secara umum.

Sekarang mari kita masuk ke dalam analisa Ahok/Djarot VS Anies/Sandi

Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah pada asumsi-asumsi perkiraan massa pendukung utama berdasarkan sentimen agama (dengan pembulatan):

Ahok/Djarot : 15-20% Non-Muslim + 30% Muslim dari pendukung hardcore Partai pengusung
dengan angka menjadi 1421718 (Non-Muslim) + 1.642.084 (Muslim) = 3.063.802 suara

Anies/Sandi : 1-3% Non-Muslim + 60% Muslim masyarakat dan Partai pengusung
dengan angka menjadi 213258 (Non-Muslim) +  3284168 (Muslim) = 3.497.426 suara

Dengan demikian perkiraan prosentase pilkada DKI Jakarta Putaran ke-2 adalah sbb:

Ahok/Djarot = 3.063.802 suara = 43.10%  asumsi partisipasi 77.56% = 2.376.285 suara
Anies/Sandi  = 3.497.426 suara = 49.20%  asumsi partisipasi 77.56% =  2.712.604 suara
Swing voter  =    542.361 suara =   7.70%  asumsi partisipasi 77.56% =     420.655 suara
Total             = 7.108.589 suara = 100%                               Total      =  5.509.544 suara

Total pemilih yang ditampilkan dalam hasil akhir pilkada Jakarta di website KPU adalah sebesar 7.218.279 yang berarti lebih banyak 109.690 suara dibandingkan DPT yang sebesar 7.108.589. Dengan asumsi baik/positif bahwa selisih tersebut berasal dari DPTb (tambahan), DPK, DPKTb maka perkiraan intelijen mengalami selisih yang cukup signifikan dengan faktor suara di luar DPT tersebut. Selain itu sesuai dengan hasil penghitungan akhir pemilu prosentase pemilih yang menggunakan hak pilihnya adalah sebesar 77.1% dan tidak menggunakan hal pilihnya (golput/berhalangan) sebesar 22.9%. Selisih prosentase tersebut tidak jauh masih berada dalam rentang perkiraan Blog I-I, sehingga perkiraan ini masih sejalan dengan fakta yang tampak pada hasil akhir putara pertama pilkada DKI Jakarta.

Update: Angka-angka tersebut hanyalah simulasi dengan asumsi seluruh pemilih dalam DPT 100% menggunakan hak pilihnya, sementara kenyataannya dalam putaran pertama total prosentase pemilih yang menggunakan hak pilihnya (tingkat partisipasi) mencapai  77.56% dari rata-rata 5 wilayah pusat, timur, selatan, barat dan utara ditambah kepulauan seribu. Apabila ingin dibuat simulasi yang mendekati kenyataan dengan menggunakan asumsi tingkat partisipasi yang sama yakni 77.56% maka yang berpengaruh hanya kepada angka nominalnya saja, sedangkan prosentasenya akan tetap. Sementara itu, fakta bahwa masih ada 22.43% pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput) menjadi peluang bagi kedua paslon untuk mendorong peningkatan partisipasi dukungan suara. Selain itu, suara tidak sah yang mencapai lebih dari 65 ribuan suara juga menjadi tugas penyelenggara pemilu untuk kembali mensosialisasikan peraturan tentang suara sah kepada masyarakat, karena sangat disayangkan suara sebanyak itu mungkin akan menjadi penentu pemenang.

Faktor massa mengambang kembali akan menentukan hasil pilkada DKI Jakarta putaran ke-2 karena dari proyeksi perkiraan intelijen sejauh ini masih belum dapat dipastikan siapa yang dapat mencapai suara diatas 50% untuk memenangkan pilkada DKI Jakarta.

Meskipun pasangan Anies/Sandi akan memimpin karena diperkirakan akan terjadi penajaman sentimen agama terkait dengan jalannya sidang penistaan agama dengan terdakwa Ahok, namun hasil akhirnya akan sangat ketat sebagaimana terjadi pada putaran pertama.

Dua faktor yang sangat berpengaruh dan dapat menyederhanakan perkiraan pilkada Jakarta putaran kedua justru lebih kepada hasil sidang penistaan agama dan kemungkinan terjadinya gerakan-gerakan massa yang besar, dimana kedua faktor tersebut menguntungkan pasangan Anies/Sandi.

Sebagaimana perkiraan Blog I-I dalam artikel Kode Sandi: Old Town Operation dimana peluang Ahok mampu mencapai 50% paska sejumlah operasi intelijen yang sangat efektif yang terbukti dengan unggul pada putaran pertama, maka dalam 2 bulan ke depan, kita akan menyaksikan sejumlah kegaduhan politik, aksi massa, dan penajaman konflik menuju pelaksanaan pemungutan suara.

Sahabat Blog I-I mungkin bertanya-tanya bagaimana Blog I-I memvalidasi perkiraan tanpa polling ini. Anggap saja hal ini sebagai utak-atik perkiraan masyarakat awam yang bodoh dan buta ilmu statistik, namun sahabat Blog I-I akan melihat buktinya dalam polling-polling yang diselenggarakan oleh lembaga survei yang kredibel dalam beberapa minggu ke depan sampai menjelang pelaksanaan pemungutan suara.

Sementara hasil akhir atau finalnya cenderung berada di pihak Anies/Sandi yang akan terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta yang baru.

Perkiraan ini tentunya dengan pengecualian terjadinya suatu keadaan tertentu dimana para paslon tertimpa persoalan-persoalan baru, baik yang bersumber dari operasi-operasi intelijen, dari kaitan-kaitan kasus-kasus hukum, termasuk blunder pernyataan-pernyataan politik paslon yang mendapatkan reaksi keras dari masyarakat luas.

Artikel ini bukan dukungan kepada paslon Anies/Sandi, juga bukan penjegalan terhadap paslon Ahok/Djarot, melainkan sebuah perkiraan intelijen yang bisa benar namun bisa juga salah. Pembuktiannya silahkan ditunggu sampai bulan April nanti.

Salam Intelijen
Senopati Wirang

Read More »
05.13 | 0 komentar

Jumat, 10 Februari 2017

Kode Sandi: Old Town Operation

Sehubungan dengan tidak adanya komunikasi resmi dari Intelijen Negara yang melarang pengungkapan operasi intelijen mendukung Ahok, jaringan Blog I-I yang masih diblokir rezim Jokowi merasa perlu mengungkapkan kepada publik tentang beragam operasi inteljen dalam Pilkada DKI Jakarta yang jelas-jelas telah melukai keadilan dalam pesta demokrasi di Jakarta. Hal ini juga berdasarkan permintaan sejumlah politisi nasional yang menginginkan demokrasi di Indonesia bersih dari segala bentuk operasi intelijen atau keterlibatan praktek-praktek intelijen profesional. Artikel ini juga dipublikasikan sebelum masuknya masa tenang Pilkada Jakarta sehingga tidak mengganggu ketenangan masyarakat Jakarta dalam menentukan pilihannya.

Artikel ini bukan hoax atau fitnah namun tidak dapat diungkapkan secara utuh guna menghindari terjadinya kegaduhan politik nasional yang berpotensi menjungkalkan Presiden Jokowi sebelum waktunya. Guna menjaga kehormatan berbagai pihak yang menyelenggarakan operasi intelijen, maka artikel ini hanyalah satu contoh dari beragam operasi intelijen yang terjadi pada periode 2016-2017. Tujuan pengungkapan ini hanya sebagai peringatan kepada pelaku, bahwa jaringan Blog I-I terus mengawasi siapapun yang menyalahgunakan kegiatan intelijen untuk kepentingan sempit kelompok.


