Dengan menuliskan artikel ini, Blog I-I hanya bermaksud meluruskan pandangan para pemimpin bangsa Indonesia, pimpinan umat Islam, pimpinan partai politik, pimpinan ormas agama maupun non agama, dan juga pastinya pimpinan intelijen. Mohon dibaca baik-baik dan dicerna secara hati-hati agar tidak menimbulkan kesalahpahaman yang berlebihan.
Artikel ini merupakan gabungan dari informasi jaringan Blog I-I di Indonesia dan seluruh dunia yang merasa prihatin dengan kinerja intelijen yang terpaku pada kulit persoalan yang tampak sebagai pertarungan politik, padahal pokok persoalannya adalah sangat sederhana yakni "ketersinggungan" dan "kemarahan" umat Islam yang tersebar merata di seluruh nusantara ketika terjadi peristiwa yang diterjemahkan oleh sebagian besar umat Islam sebagai penistaan agama oleh salah seorang calon gubernur Jakarta.
Saya mohon komunitas intelijen resmi tidak tersinggung apalagi marah-marah karena artikel ini hanyalah alternatif analisa intelijen yang berdiri di atas semua golongan dan hanya bekerja sungguh-sungguh untuk bangsa dan negara Indonesia. Blog I-I sudah bertahun-tahun bahu membahu dengan komunitas intelijen Indonesia melalui dunia cyber dalam dinamika yang naik turun, kritis, beberapa kali juga telah diserang habis-habisan sampai sempat mati untuk beberapa waktu. Kebenaran akan tetap benar, niat baik akan menghasilkan kebaikan, tidak ada tujuan lain dari artikel ini selain untuk kebaikan bangsa dan negara agar intelijen tidak semakin kedodoran dari waktu ke waktu.
Politik, Agama, dan Intelijen
Hubungan Agama dan Negara di Indonesia telah lama selesai yakni sejak deklarasi kemerdekaan dengan kesepakatan sistem negara Republik Indonesia dengan dasar negara Pancasila yang dijiwai oleh nilai-nilai religi yang dianut bangsa Indonesia yang tercermin dalam Ketuhanan Yang Maha Esa dimana dapat diterjemahkan sebagai bangsa yang mengimani adanya Tuhan yang satu sesuai keyakinan agama masing-masing. Kesepakatan tersebut beberapa kali dirongrong oleh keinginan merubah bentuk negara, misalnya gerakan Darul Islam pada periode awal kemerdekaan hingga awal tahun 1960-an. Cita-cita Negara Islam tersebut masih menjadi "harapan" sebagian kecil umat Islam yang meyakini pendirian Negara Islam sebagai bagian dari kewajiban umat Islam. Namun mayoritas umat Islam Indonesia melihat bentuk negara dari sisi kemaslahatan dan kerahmataan dalam damai dengan "mengalah" kepada sistem politik berdasarkan Pancasila dan pemilihan pemimpinan nasional dan daerah melalui pemilu yang mana bungkus besarnya adalah demokrasi. Sebagai contoh, NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi Islam terbesar Indonesia yang sejak kemerdekaan berkompromi dengan berbagai elemen bangsa lainnya demi bangsa Indonesia menanggalkan cita-cita Negara Islam dan meyakini bahwa pilihan Republik Indonesia adalah yang terbaik karena pluralitas bangsa Indonesia.
Jihad harus diakui sebagai kewajiban seorang Muslim dalam menjalani hidupnya, sehingga menjadi daya panggil yang sangat efektif kepada setiap Muslim dimanapun di dunia ketika terjadi penindasan, penghinaan, atau hal-hal lain yang dianggap mengganggu Islam. Namun harus diakui pula bahwa Islam dan umat Muslim tidaklah dominan dalam mewarnai dinamika kekuatan dunia karena kekuatan politik, ekonomi, dan militer abad ini dikuasai oleh Barat (baik kubu AS maupun Rusia) dan China. Situasi inferior global tersebut menciptakan terpendamnya harapan atau cita-cita kejayaan Islam sebagai way of life, sehingga sebagian umat berada dalam keadaan frustasi tidak berdaya. Tidaklah mengherankan bahwa pola internasionalisasi perjuangan Islam dengan kekerasan model Al Qaeda dan Islamic State sangat cepat menarik perhatian bagaikan jalan pintas menuju surga yang mulia dengan berjihad. Hal ini juga terjadi di Indonesia, dan jangan diremehkan bahwa hal ini bukan masalah jumlah dan kekuatan mereka, melainkan lebih kepada ide yang terus hidup sepanjang lahannya subur seperti ketidakadilan terhadap umat Islam.