Penanggung jawab operasi: censored
Pelaksana operasi : censored
Kode Sandi : Old Town (disamarkan)
Tujuan : Memenangkan Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta
Sasaran : Lawan-lawan politik Ahok
Teknik : Propaganda hitam - abu-abu - putih, hacking, penyadapan, pembunuhan karakter, penggembosan umat Islam, penggalangan, infiltrasi tim sukses lawan politik Ahok

Tambahan (16 Februari 2017): benar bahwa tidak semua umat Islam bersikap anti-Ahok serta ada sejumlah pertanyaan umat Islam yang mana yang dimaksud Blog I-I. Dapat dijelaskan disini bahwa target memperebutkan umat Islam secara umum dilakukan oleh seluruh paslon. Blog I-I meyakini bahwa operasi intelijen melakukan penggembosan dengan target utama FPI, GNPF-MUI, FUI, PKS dan seluruh ormas Islam yang terdeteksi Anti-Ahok. Meskipun demikian terdapat pula upaya pemisahan umat Islam dengan label Muslim moderat-cerdas-kritis-terbuka-rasional dukung Ahok dan Muslim konservatif-kurang cerdas-sempit-irrasional-emosional menjegal Ahok. Hal itu sangat vital dalam mempengaruhi sikap politik umat Islam Jakarta secara umum. Dasar operasi pemisahan umat Islam dengan pola-pola pembentukan opini dan wacana melalui proses labelling tersebut secara akademis dapat dibuktikan dengan penelitian analisa terhadap pernyataan-pernyataan terkait sikap masyarakat Muslim, terhadap polling-polling yang memasukkan variabel Islam atau sikap masyarakat Muslim, serta propaganda-propaganda baik yang putih dan abu-abu di media mainstream, maupun yang hitam di media sosial dan komentar-komentar Tim buzzer pendukung Ahok. Disadari ataupun tidak perpecahan umat Islam adalah hal yang sangat mudah karena manusia pada dasarnya cenderung dangkal pemikirannya dan mudah berubah karena bersandar pada wacana dan bukan pada kedalaman pemahaman konteks sosial dan politik. Dangkal disini bukan bodoh, melainkan malas untuk lebih serius meneliti karena tentunya setiap orang sudah punya kesibukan pribadi yang tidak terkait dengan masalah politik atau pilkada. Dalam sejarah Jakarta, umat Islam bersatu hanya pada pemilu 1955 (Masyumi), 1977 (PPP), dan 2004 (PKS) dan itupun lebih karena Partai dan keberhasilan kampanye menyentuh hati umat Islam serta belum pernah terserap ke dalam kharisma kepemimpinan yang mengedepankan individu seorang Pemimpin Muslim. Dalam konteks psikologi massa umat Islam terdapat paradoks kerinduan untuk hidup secara Islami dan keengganan untuk melaksanakan ajaran Islam di bidang politik. Semua itu tidak terlepas dari kelemahan kepemimpinan tokoh-tokoh Islam dalam memahami umat Islam yang masih enggan menjalankan ajaran Islam secara utuh dan keberhasilan lawan-lawan politik untuk mencegah apa yang dipopulerkan oleh akademisi Barat sebagai Islam Politik atau Islamis atau bahkan kadang ditambah label Politik Islam "Radikal". Berdasarkan pada temuan-temuan tersebutlah Blog I-I melakukan generalisasi penggembosan umat Islam, yakni terhadap seluruh umat Islam baik di Jakarta maupun di Indonesia secara umum. Perhatikan bagaimana Ketua PB NU memberikan pernyataan-pernyataan yang membingungkan antara iya dan tidak dalam menyikapi kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Perhatikan pula bagaimana kontradiksi antara Pemuda Muhammadiyah dan Ketua PP Muhammadiyah dalam menyikapi kasus penistaan agama. Semua itu berkat "tekanan" halus secara langsung oleh Presiden Jokowi dengan argumentasi memelihara persatuan dan kesatuan serta mencegah terjadinya konflik yang lebih besar, apakah itu bukan penggalangan dan penggembosan umat Islam agar tidak bersikap tegas sebagai Muslim sesuai dengan ajaran Al Quran dan Hadits. Mengapa kemudian tercipta suatu kondisi yang sulit bagi umat Islam untuk menyatakan pendapatnya dalam menyikapi kasus penistaan agama? Apakah hukum tidak dapat ditegakkan karena ada kekuatan Non-Islami yang menghendaki kasus penistaan agama dilupakan atau dimaafkan saja? Mengapa kemudian bila ada orang Islam yang keberatan dan ingin hukum ditegakkan dari kasus penistaan agama jadi merasa masuk dalam label Muslim konservatif-kurang cerdas-sempit-irrasional-emosional dan dituduh sepihak semata-mata untuk menjegal Ahok atau memusuhi Non-Muslim dan tidak toleran? Sudah puluhan tahun pada era Orde Baru pola-pola operasi tersebut dilakukan oleh Intelijen baik yang resmi maupun yang tidak resmi semata-mata untuk menekan pengaruh Islam dalam perpolitikan nasional. Bahkan lebih jauh lagi sejak kemerdekaan dan era Orde Lama, persoalan hubungan Islam dan Negara telah diupayakan solusinya misalnya Bung Karno dengan NASAKOM-nya (Nasionalis, Agama, Komunis). Di era reformasi, seharusnya penghormatan terhadap perbedaan benar-benar dijunjung tinggi dan intelijen tidak masuk ke dalam ranah politik praktis. Sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa analisa intelijen ini bukan untuk mendukung salah satu paslon atau propaganda memecah belah bangsa Indonesia. Tujuan utama keberadaan Blog I-I adalah sebagai bahan pembelajaran agar kita sebagai bangsa dapat berpikir kritis dan tidak berada dalam pengaruh manipulasi kekuatan-kekuatan besar khususnya Kalangan Intelijen yang sangat piawai dalam masalah ini. Anggap saja keberadaan Blog I-I sebagai penyeimbang positif atau alternatif pemikiran bagi para pembacanya. Kemudian sebagaimana selalu diingatkan, jangan menerima argumentasi Blog I-I sebagai kebenaran mutlak, anda berhak mengkritisi, mengcounter, atau berbeda pendapat. Dari diskusi tajam tersebutlah diharapkan kita sebagai satu bangsa Indonesia dapat melangkah secara yakin dan lebih baik dalam menyongsong masa depan yang lebih baik pula. Kemudian khusus untuk kalangan intelijen, teruslah mengasah pisau analisa anda dan tingkatkan skill operasional anda sebaik-baiknya, namun ingatlah selalu bahwa setelah anda menjadi pisau yang tajam janganlah kemudian menjadi alat untuk menusuk, melukai, atau bahkan membunuh salah satu anak bangsa demi kekuasaan. Satu-satunya alasan untuk "boleh" menusuk, melukai dan membunuh adalah ketika ada anak bangsa yang keterlaluan dan melanggar hukum serta melakukan kekerasan menghilangkan nyawa sesama anak bangsa dengan niat menghancurkan bangsa Indonesia. Kebijakan intelijenpun menaruh operasi ekstrim ini sebagai pilihan terakhir. Selain itu, hakikatnya ancaman yang sejati bersumber dari luar dan bukan dari sesama anak bangsa yang berkompetisi secara demokratis dalam mencapai kekuasaan. 

Sesuai dengan tujuan dari artikel ini dan dengan masih menjaga stabilitas nasional, maka Blog I-I memutuskan hanya mengungkapkan satu operasi dengan tidak mengungkapkan siapa, dimana pusat operasinya, dan jangka waktunya. Namun untuk bagaimana dan mengapanya tentu sudah jelas terbaca yakni dengan teknik-teknik giat intel dan mengapa dilakukan adalah untuk memastikan kemenangan Ahok di Jakarta.