Politik Indonesia sejak kemerdekaan selalu diwarnai oleh "kecurigaan" dalam kompetisi kekuasaaan yang pada level tertentu menjadi konflik berdarah yang bahkan menyebabkan pergantian rezim seperti pada era Orde Lama dan Orde Baru. 32 tahun Pemerintahan Orde Baru dapat berjalan relatif stabil karena peranan strategis Intelijen dan ABRI dimana Polisi masih menjadi bagian dari ABRI atau TNI. Era Reformasi merupakan era baru yang menjanjikan penyelenggaraan negara yang lebih stabil dengan pemilu yang menjadi mekanisme dalam memilih pimpinan nasional. Namun demikian sikap dan karakter saling "curiga" tersebut masih tetap menghantui perjalanan politik nasional, sehingga sepanjang perjalanan pimpinan nasional pada era reformasi hampir selalu diganggu oleh "ancaman-ancaman" penggulingan, makar atau impeachment. Selain itu, Intelijen, TNI, dan Polri tidak lagi dapat melakukan hal-hal sebagaimana di era Orde Baru, sehingga transparansi dan profesionalisme menjadi kunci sukses tiga lembaga keamanan tersebut dalam mengawal perjalanan politik bangsa Indonesia dengan satu-satunya aturan main yakni demokrasi.
Sikap "kurang dewasa" dalam berpolitik, pemaksaan kehendak, tidak dapat menerima kenyataan merupakan hal yang sering kita temui dalam pelaksanaan pesta demokrasi baik pada level daerah maupun nasional. Untuk level nasional telah jauh lebih baik dan menjanjikan masa depan Indonesia yang semakin baik dalam berpolitik. Namun pada level daerah kita masih menemukan sejumlah insiden yang mencerminkan adanya sikap-sikap kurang dewasa tersebut. Berangkat dari sikap kurang dewasa tersebut, pada sisi yang sedang berkuasa seringkali lahir perasaan "tidak aman" karena merasa ada "sesuatu" yang bergerak yang dapat menjatuhkannya dari kekuasaan. Keadaan-keadaan tersebutlah yang seharusnya dijaga dari ketergelinciran menuju pada konflik yang lebih dalam. Sehingga peranan informasi intelijen dan analisanya yang disajikan kepada Penguasa baik pada level nasional maupun daerah menjadi sangat vital. Dalam kaitan itu, peranan informasi intelijen bagaikan angin sejuk ataupun angin panas yang mampu membakar Indonesia Raya.
Intelijen
Contoh sederhana blunder intelijen dalam kegaduhan kasus "penistaan agama" baru-baru ini adalah misalnya konsentrasi yang berlebihan pada jumlah peserta demonstrasi dan "kecurigaan" kepada aktor intelektual penunggang demonstrasi. Deteksi dini, pencegahan dini, cipta kondisi seluruhnya dapat dikatakan gagal karena ketidakmengertian pada pokok persoalan yang dihadapi. Akhirnya intelijen bagaikan petugas penghitung jumlah peserta demonstrasi yang sayangnya juga perkiraannya sangat jauh dari kenyataan. Bagaimana dengan analisa intelijen? Entahlah....tetapi dari apa yang disampaikan oleh President Jokowi dan mengapa Presiden tidak menemui tokoh-tokoh utama demonstrasi mencerminkan lemahnya analisa dalam menentukan langkah-langkah yang efektif dalam pencegahan.
Pokok persoalan "penistaan agama" yang ramai tersebut dapat dikatakan murni kemarahan umat, terlepas dari pendapat ahli agama, ahli bahasa, ahli politik, pelaku penistaan, dan pelapor penistaan. Mengapa ratusan ribu orang mau bergerak dan jutaan umat Islam mengamati dalam sikap moderatnya adalah karena apa yang diserap dari insiden pernyataan blunder terkait ajaran dalam kitab suci Al Quran tidak lain tidak bukan karena panggilan jihad tanpa kekerasan.