Operasi Old Town merupakan antitesis dari ramalan Blog I-I yang memastikan kekalahan Ahok dalam artikel Mencegah Kehancuran Indonesia Raya dan artikel Pencegahan Makar. Apabila dalam artikel pertama Blog I-I meramalkan Ahok akan 100% kalah, kemudian artikel berikutnya mencatat kemungkinan Ahok kalah menjadi 80%, maka dalam artikel hari ini kemungkinan Ahok untuk kalah menjadi 50%, artinya operasi intelijen mendukung Ahok dapat dikatakan sukses dan sangat efektif dalam memulihkan citra Ahok dan mengangkat elektabilitas Ahok dengan sangat signifikan.

Tentu saja pemulihan citra Ahok tersebut bukan semata-mata karena operasi intelijen, karena performance pasangan Ahok-Djarot dalam debat resmi yang diselenggarakan KPU dapat dinilai positif dan mungkin menjadi faktor pengungkit yang besar dalam mempengaruhi sikap pemilih.

Peran besar operasi intelijen mendukung Ahok adalah dalam hal menekan lawan-lawan politik Ahok khususnya yang membawa bendera Islam menjadi pesakitan dan mulai kehilangan momentum menjelang pemilihan tanggal 15 Februari. Sangat efektif sehingga citra lawan-lawan politik Ahok mengalami penurunan yang signifikan. Dampak dari Aksi Bela Islam di tahun 2016 dapat dikatakan secara efektif meredup seiring dengan pembunuhan karakter pimpinan FPI dengan sejumlah kasus. Sementara itu, upaya estafet kepemimpinan dengan mengangkat tokoh lain seperti dari FUI atau yang lainnya agak terlambat karena peninggian citra Habieb Rizieq sebagai Imam Besar FPI dan pemimpin umat Islam dalam Aksi Bela Islam menjadi bumerang ketika operasi Habieb Domek (ma'af Doyan Memek) melalui penghalusan baladacintarizieq menjadi sangat sukses besar. Saat ini Habieb Rizieq tentunya menjadi sangat sibuk menghadapi berbagai tuntutan hukum sehingga rencana Aksi Bela Islam atau Aksi Bela Ulama yang terakhir (final punch) menjelang 15 Februari menjadi berantakan dan sangat sulit mengulangi sukses Aksi Bela Islam tahun 2016. Rencana Aksi 112 menurut perkiraan jaringan Blog I-I hanya akan diikuti peserta maksimal 1/2 dari Aksi-Aksi Bela Islam yang terjadi pada tahun 2016, apabila harus menyebut angka akan berada pada kisaran maksimal 60-70 ribu orang dan kemungkinan besar akan jauh kurang dari angka tersebut apabila penggembosan dilakukan secara efektif.

Kasus yang menimpa SBY dengan pengungkapan komunikasi SBY dan KH Ma'ruf Amin telah diketahui sejak peristiwa itu terjadi, namun dengan sangat elegan digunakan menjelang saat-saat akhir kampanye dan diungkapkan sebagai bahasa menyamping dalam proses pengadilan Ahok. Dalam artikel Sadap-Menyadap Komunikasi Presiden ke-6 SBY, Blog I-I menduga bahwa pengacara Ahok dan Ahok melakukan blunder dengan menekan dan mempermalukan KH Ma'ruf Amin serta mengungkap komunikasi SBY - KH Ma'ruf Amin, namun ternyata hal itu bukan blunder karena targetnya memang mengganggu emosi SBY sehingga akhirnya SBY terpancing dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan tidak perlu yang terkesan negatif di masyarakat. Sementara tentang ketersinggungan NU dapat dinetralisir dengan permohonan ma'af dan di tubuh NU sendiri mengalami perbedaan pendapat yang cukup tajam. Pancingan agar SBY banyak komentar terbuka baik berupa press release maupun twitter segera menjadi bahan ledekan baik oleh Presiden Jokowi maupun Megawati seolah SBY anak kecil yang sedang merengek-rengek merasa didzalimi. Sungguh propaganda yang sempurna dalam menurunkan elektabilitas Agus Yudhoyono yang sebelumnya telah digeogoti oleh operasi pembunuhan karakter Sylviana Murni melalui kasus dugaan korupsi yang juga telah dipersiapkan sejak tahun 2016 namun baru diangkat digoreng-goreng pada Januari 2017.

Tambahan (16 Februari 2017): Analisa Blog I-I belakangan didukung oleh sejumlah analisa  pengamat dan penggiat polling menjelang dan pasca 15 Februari 2017 baik berdasarkan teori maupun data popularitas dan elektabilitas yang menjelaskan bahwa reaksi Presiden ke-6 SBY dengan konferensi pers dan media sosial twitternya menjadi langkah blunder yang menggerus perolehan suara Agus/Sylvi bahkan menjadi 1-2% dibawah perkiraan polling terakhir. SBY gagal mempermainkan kartu simpati publik Jakarta dengan menjadi "korban" karena sudah tidak laku dan apa yang disebut sebagai "Efek Antasari" sebenarnya kecil dan kurang berarti seandainya keluhan-keluhan Antasari dibiarkan saja dan dihadapi dengan dingin oleh pengacara profesional tanpa menciptakan suatu opini tertentu. Upaya Antasari untuk menyerang SBY akan menemui tembok besar karena hal pertama yang harus dilalui Antasari adalah menghadapi fakta-fakta proses pengadilannya yang dahulu menjatuhkan hukuman penjara terhadap dirinya. Namun Antasari sangat cerdas dan paham hukum, sehingga langkah yang ditempuhnya adalah langsung "menembak" kepada sasaran tertinggi yakni SBY melalui media dan pernyataan-pernyataan yang bisa benar bisa juga salah, dengan harapan bergulir menjadi polemik besar dan mendorong aparat kepolisian dan hukum untuk lebih serius memberikan perhatian. Apabila Antasari berhasil mengakumulasikan polemik kasusnya menjadi besar dengan penciptaan opini kecurigaan-kecurigaan terhadap Presiden ke-6 SBY berhasil, serta SBY terpancing untuk menanggapi secara langsung dan masuk dalam permainan Antasari, maka tidak tertutup kemungkinan SBY dan keluarga khususnya serta PD secara umum mengalami penurunan popularitas politik di mata publik dengan sangat signifikan, kemudian menuju pilpres 2019 PD akan tersungkur ke level terendah dalam sejarah perjalanan PD. Ingat, bahwa masih ada beberapa "modal" besar kehancuran PD yang belum digunakan yakni kasus Anas Urbaningrum dan Bank Century (kuncinya di Sri Mulyani) yang telah dilirik oleh sejumlah kalangan di sekeliling Jokowi untuk diolah memastikan kehancuran dinasti SBY. Seperti terbaca dalam media massa, kelompok Anas dikabarkan mendukung atau bergabung dengan Hanura, hal itu merupakan kartu Wiranto untuk strategi jangka menengah menuju kursi Wakil Presiden pada tahun 2019.
Mohon analisa tambahan ini dibaca sebagai analisa semata dan bukan propaganda atau pancingan atau bahkan tuduhan karena Blog I-I menuliskan ini berdasarkan informasi intelijen jaringan Blog I-I yang tidak dapat digunakan sebagai bukti hukum ataupun dipertanggungjawabkan sebagai sebuah produk analisa strategis. Blog I-I hanya mengungkapkan analisa-analisa alternatif yang bertujuan membuka mata dan telinga kita semua dan tentunya tidak dapat diklaim sebagai sebuah kebenaran mutlak.  