Sementara apa yang disebut sebagai kegiatan menunggangi demonstrasi umat Islam untuk kepentingan politik kekuasaan adalah keniscayaan pemanfaatan situasi. Hal itu juga wajar sebagai apa yang disebut sebagai bertemunya kepentingan yang meskipun berbeda namun menyasar target yang sama. Seluruh tokoh-tokoh politik yang hadir maupun terlibat secara langsung maupun tidak langsung telah lengkap dimiliki komunitas Blog I-I, mungkin Intelijen resmi juga punya. Analisa Blog I-I menunjukkan bahwa tidak ada satupun indikasi yang mengarah kepada apa yang disebut sebagai upaya makar atau menjatuhkan Presiden Jokowi. Apa yang kemarin dulu meluap terjadi menjadi kemarahan kepada Presiden Jokowi adalah bahwa pimpinan ormas Islam dan mereka yang dianggap sebagai aktor tersebut juga memiliki informasi tentang "sikap awal" Presiden Jokowi terhadap cagub yang dituduh menistakan agama tersebut. Bahkan sang cagub dalam wawancara berbahasa Inggris dengan ABC yang juga telah viral melalui media sosial berani menyatakan bahwa dirinya yakin apa yang terjadi terhadapnya adalah politis dan bukan hukum sehingga harus melalui pengadilan untuk membuktikan. Lebih jauh sang cagub juga menyatakan bahwa Presiden juga tahu dari intelijen. Alasannya adalah bahwa tidak mudah menggerakan 100 ribu orang dengan tuduhan tambahan bahwa sebagian besar mereka (demonstrans) bila melihat kepada pemberitaan, menerima uang sebesar 500 ribu rupiah. Perhatikan betapa berbahayanya informasi intelijen seandainya itu benar maupun tidak benar, tidak seharusnya informasi tersebut menjadi bahasan publik melainkan berada diruang tertutup analisa strategis bagaimana mengamankan perjalanan bangsa Indonesia dan bukan terlibat dalam politik kekuasaan.
Pada tanggal 16-17 November 2016 kembali muncul berita simpang siur tentang hasil rapat komunitas intelijen pusat yang telah dibantah oleh Deputi VI BIN melalui press release yang sayangnya secara agak sembrono menilai situasi dan kondisi politik saat ini dipengaruhi oleh eforia proses hukum atas cagub yang dituduhkan melakukan penistaan agama. Siapa yang eforia? Apakah umat Islam merasakan eforia yang dapat diterjemahkan sebagai kebahagiaan luar biasa (intense exitement or happiness), Blog I-I menilai hal tersebut kurang bijaksana. Kemudian kasus tersebarluasnya poin-poin "kebocoran" hasil rapat Kominpus yang dipimpin oleh Kepala BIN yang beredar begitu cepat melalui media sosial terlepas dari benar tidaknya isi bocoran tersebut mencerminkan adanya suatu dinamika yang agak aneh di dalam komunitas intelijen Indonesia selama beberapa tahun belakangan ini. Intelijen ketika tidak mampu menjaga rahasia adalah bukan intelijen. Intelijen ketika diisi terlalu banyak oleh bukan orang Intel akan membusuk. Intelijen ketika bersandar pada tenaga analis dari luar intelijen hasilnya bukan lagi analisa intelijen. Tidak ada intelijen di dunia yang membiarkan orang umum masuk melenggang menduduki posisi penting sebagai apa yang disebut sebagai Dewan Analis, Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan, Staf Khusus, Staf Ahli Khusus, dan apapun namanya. Komunitas Blog I-I sudah bosan mengingatkan bahaya seleksi terhadap orang-orang umum pada posisi tersebut harus sangat-sangat selektif dan teliti bila perlu dibubarkan saja karena manfaatnya yg sangat kecil. Hal itu tentunya dengan pengecualian yg mendapat kepercayaan pimpinan intelijen dan terbukti loyal. Kemudian jangan lupa bahwa BIN juga telah memelihara alumni-alumni diklat Moskow yang satu atau dua orang telah direkrut FSB dan kemungkinan sudah mulai bergerak menciptakan kebingungan dengan sejumlah kebocoran-kebocoran informasi guna melemahkan komunitas intelijen resmi. Selain itu juga, tentunya kecerobohan yang dapat menimpa siapapun dengan mengirimkan informasi melalui aplikasi di handphone dan komunitas intelijen pusat terdiri dari berbagai institusi keamanan yang memiliki intelijen. Sungguh sangat sulit, apabila kasus demi kasus kebocoran tersebut tidak segera diselidiki dan ditindak. Puluhan tahun Blog I-I menuliskan artikel, belum pernah satu kalipun mengungkapkan fakta-fakta yang dapat dilihat sebagai dokumen resmi negara ataupun kebocoran. Apa yang Blog I-I sampaikan adalah analisa semata.
Apa yang sedang dialami intelijen resmi Indonesia adalah semacam peringatan bahwa seluruh langkah pimpinan intelijen diawasi secara ketat dan dibocorkan, mengerikan bukan? Apakah hal itu tidak terbalik? Pimpinan intelijen harus berani mengambil langkah tegas untuk "menyingkirkan" pihak-pihak yang menggerogoti kewibawaan intelijen Indonesia. Mohon maaf kepada siapapun anda intel resmi yang coba-coba bermain-main dengan api, hentikanlah permainan dan konsentrasilah kepada tanggung jawab pekerjaan bagaimana memelihara keamanan nasional Indonesia.
Analisa Blog I-I berdasarkan pemberitaan media massa: gambar sederhana yang seolah menjadi rumit dan mengerikan
Apa yang terjadi dengan kasus "penistaan agama" oleh salah seorang cagub DKI adalah sangat sederhana dan kecil, namun berkembang seolah menjadi besar, rumit dan mengerikan. Mengapa demikian?
Pertama, pokok persoalan kasus "penistaan agama" adalah pernyataan seseorang (terlapor) yang dapat diterjemahkan sebagai "penistaan agama" oleh orang lain (pelapor). Pernyataan seseorang tersebut bukan satu kali, melainkan dua kali yakni pertama yakni setelah pendaftaran sebagai cagub-wagub DKI di KPU (Baca: Diduga Lecehkan Agama, Advokat Seret Ahok ke Bawaslu dan Ahok dilaporkan, KPU DKI Tunggu Informasi Bawaslu). Pernyataan kedua terjadi di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 dengan bukti rekaman video. Paska pernyataan kedua tersebutlah terjadi akumulasi "ketersinggungan" sebagian besar umat Islam dari berbagai spektrum baik radikal maupun moderat. Sesungguhnya ketersinggungan tersebut dapat segera diatasi seandainya pihak terlapor sungguh-sungguh tulus menyampaikan permohonan maaf tanpa ada kesan merasa tidak salah. Namun sayangnya karena terlapor memang benar-benar merasa tidak salah karena keyakinannya, maka terjadi proses "perluasan dan pembesaran" kasus tersebut yang dipercepat oleh media sosial. Kesimpulannya adalah bahwa tidak ada titik temu pokok persoalan dimana para pelapor menganggap sang cagub melakukan "penistaan agama" sementara terlapor sangat yakin bahwa dirinya tidak melakukan "penistaan agama". Dengan demikian, jalan keluarnya hanya melalui proses hukum di Kepolisian, Kejaksaan dan terakhir proses pengadilan.