Demikian kuatnya operasi intelijen mendukung Ahok sampai-sampai pasangan Anies-Sandiaga juga tidak menyadari bahwa mereka telah mengalami penurunan drastis dukungan bukan karena kampanye lawan melainkan karena penggalangan intelijen yang menyebabkan "penurunan" dukungan internal yang tidak dapat diungkapkan disini. (Tambahan 16 Februari 2017: seandainya tidak ada operasi intelijen, mungkin pasangan Anies/Sandi memimpin perolehan suara, hal ini juga tercermin dari sikap berlebihan Tim Sukses Ahok/Djarot dengan keyakinan menang satu putaran. Hal ini tidak terlepas dari pertemuan Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto (bukan Senopati Wirang) yang mana Prabowo mendapatkan "sesuatu yang besar" secara ekonomi yang tidak dapat diungkapkan dalam artikel ini. Apabila para pembaca Blog I-I penasaran atau menuduh Blog I-I bicara sembarangan, silahkan dikonfirmasikan kepada para pihak yang disebutkan Blog I-I, niscaya anda semua akan memperoleh bantahan-bantahan yang cenderung menghindar. Demikianlah wajah perpolitikan dan intelijen serta berbagai intrik hiruk-pikuknya, kita semua sebagai bangsa terlalu banyak menghabiskan energi, uang, perhatian untuk kekuasaan dan kepentingan kelompok. Demokrasi yang ideal bukanlah semata konsentrasi kepada kursi kekuasaan, melainkan kepada bagaimana memajukan dan mensejahterakan rakyat, perbaikan-perbaikan atau koreksi dari kekeliruan kebijakan, perencanaan yang matang untuk generasi penerus, dan kepastian hukum dan keadilan sosial. Artinya kompetisi mencapai kekuasaan dilakukan dalam pesta demokrasi untuk meberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin yang diyakininya dapat mewujudkan harapan rakyat sekaligus sebagai seleksi dan faktor pendorong yang kuat untu akuntabilitas dan keseriusan kerja. Sementara segala perbedaan hanya terjadi saat pemilihan umum dan pilkada, setelah itu semua bersatu bahu membahu untuk pembangunan. Koreksi-koreksi paska pemilu/pilkada ditujukan untuk mengingatkan dan memberikan alternatif pemikiran dan Pemerintah harus terbuka dan penyampaian pun tidak dikesankan ingin mendongkel Pemerintahan yang sedang berjalan. Semua itu seharusnya secara efektif diperdebatkan di DPR dan DPRD. Kemudian persoalan-persoalan personal seperti tuntutan keadilan oleh Antasari tidak seharusnya masuk ke wilayah politik. Sungguh sangat disayangkan bagaimana manuver Pemerintahan Jokowi dengan grasinya terhadap Antasari dan Reaksi SBY telah mencapai keadaan yang tidak dapat diperbaiki dan akan terus membayangi perjalanan politik Indonesia ke depan.    

Bagaimana Blog I-I mempertanggungjawabkan analisa ini semua? mana buktinya? Sebagaimana juga politik dibalik pintu tertutup, kesempurnaan operasi intelijen adalah karena kerahasiaannya. Siapa mereka yang begitu canggih menyelenggarakan operasi intelijen tersebut? Dapat dipastikan tidak akan terungkap karena kekuatan besar dan bahkan Blog I-I sendiri saat ini tidak dapat dibaca bebas oleh rakyat Indonesia. Hanya mereka yang sedikit memiliki pengetahuan tentang membuka blokir dan sensor pemerintah Indonesia yang dapat membaca Blog I-I. Kembali kepada masalah bukti, operasi intelijen tidak meninggalkan bukti namun dapat dirasakan dampaknya. Kepada siapapun tokoh-tokoh agama Islam maupun tokoh nasional yang sedang merasakan dampak operasi intelijen tentunya dapat memahami argumentasi Blog I-I. Anda semua saat merasakan dampak operasi intelijen akan merasakan ketidakberdayaan dan tidak memiliki bukti yang dapat digunakan di depan hukum.

Mengapa Blog I-I tidak membongkar saja semua dan melaporkan data-data akurat kepada pihak yang berwenang? Jawabnya adalah bahwa saat ini belum ada hukum yang cukup kuat yang dapat menjerat penyalahgunaan operasi intelijen untuk kepentingan politik kekuasaan. Akan sangat konyol dan bila Blog I-I mengungkapkannya secara utuh, maka sama saja dengan menyerahkan diri untuk dipenjara. Selain itu, Blog I-I juga menjadi target rezim Jokowi baik melalui blokir internet sehatnya maupun buruan aparat kepolisian dan intelijen. Mengapa Blog I-I dimusuhi? silahkan baca artikel-artikel Blog I-I dan tanyakan saja langsung kepada rezim Jokowi mengapa? Karena jaringan Blog I-I juga tidak mengerti mengapa.

Visi dan Misi jaringan Blog I-I sangat sederhana yakni mencita-citakan Intelijen Indonesia yang profesiobal, obyektif dan berintegritas sungguh-sungguh berpihak kepada rakyat dan bukan pengabdi kepada kekuasaan, sehingga intelijen seyogyanya dapat netral dari urusan kompetisi politik kekuasaan dan berkonsentrasi dalam memberikan informasi yang seimbang agar kompetisi tersebut dapat terselenggara secara adil dan transparan. Namun bila intelijen masuk dalam urusan politik mencapai kekauasaan dapat dipastikan bahwa akan sangat berat untuk melawan kelompok yang didukung intelijen.

Keberhasilan operasi Old Town belum sempurna sampai pada penghitungan hasil pilkada Jakarta tanggal 15 Februari 2017. Sehingga masih akan ada operasi-operasi lain yang membahayakan dan dapat menciderai jalannya pesta demokrasi di Jakarta. Seharusnya, apabila ingin adil, operasi intelijen sangat diperlukan dalam mengungkap kasus-kasus e-KTP Jakarta yang palsu yang diduga kuat bersumber/berawal dari aksi pengumpulan sejuta KTP oleh sejumlah oknum relawan dalam rangka mendukung salah-satu kandidat. Operasi intelijen juga diperlukan dalam meminimalkan kerawanan di TPS-TPS, dan juga dalam melindungi demokrasi dari kemungkinan kecurangan. Namun karena operasi intelijen justru untuk memenangkan salah satu calon, maka yang terjadi adalah kecurangan karena masyarakat sebagai pemilih tidak akan tahu kerahasiaan dari operasi intelijen tersebut.

Demikian, semoga cukup sebagai peringatan kepada penanggung jawab dan pelaksana operasi intelijen yang tidak dapat disebutkan disini. Namun kita tahu sama tahu dan jaringan Blog I-I menjunjung tinggi kode etik intelijen untuk tidak mengungkapkan seutuhnya, dan hanya memberikan peringatan saja, semoga dapat diterima.

Salam intelijen
Senopati Wirang

Read More »
00.12 | 0 komentar

Jumat, 03 Februari 2017

Tentang Kasus Habib Rizieq dan Firza Husein

Masih sambil menunggu masukan resmi dari BIN terkait operasi intelijen pilkada DKI Jakarta, berikut ini adalah artikel selingan untuk membuka mata dan telinga dan mempertajam analisa sahabat Blog I-I yang tetap setia mengunjungi Blog I-I meskipun Blog I-I diblokir oleh rezim jokowi-JK. Bila BIN tidak memberikan saran, maka akan kami publikasikan sebelum masuk minggu tenang Pilkada DKI Jakarta (Silahkan mengirim email ke senowirang@gmail.com).

Terima kasih atas masukan dan analisa dari sejumlah jaring Blog I-I, khususnya Sdr. PT, Sdr. AT, dan Sdri. MM yang panjang lebar mengungkapkan data-data dan analisanya tentang kasus di seputar hubungan antara Habieb Rizieq (HR) dan Firza Husein (FH). Tulisan kali ini bukan untuk mengungkap kebenaran maupun untuk memperkeruh keadaan atau membela siapapun. Melainkan sebagai sebuah bagian dari berbagi pola berpikir agar masyarakat lebih hati-hati dan waspada dengan permainan politik tingkat tinggi yang membentuk opini dan sikap masyarakat terhadap suatu fenomena atau terhadap seorang figur.