Kedua, tentang politisasi karena dikaitkan dengan pilkada DKI Jakarta dan pertarungan menuju Pilpres 2019 melalui simbolisme penguasaan kekuatan politik di Ibukota. Karena terlapor kasus "penistaan agama" adalah salah seorang calon gubernur dukungan partai penguasa, maka sangat lumrah apabila tercipta suatu hubungan dengan politik. Bahkan dalam sistem demokrasi di seluruh dunia yang mempraktekan demokrasi, apa yang sering terjadi dengan salah omong, slip tongue, blunder speech, pernyataan kontroversial, dan berbagai hal yang bersumber dari perilaku seorang calon pemimpin akan dieksploitasi oleh pihak-pihak yang menjadi lawan politik. Sangat naif apabila kompetisi politik tidak memanfaatkan kekeliruan lawan politiknya. Namun dalam berbagai kasus, teknik dan strategi pemanfaatan kelemahan lawan juga seringkali menjadi senjata makan tuan, sehingga diperlukan strategi yang tepat. Kewajaran pemanfaatan politik dari sebuah blunder lawan politik tentunya memiliki batasan kewajaran. Misalnya melakukan aksi terbuka bergabung dengan demonstrasi adalah sangat wajar dan sering dilakukan di berbagai negara demokrasi. Dalam kaitan ini, media massa telah merekam baik bagaimana sejumlah tokoh politik ikut serta dalam demonstrasi besar tanggal 4 November 2016. Blog I-I juga mencatat sejumlah informasi menarik dimana beberapa elemen Islam Garis Keras juga turun dalam aksi demonstrasi damai dan tidak terlibat kerusuhan. Selain itu, juga sejumlah petinggi partai yang tidak terekam media massa juga tercatat dalam pantauan Blog I-I. Semua itu masih wajar sebagaimana juga kewajaran pidato Presiden RI ke-6, SBY pada 2 November 2016. Apa yang disampaikan oleh SBY tersebut dengan sangat tepat menyinggung laporan ngawur intelijen, intelligence failure dan intelligence error. Hal ini semata karena intelijen tidak dapat membedakan kewajaran dinamika politik dan masalah keamanan nasional.
Sementara yang kurang wajar adalah ketika pemanfaatan blunder lawan politik dikemas dalam strategi yang mengarah pada provokasi kekerasan atau kerusuhan massal dan hal ini jelas sudah melanggar hukum dan harus diproses secara hukum pula. Konsentrasi polisi sudah tepat kepada para pelaku kerusuhan, di masa mendatang Polisi harus mengembangkan sistem monitoring yang lebih detil dengan memasang kamera sebanyak-banyaknya bila perlu melekat pada tubuh polisi sebagaimana dilakukan di negara-negara maju.
Politisasi kasus penistaan agama tidaklah terhindarkan baik oleh penguasa maupun oleh lawan politik, batasannya terletak pada kewajaran yakni tidak adanya intervensi politik terhadap proses hukum dan tidak adanya provokasi kekerasan dan kerusuhan, apalagi mengarah kepada makar yang tidak konstitusional. Apapun alasannya tidak cukup untuk menjatuhkan Presiden Jokowi, sehingga Presiden tidak perlu khawatir atau merasa terancam dari berbagai dinamika "ancaman" yang simpang siur di dunia media sosial. Dalam kaitan ini perhatikan analisa singkat pada Kompasiana yakni: Untuk Negara: Jangan Coba-coba Membangun Logika Bumerang. Analisa yang tampak sederhana tersebut sangat paham permainan kata, kemungkinan penulisnya seorang yang mendalami semantik bahasa dan barangkali menguasai lebih dari dua bahasa. Meskipun judulnya ditujukan kepada negara, namun isinya menyamping kepada pendukung cagub yang dituduh sebagai "penista agama". Kesimpulan penulis tentang proses politik dalam gelar perkara kasus "penistaan agama" sangat menarik karena tampak dibalik tulisan singkat terdapat pengetahuan yang dalam tentang bagaimana sebuah proses politik bergerak, walaupun tidak dinyatakan secara tegas.
Ketiga, kasus "penistaan agama" menjadi semakin besar dan rumit seiring dengan kerusuhan kecil paska demonstrasi tanggal 4 bulan November 2016 yang terjadi pada malam hari. Dalam teknik sabotase intelijen dan covert action, jelas apa yang terjadi pada malam hari tersebut adalah sebuah setting uji coba, saya ulangi setting uji coba. Bukan menggunakan teknik membakar jerami kering dan bukan pula menggunakan teknik conditioning umat Islam untuk melakukan kekerasan. Apa yang terjadi adalah penyusupan sejumlah pelaku sabotase, khususnya yang melakukan pembakaran mobil polisi dan penjarahan di penjaringan. Apabila pelaku sabotase adalah profesional atau minimal pernah menjadi intelijen baik militer maupun sipil, maka tidak akan dapat terungkap. Mereka yang sekarang ditangkap Polisi bahkan akan bingung karena digerakkan tanpa tahu siapa yang menggerakkan, demikianlah dahsyatnya apabila seseorang yang memiliki ilmu dan pengalaman intelijen melakukan tindakan. Hal ini mengingatkan kita kepada peristiwa Mei 1998 yang dari kacamata teori sabotase dan covert action merupakan sukses besar menggulingkan Presiden Suharto sekaligus mengkambinghitamkan Prabowo. Sekali tepuk dua gajah ambruk dan hancur, siapa aktornya tentunya seseorang yang memiliki skill intelijen sangat tinggi dan sangat sakit hati kepada Presiden Suharto dan musuh dari Prabowo. Kembali kepada kerusuhan kecil malam hari 4 November, mengapa saya katakan kecil? Karena memang settingnya uji coba dan bukan sungguh-sungguh membakar Indonesia Raya. Tidakkah anda heran mengapa propaganda damai menjadi sangat gencar, padahal pokok persoalannya sangat sederhana seperti pada poin pertama. Hal ini karena setiap insan intelijen terlatih sudah memiliki informasi dan mampu memperkirakan perkembangan yang akan terjadi di masa mendatang. Artinya pengungkit masalah yakni "penistaan agama" belum cukup besar, tetapi lumayan sebagai pemicu awal. Beruntung bahwa kondisi kelompok Islam radikal saat ini cukup lemah sehingga dampak lanjutan berupa konflik horisontal diperkirakan hanya akan terjadi secara sporadis sebagaimana Bom molotov Samarinda yang memakan satu korban jiwa anak-anak yang tidak berdosa dan beberapa yang mengalami luka bakar.
Analisa Blog I-I mengindikasikan bahwa kasus "penistaan agama" masih akan panjang dan keras dengan berbagai potensi politisasi yang liar berkembang. Perkiraan Blog I-I ini bukan untuk mengurangi makna propaganda Indonesia Damai Bersatu, melainkan membuka mata telinga kita semua tentang pentingnya berpikir berdasarkan prioritas, kalkulasi untung rugi, dan perhitungan strategi yang matang. Bangsa Indonesia harus melihat realitas gerak sosial politik yang terjadi dari kasus "penistaan agama". Artinya harus kembali kepada poin pertama tentang kasus sederhana "penistaan agama" guna menutup pemanfaatan kasus tersebut untuk hal-hal yang lebih membahayakan stabilitas keamanan nasional.
Keempat, pertemuan canggung antara Presiden Jokowi dan Prabowo sebanyak dua kali baru-baru ini mungkin dapat dilihat sebagai simbol bahwa lawan politik terberat Presiden sekalipun memiliki hubungan baik. Pertemuan tersebut juga memberikan angin sejuk damai sebagaimana rangkaian propaganda Indonesia Damai Bersatu yang gencar belakangan ini. Mengapa saya katakan canggung? Komunitas Blog I-I bukan peramal dan bukan paranormal, tetapi bekerja berdasarkan fakta dalam membaca suasana kebathinan pertemuan baik di Hambalang maupun di Istana Negara. Intelijen yang terlatih dalam membaca gejala baik dari isi pertemuan, raut muka, pancaran aura, segala perilaku segera dapat menyimpulkan adanya gejala kecanggungan. Silahkan anda cross check langsung kepada Presiden maupun Prabowo, bila Blog I-I salah membaca, siap minta maaf yang sebesar-besarnya. Ingat, apa yang Blog I-I sampaikan ini hanya opini dan bukan fakta. Meskipun hal ini juga semakin memberikan kesan adanya sesuatu yang sangat "urgent" dan betapapun canggungnya pertemuan tersebut, kita perlu memberikan apresiasi yang tinggi kepada dua tokoh nasional tersebut dalam mengupayakan pemeliharaan situasi damai dan bersatu demi Indonesia Raya.
Kelima, pemberitaan nasional dan internasional merupakan puncak dari pembesaran kasus sederhana "penistaan agama". Dalam bahasa media asing muncul berbagai penegasan tentang aspek tersangka penista agama yang Christian dan Chinese ethnic minority, aspek hardline Muslim group, a vigilante group, imposing syariah law, Indonesia's reputation for religious tolerance, radical Islamists, bahkan organisasi HAM internasional seperti Amnesty International mendesak agar kasus "penistaan agama" tersebut dihentikan dan peraturan tentang penistaan agama dicabut. Lengkap sudah bagaimana sebuah kasus sederhana "penistaan agama" menjadi isu hangat baik pada level nasional maupun internasional.