Pola pikir pertama yang harus dicamkan oleh kita semua sebagai masyarakat awam adalah apa yang tidak diketahui atau yang kita anggap tidak ada, maka hal itu belum tentu benar-benar tidak ada. Hal ini bukan hanya khas milik para intel, melainkan sebuah kewaspadaan individu dalam membiasakan diri mengenali potensi kejutan yang membahayakan karena keterbatasan kita sebagai manusia. Misalnya dalam kasus HR dan FH, apa yang tidak kelihatan atau tidak kita ketahui adalah pembuat propaganda pornografi chat HR dan FH melalui website baladacintarizieq yang cukup bagus kualitasnya sebagai sebuah produk propaganda intelijen "membongkar" aib FH dengan foto-foto telanjangnya atau "membunuh karakter" HR dengan obrolan chat yang belum tentu benar. Sejalan dengan UU ITE No.11 Tahun 2008 atau Revisinya melalui UU No.19 Tahun 2016 maupun UU Pronografi No.44 Tahun 2008, maka pembuat propaganda baladacintarizieq adalah pelaku kejahatan yang harus ditindak oleh Polisi. Namun sesuai dengan misi intelijen kelompok tertentu, pembuat propaganda tersebut dapat dipastikan tidak akan tertangkap. Andaipun suatu saat terungkap, maka ia hanya agen boneka bodoh yang menerima sejumlah uang dari kelompok tertentu. Kembali kepada pola pikir waskita, maka kita patut mempertanyakan keberadaan kelompok tertentu yang secara efektif melakukan operasi intelijen untuk kepentingan politik kekuasaan.

Pola pikir kedua yang harus kita biasakan dalam menilai informasi adalah apa yang kita lihat dan dengar belum tentu benar. Manusia sangat mudah dimanipulasi karena persepsi yang dibangun melalui kemampuannya mendengar dan melihat. Misalnya propaganda intelijen baladacintarizieq yang kita lihat dan dengar akan membentuk persepsi tentang perbuatan tidak bermoral dari HR dan FH, padahal realitas sesungguhnya belum tentu demikian. Hal ini masalah persepsi dan kepercayaan publik terhadap sosok HR dan FH. Dalam kaitan ini, HR jelas tokoh publik yang memiliki banyak pengikut melalui organisasi Front Pembela Islam (FPI), sedangkan FH adalah sosok aktivis wanita Muslim biasa. Artinya cukup jelas terbaca bahwa target operasinya adalah sosok HR yang gigih menyuarakan sikapnya yang Anti-Ahok. Andaipun ada kebenaran dalam propaganda "membunuh karakter" Rizieq maka hal itu besar kemungkinan berisi campuran ramuan antara fakta-fakta, opini, dan kebohongan yang mana tujuan akhirnya adalah terpojoknya HR dan terbentuknya persepsi negatif tentang HR. Dalam analisa jaringan Blog I-I, sangat jelas telah terjadi operasi intelijen sebagaimana dahulu menimpa Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika fotonya memangku wanita beredar luas. Siapa pelakunya? Blog I-I tidak dapat mengungkapkannya kepada publik. Informasi yang terverifikasi masuk ke dalam jaring Blog I-I tentang hubungan HR dan FH telah diterima sejak Desember/Januari yang lalu, namun Blog I-I memilih untuk tidak melemahkan gerakan umat Islam. Selain HR, Blog I-I juga menerima propaganda hasil operasi intelijen yang menimpa jubir/advokat FPI Sdr. Munarman SH, apakah akan dikeluarkan sebagai propaganda baladacintamunarman atau tidak, kembali kepada kelompok yang sedang membidik tokoh-tokoh Islam Anti-Ahok.

Pola pikir ketiga yang perlu kita terapkan adalah berpikir untuk kepentingan yang lebih besar. Dalam kacamata kepentingan nasional apa yang menimpa HR dan FH adalah masalah kecil yang sama sekali tidak berpengaruh kepada stabilitas nasional. Beberapa hal yang mungkin terjadi hanya sebatas kepada hancurnya citra pribadi HR dan FH di mata publik, serta melemahnya dukungan umat Islam kepada gerakan FPI, serta terpecahnya konsentrasi kelompok penentang Ahok yang merasa was-was dengan berbagai operasi intelijen yang mengintai. Namun demikian, bersandar kepada kepentingan yang lebih besar yakni dampak penajaman polarisasi masyarakat Indonesia dari kasus Ahok adalah menurunnya kepercayaan publik kepada rezim Jokowi-JK yang secara signifikan akan terus menguat. Apa yang terjadi dengan Blog I-I dengan pemblokiran internet positif adalah contoh nyata pembungkaman kebebasan berpikir dan berpendapat yang dijamin oleh Undang-Undang. Kemudian apa yang sedang menimpa umat Islam khususnya bidikan kepada beberapa tokohnya adalah contoh abuse of power. FPI hanya pion terdepan dalam gerakan menolak Ahok, sementara jaringan yang lebih besar tidak dapat dibidik karena memang relatif tidak ada alasan untuk membidiknya. Kunjungan beberapa oknum pejabat intel dan polisi ke sejumlah pesantren besar dan modern dalam rangka monitoring jaringan umat Islam penentang Ahok jelas salah sasaran, dan hal itu telah diinterpretasikan sebagai "sikap bermusuhan" rezim Jokowi-JK kepada mayoritas umat Islam. Meskipun Wapres JK telah berusaha keras untuk memberikan pembelaan kepada mayoritas umat Islam, namun tampaknya pengaruh JK sangatlah lemah dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah yang lebih adil. Membidik HR dengan berbagai kasus hukum termasuk kasus yang menimpa citra pribadi HR merupakan pesan tidak langsung yang juga dapat menimpa seluruh pemimpin umat Islam yang saat ini menentang Ahok. Artinya dalam kacamata kepentingan nasional, polarisasi yang terjadi bukan lagi terbatas pada pilkada DKI Jakarta, melainkan telah meluas ke seluruh Nusantara dan menjadi awal kehancuran kepercayaan publik kepada Pemerintahan Jokowi-JK dan khususnya akan menimpa Partai Penguasa yang lebih khusus lagi PDI-Perjuangan. Silahkan buktikan analisa ini dalam pemilu 2019.

Pola pikir keempat yang perlu dikuasai oleh sahabat Blog I-I adalah biasakan bepikir bertingkat-tingkat bagaikan labyrinth, dimana diatas suatu kisah terdapat kisah lain dan diatasnya terdapat kisah yang lain lagi. Misalnya dalam kasus HR dan FH, berpikir pada level terendah adalah pembukaan aib HR dan FH dalam rangka penggembosan kelompok Anti-Ahok. Level diatasnya adalah adalah membidik Tommy Suharto (TS) dan SBY dengan menekan FH dan beberapa tersangka makar lainnya, sehingga salah sasaran apabila TS mensomasi FH. Level diatasnya lagi adalah show of force agar semua lawan politik Ahok berpikir ulang untuk menggagalkan Ahok kembali menjadi gubernur DKI Jakarta. Hal ini terungkap dengan kuatnya informasi yang dimiliki Ahok dan penasihat hukumnya yang diduga kuat disuplai oleh oknum aparat. Level diatasnya lagi adalah skenario di atas skenario yang justru membidik Jokowi dan melemahkan kepercayaan publik kepada Jokowi. Mengapa kepercayaan publik kepada Jokowi dapat menurun tajam, hal ini tidak lain tidak bukan karena dinamika yang berkembang mengarah kepada sikap sewenang-wenang dan tidak adil dari pemerintah, contoh sederhana yang terdekat dengan sahabat Blog I-I adalah blokir terhadap Blog I-I. Bandingkan pembelajaran dan artikel Blog I-I dengan propaganda hitam SEWORD yang dikelola oleh intelijen Jokowi-Ahok. Mengapa Blog I-I diblokir, sedangkan SEWORD tidak. Jokowi sudah lupa bahwa keberhasilannya menjadi Presiden juga berkat netralitas jaringan Blog I-I yang mengungkapkan fakta-fakta propaganda hitam Anti-Jokowi misalnya dalam artikel Stanley Greenberg. Logika berpikir bertingkat strategis adalah sbb:


Kasus HR dan FH merupakan bagian kecil dari skenario kasus Ahok dan propaganda Jokowi Musuh Islam sehingga diperlukan operasi penajaman perbedaan pendapat dengan menghancurkan citra HR dan beberapa pimpinan umat Islam seperti Rois Am Syuriah PBNU Kiai Ma'ruf Amin. Disadari ataupun tidak kasus Ahok adalah kasus potensial untuk menghancurkan citra Jokowi secara efektif dan perlahan menuju 2019. Apabila Ahok terpilih dalam pilkada DKI Jakarta maka hal itu semakin memuluskan langkah menuju penghancuran citra Jokowi melalui skenario di atas skenario tersebut.

Artinya para pihak yang saat ini sedang bermain taktis jangka pendek melemahkan FPI telah masuk dalam perangkap yang lebih besar dalam teknik propaganda lain. Pilihan apapun yang diambil oleh pemerintah dalam kasus Ahok memiliki resiko, artinya membela Ahok sampai terpilih berarti hancurnya kepercayaan publik kepada Jokowi dan tidak membela Ahok berarti melemahnya dukungan konstituen politik di Ibukota. Pilihan yang sulit bukan? Dari dinamika yang ada tampaknya pilihan membela Ahok lebih dominan dengan kalkulasi kekuasaan masih ditangan, dan musuh-musuh politik dapat dihadapi dengan tipuan senyum cengar-cengir, pemberian konsesi proyek ekonomi, serta operasi intelijen, khususnya intelijen pro-justisia (polisi). Namun pihak oposisi bukan tidak memperhitungkan pilihan tersebut, dan secara efektif telah dan akan terus memanfaatkaanya dari isu-isu sebagaimana dalam ilustrasi di atas bahkan ditambah dengan isu-isu hoax dan lain sebagainya. Semuanya akan secara efektif menghancurkan kepercayaan publik kepada Jokowi.

Pola pikir kelima adalah antitesis dari pola pikir keempat. Ada kalanya kita terlalu jauh dan terlalu rumit dalam berpikir dan masalah yang dihadapi ternyata sangat sederhana, bersifat linear atau bahkan hanya sebab akibat saja. Misalnya dalam kasus HR dan FH, berdasarkan informasi jaringan Blog I-I apa yang terjadi sesungguhnya adalah kisah biasa insan manusia yang kebetulan menimpa tokoh pemimpin FPI. Hal itu diketahui dari gelagat dan sikap khususnya FH yang "mencurigakan" baik dalam kisah disusupkan untuk menjatuhkan HR, dalam kisah cinta murni, maupun dalam kisah yang tidak diharapkan terjadi. Foto-foto telanjang FH jelas asli namun konteksnya belum tentu sejalan dengan obrolan dan sejauh mana hubungan tersebut berlangsung, dan fakta yang ada juga hanya tersirat dalam kata-kata yang belum dapat dikategorikan dalam dosa zina memasukkan kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan dengan adanya saksi yang dapat dipercaya. Dengan demikian HR masih memiliki pertahanan citra terakhir baik dalam kisah total membantahnya atau khilaf dengan kecantikan FH dan sebatas chatting saja. Tujuannya tentu membuat sibuk HR dan membuat konsentrasi HR dan FPI buyar dalam menjegal Ahok menjadi gubernur Jakarta. Masalah ini sangat mudah diatasi dengan menaikkan pimpinan baru misalnya dengan mengedepankan Bachtiar Nasir yang juga telah dibidik dengan isu sumbangan ISIS yang relatif telah dapat ditepis. Atau bahkan pimpinan lain yang lebih netral. Pola pikir sederhana ini adalah penyeimbang dari pola pikir bertingkat sehingga sahabat Blog I-I selalu memiliki alternatif berpikir yang lebih teliti dan kemudian mengujinya dengan data-data dan fakta-fakta dikumpulkan.

Masih banyak pola pikir wajib lainnya yang harus dimiliki seorang analis maupun operator operasi intelijen yang merupakan skill yang mendarah daging sehingga efisien dan efektif dalam bekerja. Hal ini Blog I-I sampaikan kepada sahabat-sahabat Blog I-I agar dapat memanfaatkannya dalam kehidupan pribadi maupun sosial sehingga tidak mudah terjerumus dalam suatu masalah atau dalam menganalisa suatu masalah.

Sekian, semoga bermanfaat.
Salam Intelijen
Senopati Wirang




Read More »
21.12 | 0 komentar

Kamis, 02 Februari 2017

Tentang Sadap Menyadap Komunikasi Presiden ke-6 SBY

Presiden ke-5 Megawati kalah dalam pilpres 2004 dan 2009 dan kemudian berada di luar pemerintahan. Pada periode tersebut entah berapa kali Megawati mengeluarkan pernyataan kepada publik dan media bahwa dirinya berada dalam pengawasan Intel (baca: Mega dan Anas "diinteli" Istana, Megawati pernah sekap Intel, Megawati merasa diinteli). Sekarang Presiden ke-6 mengungkapkan kepada publik dan media massa bahwa dirinya merasa telponnya disadap (baca: Telepon disadap seperti Skandal Watergate, Humprey Djemat: Percakapan Ma'ruf dengan SBY melalui Telepon, SBY: Ada Bukti Percakapan dengan Ma'ruf Amin, Itu Sebuah Kejahatan). Isu sadap menyadap yang sedang panas dan akan semakin panas apabila apabila didekati secara keliru tersebut telah dibantah oleh BIN (baca: Klarifikasi BIN Soal Isu Penyadapan Telepon SBY- Kiai Ma'ruf Amin). Klarifikasi BIN cukup tegas dan membersihkan BIN dari kecurigaan ikut campurnya Intelijen dalam pertarungan politik kekuasaan. Lalu kemudian pertanyaannya siapa yang melakukan penyadapan?
Perlu disadari bersama bahwa apa yang dinyatakan oleh Ahok maupun pengacaranya adalah sebuah blunder yang sangat parah, bahwa dirinya telah banyak dibantu oleh berbagai pihak (yang tidak dapat diungkapkan disini) namun tetap saja mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak perlu yang dapat dilihat sebagai sikap bermusuhan kepada umat Islam yang direpresentasikan oleh Kiai Ma'ruf Amin atau sikap konfrontatif terbuka terhadap kubu SBY.

Andaipun benar bahwa setting dari kasus hukum yang menimpa Ahok salah satunya adalah karena komunikasi Kiai Ma'ruf Amin dengan SBY, namun akar persoalannya tetap berada pada diri Ahok sebagai figur pemimpin yang secara terang-terangan mengeluarkan pernyataan yang berada di luar kompetensinya yakni mengutip ajaran agama yang tidak dianutnya dan mengungkapkan penilaian pribadinya kepada publik yang kemudian ditafsirkan oleh para pihak yang tersinggung sebagai penistaan agama. Proses fatwa MUI bukan proses asal-asalan menerima pesanan politik, melainkan berdasarkan kepada hukum dan ilmu agama Islam, sehingga apabila masih ada tuduhan sepihak yang menghina fatwa MUI, maka hal itu menambah tajam perbedaan pandangan tentang kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok.

Sekarang mari kita masuk kepada isu sadap-menyadap. Benarkah telah terjadi penyadapan? Apakah penyadapan tersebut menggunakan teknik sederhana kerjasama dengan provider telekomunikasi, ataukah menggunakan alat perekam, ataukah menggunakan intersep portable? Jaringan Blog I-I yang notabene tidak memiliki kaitan dengan kekuasaan dan saat sedang diblokir oleh rezim Jokowi-JK saja mampu melakukan banyak penyadapan, apalagi insitusi yang berwenang.

Kecerobohan Humprey Djemat dan Ahok adalah mengungkapkan dalam proses pengadilan tentang adanya komunikasi antara SBY dan Kiai Ma'ruf Amin (sebagian media memberitakan sebagai komunikasi telepon) . Entah apakah karena memang berniat memojokkan Kiai Ma'ruf Amin dengan tuduhan bersaksi palsu yang dalam hukum Islam adalah dosa besar yang membinasakan dan sejajar dengan kemusryikan. Kecerobohan tersebut dikarenakan sebuah fakta yang dihadirkan dalam pengadilan harus diperoleh secara legal. Dalam dunia penyadapan komunikasi dikenal dua model yakni yang legal atau lawful dan yang illegal atau unlawful. Dalam kasus ini, apa yang diungkapkan oleh pengacara Ahok dan Ahok tersebut jelas-jelas unlawful alias melanggar hukum. Meskipun kemudian dibantah dan dinyatakan bahwa informasi tersebut dari media online, namun ketika mengungkapkan di pengadilan tampak jelas keyakinan Ahok dan pengacaranya tentang adanya komunikasi SBY dengan Kiai Ma'ruf Amin. Sangat tegas dan benar sekali bahwa BIN menyatakan bahwa berkembangnya isu sadap-menyadap tersebut merupakan tanggung jawab Ahok dan pengacaranya dan BIN tidak pernah melakukan penyadapan selain untuk kepentingan keselamatan bangsa Indonesia. Hal seperti inilah yang dinanti-natikan oleh jaringan Blog I-I bahwa intelijen sungguh-sungguh berada diatas kepentingan politik kekuasaan dan berpegang teguh pada profesionalisme obyektiftas dan integritas.

Sehubungan dengan situasi-kondisi jaringan Blog I-I dan publikasi Blog I-I yang diblokir oleh rezim Jokowi-JK, serta mempertimbangkan baik dan buruknya pengungkapan fakta-fakta untuk kepentingan pendidikan publik, Blog I-I memutuskan untuk tidak memperpanjang  artikel ini dengan data-data akurat demi menjaga harmoni dan stabilitas nasional.

Salam Intelijen
Senopati Wirang


Read More »
03.46 | 0 komentar

Rabu, 01 Februari 2017

Dinamika Toleransi dan Politik Radikal di Indonesia

Sambil mengumpulkan masukan saran-saran dari berbagai pihak baik dari komunitas Intelijen Negara, para senior mantan pejabat Intel, serta berbagai pihak yang berkepentingan dalam memahami Pilkada DKI Jakara terkait dengan artikel Perang Intelijen Pilkada DKI Jakarta, ada baiknya sejenak kita memperhatikan pentingnya pemahaman dinamika toleransi dan politik radikal di Indonesia yang belakangan ini marak menjadi perhatian media massa Indonesia. Sampai saat ini telah masuk 21 email dan 7 komentar yang tidak dipublikasikan tentang perlu tidaknya perang intelijen pilkada DKI Jakarta diungkapkan kepada publik. Kami masih menunggu masukan dari BIN.

Demokratisasi, transisi demokrasi, konsolidasi demokrasi di Indonesia secara teori telah memasuki periode yang seharusnya telah semakin mantap dan memasuki era awal penghayatan budaya demokrasi yang sesungguhnya. Setelah 19 tahun bergelut dengan berbagai perdebatan, konflik, persaingan konsep, serta pelaksanaan demokrasi yang ditandai dengan proses pemilihan pemimpin baik pada level nasional maupun daerah, mayoritas rakyat Indonesia atau bahkan seluruh rakyat Indonesia usia akil baligh telah terbiasa dengan demokrasi prosedural. Ibarat usia manusia, adalah peralihan dari remaja menuju dewasa.

Secara umum, dinamika proses demokratisasi di Indonesia banyak dinilai sangat berhasil. Berbagai kalangan di luar negeri maupun dalam negeri mengakui keberhasilan-keberhasilan yang dicapai Indonesia dalam menerapkan demokrasi sebagai aturan main dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun hal itu bukan tanpa cacat atau masalah-masalah yang menggerogoti dan terus menghantui perjalanan demokrasi di Indonesia. Sejumlah persoalan yang bersumber dari perilaku korup kalangan politisi tercatat mulai dari politik uang untuk memenangkan pemilu, maraknya praktek korupsi sebagai modal politik, maraknya kasus gratifikasi di sektor hukum, dan lain sebagainya. Selain itu, persoalan yang bersumber dari penghalalan segala cara dalam memenangkan pemilu, ketidaksiapan untuk menerima kekalahan, serta tidak sehatnya dinamika internal partai politik yang terpecah-pecah oleh kepentingan elit politik menjadi wajah perpolitikan nasional Indonesia yang suram.

Salah satu karakter dari sistem politik demokrasi adalah toleransi yang berasal dari bahasa latin tolerantia yang berarti kemampuan untuk menanggung suatu keadaan tertentu. Sementara dalam catatan sejarah kata toleransi mulai banyak dipergunakan dalam bahasa Perancis kuno pada abad ke- 14 Masehi, dan berkembang dalam makna menerima perbedaan mulai digunakan pada tahun 1530-an. Arti toleransi secara individu yang diartikan bebas dari prasangka, bebas dari sikap memaksakan keyakinan pribadi, serta sikap menerima perbedaan pandangan mulai berkembang pada tahun 1760-an. Kemudian berkembang lagi pada tahun 1860-an dalam pemaknaan penerimaan keanekaragaman. Meskipun makna toleransi juga berkembang di dunia kedokteran dalam arti kemampuan tubuh manusia menerima atau menanggung suatu keadaan sebagai akibat dari pengobatan misalnya toleransi terhadap antibiotik, namun artikel ini memaknai toleransi dalam pendekatan ilmu sosial.

Setelah memahami makna toleransi tersebut, tentunya kita dapat memeriksa ke dalam diri kita masing-masing dan juga ke dalam organisasi dimana kita bernaung, apakah makna dasar toleransi yakni kemampuan untuk menerima perbedaan, bebas prasangka SARA, dan sikap tidak memaksakan keyakinan kepada pihak, cukup kuat dalam diri kita?  

Betapapun klaim yang dibuat orang-orang liberal humanis bahwa mereka adalah penganut toleransi sejati, hati kecil manusia siapa yang tahu? Setiap kita lahir dengan potensi-potensi baik dan buruk, menerima dan tidak menerima, penuh prasangka karena perbedaan, dan lain sebagainya yang membuat kita menjadi manusia dan bukan malaikat.

Kemampuan untuk bersabar, menahan diri, dan menyikapi dinamika hubungan sosial adalah lebih penting daripada propaganda memaksakan toleransi sebagai prinsip hidup karena akhirnya konsep toleransi itu justru tidak toleran kepada realita konflik yang lahir dari perbedaan. Kemampuan setiap individu dalam menerima perbedaan berbeda-beda sehingga hingga akhir zaman akan terus tercipta suatu kondisi konfliktual apabila perdebatannya semata-mata hanya soal penerimaan perbedaan. Apa yang harus dikembangkan kepada semua pihak adalah agar menahan diri dari perbuatan dan tindakan yang dapat menciptakan kondisi konflik yang semakin tajam. Kondisi konflik tersebut dalam titik yang paling ekstrim adalah perang dan saling membunuh.

Bangsa Indonesia dan para pendiri Republik Indonesia sadar betul bahwa Indonesia sebagai bangsa disatukan oleh kesamaan cita-cita. Itulah sebabnya slogan Bhinneka Tunggal Ika digunakan sebagai pemersatu dan menjadi sebuah pengakuan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku bangsa yang bersatu dalam ikatan cita-cita untuk menjadi bangsa yang maju sejahtera adil merata. Cita-cita boleh setinggi-tingginya, namun jangan lupa dengan realita konflik yang bersifat potensial dari perbedaan itu sehingga sangatlah penting bagi kita semua untuk menyadari kerawanan dari sikap arogan atau prasangka negatif dalam diri kita dalam memperlakukan sesama anak bangsa.

Berangkat dari anjuran untuk meningkatkan kemampuan menahan diri, sekarang mari kita lihat bagaimana dinamika politik yang dilabelkan radikal oleh sebagian pihak dan propagada toleransi di lain pihak yang mengklaim diri sebagai pihak yang benar.

Contoh pailng mudah sebagai studi kasus adalah dinamika politik menjelang Pilkada DKI Jakarta yang menjadi magnet perhatian bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Apabila kita membaca berita secara hati-hati, kasus penistaan agama yang menimpa Sdr. Ahok sebagai salah satu kandidat Gubernur DKI menciptakan polarisasi sikap masyarakat secara umum menjadi dua yakni mereka yang menganggap telah terjadi penistaan agama dan mereka yang menilai tidak terjadi penistaan agama. Kemudian secara politik juga terjadi dua kutub yakni Pro Ahok atau Ahokers (para pendukung Ahok) dan Anti Ahok (para penentang Ahok). Semua bercampur dalam dinamika propaganda-propaganda politik yang bersumber dari perbedaan yang disiram oleh penyubur intoleransi yakni arogansi Ahok, ketersinggungan umat Islam (terkait dengan kemampuan menahan diri), dan intrik politik baik dari kelompok Pro Ahok maupun Anti Ahok.

Betapapun cerdasnya atau cerdiknya kita menyusun propaganda-propaganda politik mendukung salah satu calon gubernur, kita perlu memperhatikan dampaknya kepada masyarakat yang dapat semakin emosional apabila terlalu lama dan terlalu sering digosok. Barangkali kita berusaha mempengaruhi pandangan publik tentang dinamika toleransi yang belakangan digambarkan memprihatinkan, namun sesungguhnya apa yang terjadi hanya berada di pusaran politik Pilkada DKI Jakarta yang dikelola oleh mereka-mereka yang berkepentingan langsung. Sementara masyarakat penduduk DKI Jakarta secara umum adalah penonton yang sedang dipengaruhi dan penentu hasil Pilkada yang sedang menyerap berbagai informasi yang berkembang.

Benarkah telah terjadi politik radikal dari umat Islam dalam pilkada DKI Jakarta? Pada satu sisi, Islam politik dalam berbagai kajian sering dipojokkan sebagai politik intoleran dan eksklusif dan yang paling menyedihkan adalah label radikal untuk menakut-nakuti umat Islam agar menjauhi politik. Namun di sisi lain, perilaku dan sikap politisi atau aktivis Islam cenderung terjebak dalam label Islam politik sehingga kurang mampu merangkul lapisan masyarakat yang lebih luas dengan konsep-konsep menyentuh kepentingan dasar dari seluruh golongan. Alih-alih memperjuangkan umat Islam, politisi dan aktivis Islam lupa bahwa masyarakat Indonesia sangat beranekaragam sehingga yang paling menarik perhatian masyarakat secara umum adalah apa-apa yang yang menjadi kepentingan mereka dan langsung menyentuh keseharian mereka. Benar bahwa Islam sebagai gerakan juga sangat besar potensinya, namun jangan lupa bahwa hakikat politik selamanya adalah kompetisi menjadi penguasa dan dalam koridor demokrasi adalah memperoleh simpati dukungan rakyat yang terbesar. Apabila politisi dan aktivis Islam tetap terkungkung dalam konsep memperjuangkan umat Islam saja secara eksklusif maka akan sulit untuk mendapatkan simpati rakyat yang lebih luas. Meskipun mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, namun sejak Indonesia merdeka terbukti bahwa karakter umum keberpihakan umat Islam Indonesia adalah lebih kepada harmonisasi hubungan sosial dan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan yang adil merata, serta bukan kepada politik Islam.

Mayoritas umat Islam di Indonesia dalam sejarah dunia Islam adalah umat yang paling pandai menahan diri dan sangat toleran. Hanya sebagian kecil dari umat Islam yang mengatasnamakan agama pernah tidak lagi dapat menahan diri dan melakukan usaha mendirikan negara Islam seperti kelompok Darul Islam dan Negara Islam Indonesia. Kemudian ada juga yang terjebak dalam konsep terorisme seperti Jemaah Islamiyah dan berbagai metamorfosanya. Sementara pada level yang lebih damai adalah yang memperjuangkan Syariat Islam melalui gerakan sosial perubahan serta politik. Apakah semuanya radikal? Radikal adalah label untuk membungkam atau menyadarkan kembali mereka yang mempertajam konflik perbedan ke level kekerasan atau pencapaian tujuan politik melalui kekerasan.

Mereka yang memaksakan kehendak dan keyakinan melalui kekerasan jelas tidak toleran, namun apakah mereka yang menyampaikan aspirasi melalui aksi massa juga tidak toleran? Hal ini perlu diteliti terlebih dahulu.

Apa yang sedang terjadi di Indonesia belakangan ini, baik kasus-kasus yang bernuansa SARA dengan berbagai berita bohong (hoax), penajaman perbedaan, kampaye penghormatan kepada perbedaan, sikap saling menyerang, serta berbagai polemik perbedaan sikap dalam kasus Ahok bukan soal toleransi ataupun label politik radikal. Semuanya adalah pertarungan murni politik yang mengambil jubah SARA, toleransi-intoleransi, bhinneka tunggal ika, pembunuhan karakter, fitnah, saling meng-inteli, untuk KEKUASAAN. Iya benar, semuanya adalah bagian dari pertarungan POLITIK KEKUASAAN yang uniknya agak keluar koridor demokrasi dengan berbagai dinamika strategi yang apabila dibiarkan terus akan semakin tajam menuju konflik terbuka atau menuju kepada power abuse yang pada gilirannya akan merusak demokrasi yang telah dibangun hampir 20 tahun ini.

Kepada berbagai pihak yang sedang bertarung mempraktekkan keahliannya dalam propaganda, keahlian dalam cipta kondisi, keahlian dalam manipulasi hukum, keahlian dalam rekayasa kasus, keahlian dalam kriminalisasi, sadarlah bahwa masyarakat tidak menghendaki terciptanya kondisi yang membingungkan itu semua. Demokrasi adalah kesepakatan kita bersama dalam membangun Indonesia, memilih pemimpin, dan mensejahterakan rakyat. Marilah kita bangun budaya demokrasi yang sesungguhnya dan jangan dirusak dengan berbagai manipulasi demi tercapainya kursi kekuasaan, semoga anda semua yang sedang aktif terlibat membaca artikel ini, kemudian berkenan berpikir ulang serta berpihak kepada kepentingan rakyat daripada kepentingan kelompok atau golongan.

Salam Waskita
Salam Intelijen
Dharma Bhakti 


Read More »
19.24 | 0 komentar