Lima poin tersebut diatas menggambarkan bagaimana persoalan sederhana menjadi tampak rumit, besar, dan mengerikan.
Perkiraan Blog I-I
Polisi ingin secepat-cepat melempar bola panas kasus "penistaan agama" ke Kejaksaan, dan Kejaksaan juga akan bekerja cepat untuk segera menyerahkan keputusan final kasus tersebut di tangan dewan Hakim di pengadilan. Berapa lama? akan lebih dari satu bulan seluruhnya hingga pengadilan. Proses di pengadilan itu sendiri juga akan menyita waktu yang belum dapat diketahui berapa lama tergantung kepada kesiapan Kejaksaan dan Kehebatan Tim Pembela tersangka. Dengan tidak adanya Praperadilan dalam kasus dugaan penistaan agama, maka proses akan semakin cepat. Hal ini diperkirakan karena status tersangka tidak menghalangi kampanye pilkada sesuai ketentuan. Walaupun kemungkinannya semakin mengecil, akan menjadi sangat monumental seandainya cagub tersangka dapat memenangkan pilkada DKI Jakarta. Namun hal ini juga yang akan terus diawasi oleh para demonstran yang tidak menghendaki pemimpin yang memiliki catatan pernah melakukan "penistaan agama". Jangan lupa bahwa politisasi adalah hal yang lumrah terjadi dan bukan suatu pelanggaran hukum sepanjang dilakukan dalam koridor hukum.
Presiden Jokowi sudah secara terang-terangan meninggalkan cagub tersangka "penista agama" dan mengambil posisi sebagai pemimpin nasional yang adil dengan tidak melakukan intervensi terhadap proses hukum dan mendorong proses hukum yang sesuai.
Apa yang akan terjadi di masa mendatang tidak dapat dipastikan oleh manusia yang terbatas penglihatannya. Namun dari indikasi-indikasi yang ada sejak September 2016 hingga saat artikel ini ditulis, maka kita akan menyaksikan lanjutan dari persoalan sederhana kasus dugaan "penistaan agama" apakah akan semakin rumit , besar dan mengerikan, ataukah dapat berproses secara sederhana di pengadilan? Pilihan yang logis adalah proses sederhana yang relatif murah, damai dan bermartabat. Hal ini akan sangat tergantung kepada bagaimana tersangka menyikapi kasusnya apakah ingin membesarkannya sehingga memberikan ruang dan amunis kepada lawan politik Presiden Jokowi, ataukah secara wajar melakukan pembelaan diri sesuai dengan ketentuan hukum dan fakta-fakta hukum yang meringankan dirinya. Dengan kata lain, bila anda ingin melihat bagaimana kasus ini akan bergulir, perhatikan langkah dari sang tersangka dan pendukungnya, serta kartu truf apa yang dimiliki tersangka untuk dapat menyelamatkan dirinya. Sementara itu, pihak pelapor baik yang turun demonstrasi maupun tidak akan mengambil posisi menunggu dan menyiapkan respon. Kemudian para penunggang gelap baik yang suka sabotase atau sekedar politik, juga akan terus mengawasi kemungkinan untuk masuk.
Semoga tulisan ini tidak semakin memaskan situasi, melainkan dapat mebuka mata dan hati kita untuk berpikir rasional dan bersikap lebih proporsional. Perhatikan bahwa konflik bernuansa agama merupakan salah satu sumber dari radikalisme kekerasan agama sebagaimana analisa artikel tentang Islamic Radical Ideology ini. Jangan membuka ruang dan kesempatan untuk suburnya radikalisme agama karena masalah sederhana dibikin rumit dan besar dan mengerikan.
Salam Intelijen
Senopati Wirang
Kamis, 17 November 2016
Politik, Agama, dan Intelijen
Label:
Agama,
Intelijen,
penistaan agama,
Pilkada DKI Jakarta,
Politik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar