Kamis, 24 Desember 2015

Bisnis Terorisme

Di hari perayaan Natal serta sebelumnya Maulid Nabi Muhammad SAW, komunitas Blog I-I menyampaikan ucapan selamat merayakan kepada sahabat Blog I-I yang merayakannya. Sungguh sayang karena liburan akhir tahun 2015 dan menjelang tahun baru 2016 ini, bangsa Indonesia dibayang-bayangi oleh ancaman terorisme. Sungguh juga sangat disayangkan bahwa negara tetangga Australia juga menambahkan bobot ancaman tersebut dengan gosip ISIS incar Indonesia. Sebuah gosip tidak bermutu yang telah dipahami dengan baik oleh aparat keamanan Indonesia. Mohon maaf sebelumnya bila suasana liburan ini kurang tepat diisi dengan artikel tentang terorisme ini. Namun karena panggilan hati nurani dan informasi dari beberapa pihak di Kepolisian dan komunitas Intelijen yang berhati tulus, maka terpaksa artikel ini dituliskan.


Sungguh terang benderang bahwa untuk melumpuhkan gerombolan Santoso di hutan di Poso sebenarnya dapat dilakukan dengan cepat melalui pengerahan pasukan TNI bekerjasama dengan Polri. Saat ini konon kabarnya 1300 aparat Polisi yang sedang mengejar sekitar 40 orang pengikut Santoso dan korban di pihak Polri telah berjatuhan. Ada apa sebenarnya? Apakah aparat keamanan Indonesia tidak becus? atauhkan sengaja mengulur-ulur waktu demi sokongan dana operasi anti terorisme atau dengan kata lain membisniskan terorisme seperti dalam kasus bisnis separatisme? Pernyataan ini memang bernada tuduhan, namun hakikatnya bukan demikian melainkan sebuah introspeksi agar kejujuran dalam melindungi rakyat dan bangsa Indonesia sungguh-sungguh dilaksanakan. 

Sekali lagi dengan perbandingan Perancis paska Bom Paris, seluruh elemen aparat keamanan Intelijen, Polisi, dan Tentara turun tangan dan segera sejumlah jaringan terungkap, tertangkap, dan terbunuh, dan Paris-pun pulih dan lumayan lebih tenang. Polri telah memburu gerombolan Santoso sejak Oktober 2012 sebagaimana diungkapkan mantan Kepala BNPT Ansyaad Mbai. tiga tahun lebih belum juga beres, entah sudah berapa rupiah uang pajak rakyat dihabiskan untuk operasi-operasi setengah hati tersebut. Operasi menangkap dan membunuh Osama Bin Laden yang dilakukan oleh AS dan sekutunya memang juga terjadi bertahun-tahun, namun hal itu terjadi karena perimeter lokasi persembunyian Osama Bin Laden yang sangat luas. Sementara perimeter lokasi persembunyian Santoso sepertinya jauh lebih sempit dan muncul pertanyaan bagaimana gerombolan Santoso dapat memperoleh dukungan survival logistik selama tiga tahun di hutan? Benar bahwa hutan-hutan di Indonesia kaya dengan flora fauna yang dapat dimakan dan air juga mudah diperoleh, tetapi konyolnya akses kepada listrik minimal untuk charging kamera atau handphone untuk merekam video ancaman Santoso jelas berarti mengakses pedesaan dengan listrik yang terdekat dengan hutan, apakah 1300 apkam tersebut tidak mampu mengendus penyusupan anggota Santoso tersebut? 

Ketika TNI AD melakukan latihan tempur di hutan-hutan di Poso, pada sekitar April 2015 TNI AD menyatakan bahwa gerombolan Santoso sudah tidak berada di hutan-hutan Poso, melainkan diperkirakanbersembunyi di hutan-hutan sekitar kabupaten Parigi Moutong. Delapan bulan kemudian pada bulan Desember ini masih belum ada titik terang penangkapan gerombolan Santoso. Hal ini jelas tidak masuk akal dan operasi Polri sangat tidak efektif. Berbeda dengan kasus pengejaran tersangka teroris Dr. Azhari dan Noordin M. Top dahulu yang dikejar-kejar, dinamika pergerakannya lebih sulit karena berada di tengah-tengah masyarakat. Noordin M. Top misalnya baru setelah sekitar 4 tahun pengejaran intensif (2005-2009) akhirnya terbunuh dalam operasi keamanan Densus 88. Lama sekali ya? Iya karena sulit katanya?

Situasi terorisme saat ini sudah kembali mirip dengan periode 1970-80an dimana kelompok teroris eks Darul Islam seluruhnya telah terpetakan oleh intelijen dan keamanan, namun sengaja dipelihara untuk isu politik atau pengalihan perhatian publik. Apakah apkam saat ini kembali membisniskan terorisme ataukah profesionalismenya sangat rendah sehingga serangan demi serangan dapat terjadi di Indonesia sulit untuk dipastikan. Blog I-I hanya ingin menghimbau agar dana yang sangat besar dibiayai dari pajak rakyat dapat segera memberikan rasa tenang. Tanpa terorisme, apkam tidak akan memperoleh dana yang besar. Mohon maaf sekiranya ada yang tersinggung, tetapi perhatikan bahaya dari mengulur-ulur pemberantasan terorisme dimana bisa jadi serangan bom akan terjadi lagi dan memakan korban yang lebih banyak hanya karena bisnis anggaran terorisme yang menggiurkan.

Peringatan dari Australia, diperkirakan berdasarkan pada asumsi kurang seriusnya apkam Indonesia dalam mengambil langkah-langkah strategis pencegahan jangka panjang sehingga perlu "tekanan" adanya ancaman ISIS yang mengincar Indonesia. Tetapi Australia seperti menggonggong pada pohon yang salah karena apkam khususnya Polisi justru senang mendengar ancaman tersebut, sebagaimana respon Kapolri bahwa Polri siap menghancurkan berbagai aksi teror di tanah air. Silahkan bermain-main dengan api seperti ancaman kepada petinggi Polri, rakyat Indonesia adalah rakyat yang religius, klenik dan penuh dendam, terlebih bila dibohongi terus-menerus. Menggunakan uang pajak untuk penyelenggaraan keamanan negara dari ancaman terorisme sesuai dengan hak negara memonopoli penggunaan senjata untuk keamanan rakyat adalah sah-sah saja. Tetapi sedikit saja tersimpan niatan untuk bermalas-malas dan mengulur-ulur waktu operasi, walaupun tampak bukan sebagai tindak kejahatan korupsi, namun hakikatnya sangat mirip dengan korupsi yakni korupsi kejujuran, kesungguhan dan profesionalisme. Apabila hal ini tidak segera diperbaiki, Blog I-I berani memperkirakan bahwa apkam Indonesia akan kembali kecolongan.

Semoga apa yang Blog I-I tuliskan ini tidak benar adanya.

Salam Intelijen
SW

.

Read More »
18.04 | 0 komentar

Senin, 21 Desember 2015

Tentang Rencana Serangan Teror dan Ketidakikutsertaan Indonesia dalam Koalisi Negara Muslim

Sebagian komunitas Blog I-I menyampaikan pertanyaan dan permintaan klarifikasi apakah Blog I-I ada dibalik peningkatan pengamanan akhir tahun, khususnya perayaan Natal 2015 dan Tahun Baru 2016. Kemudian pertanyaan lainnya adalah mengenai penolakan Indonesia untuk berpartisipasi dalam Koalisi Pasukan Negara Muslim memerangi ISIS. Benar bahwa artikel Kewaspadaan Serangan ISIS ke Indonesia telah mempengaruhi seluruh analis komunitas intelijen resmi Indonesia, namun tidak benar bahwa apabila BIN, Polri, dan TNI meningkatkan kesiagaannya karena anjuran Blog I-I.
Perlu sahabat Blog I-I ketahui bahwa kinerja BIN, Polri, dan TNI dalam memberikan rasa aman kepada bangsa Indonesia dapat dikatakan sudah baik dengan berbagai operasi yang belakangan ini tampak secara efektif berhasil mencegah sejumlah rencana teror [sebagian besar belum menjadi konsumsi publik], dan juga sejumlah penangkapan oleh Polisi. Analisa Blog I-I dalam artikel Kewaspadaan Serangan ISIS ke Indonesia hanya merupakan kisi-kisi atau pedoman, namun bukti-bukti dan pengungkapan jaringan teror adalah hasil kerja keras BIN dan Polisi.

Meskipun sampai dengan hari ini sudah terungkap beberapa rencana teror yang berhasil digagalkan, namun Blog I-I menghimbau agar pengamatan/monitoring terhadap gerakan kelompok-kelompok yang potensial melakukan aksi teror semakin ditingkatkan lagi. Kepada seluruh jaringan Blog I-I di Indonesia diharapkan juga untuk mendorong masyarakat agar meningkatkan kewaspadaan dan segera melaporkan kepada aparat setempat baik Polisi maupun Kominda sekiranya mendeteksi adanya kejanggalan perilaku warganya. Diperkirakan potensi untuk terjadinya serangan teror antara tanggal 24 Desember 2015 sampai 1 Januari 2016 masih cukup tinggi, sehingga untuk menurunkan tingkat ancaman tersebut langkah BIN dan Polisi sudah sangat tepat yakni siaga satu. Akan semakin baik lagi apabila pada waktu-waktu pada tertentu diakhir tahun ini TNI juga dalam keadaan siap untuk langsung memberikan back-up sekiranya terjadi kecolongan serangan teror.

Dengan adanya operasi yang cukup masif dari Polisi dan BIN, potensi serangan teror akan beradaptasi kepada sasaran yang relatif "lemah" pengamanannya. Keterbatasan jumlah personil dan anggaran tentunya menyebabkan Polisi dan BIN tidak akan sanggup mengerahkan seluruh anggotanya ke setiap sudut lokasi yang berpotensi diserang, sehingga peranan satuan pengamanan (satpam), sistem keamanan warga, dan berbagai inisiatif sukarela dari ormas maupun kelompok masyarakat dapat semakin menekan tingkat ancaman, atau bahkan mampu mencegah eksekusi aksi teror. Seiring dengan berbagai upaya pengamanan tersebut, tentunya sebagai bangsa yang beragama janganlah lupa untuk berdoa untuk keamanan, kedamaian dan kesejahteraan nusantara.

Mengenai penolakan Indonesia dalam Koalisi Pasukan Negara-Negara Muslim memerangi ISIS, benar Blog I-I pernah menyampaikan bahwa ancaman ISIS terhadap Indonesia relatif rendah karena Indonesia tidak terlibat langsung dalam serangan militer terhadap ISIS, namun hal ini bukan cerminan "ketakutan" Indonesia untuk tidak berpartisipasi aktif dalam memerangi ISIS. Alasan bebas-aktif yang dikemukakan oleh Kemenlu RI cukup masuk akal secara normatif sesuai landasan politik luar negeri Indonesia yang tidak mau didikte oleh Arab Saudi. Selain itu, Kemenlu RI juga mengungkapkan alasan bahwa Indonesia hanya berpartisipasi dibawah bendera PBB. Sebuah posisi yang cukup strategis dalam politik luar negeri "cari aman" sesuai karakter kebanyakan elit politik Indonesia.

Politik Luar Negeri "Cari Aman" tersebut bukan sebuah sindiran, tetapi sebuah kondisi obyektif karakter elit politik Indonesia yang telah melakukan kalkulasi berdasarkan kepada berbagai pertimbangan antara lain:
  1. Prinsip Bebas dan Aktif, artinya Indonesia tidak dapat dipengaruhi oleh kepentingan asing dalam menentukan sikapnya. Keikutsertaan Indonesia memiliki arti yang sangat penting dalam koalisi Islam memerangi ISIS, namun karena "prinsip yang kaku" dengan berpusat kepada PBB menyebabkan Indonesia menjadi negara yang tidak mengenal aliansi militer, yang dikenal hanya kerjasama dan latihan bersama. Hal ini akan diingat oleh 34 negara Islam yang bergabung dalam koalisi tersebut. Dua negara berpenduduk Islam yang besar yakni Indonesia dan Iran tidak bergabung karena kondisi obyektif yang berbeda. Iran yang memiliki kepentingan geopolitik dan berpihak kepada rejim Assad di Suriah secara politis menyatakan ingin bergabung namun "tidak dapat" terwujud karena fakta obyektif faktor geopolitik tersebut, termasuk dalam konflik di Lebanon, Yaman dan masalah kelompok Hezbollah. Sebenarnya Iran sudah tahu akan ditolak/dihambat untuk bergabung, namun perlu mengeluarkan retorika politik ingin bergabung.
  2. Dengan menolak masuk dalam Koalisi Islam memerangi ISIS tersebut, Indonesia juga terhindar dari konflik langsung dengan ISIS dan simpatisannya, sehingga secara teori potensi serangan balas dendam kepada Indonesia melalui jaringan internasional ISIS juga dapat dikatakan rendah bila dibandingkan dengan negara-negara yang bergabung dalam koalisi tersebut. 
  3. Dengan menghindari koalisi Islam memerangi ISIS, Indonesia juga memberikan nafas lega kepada kaum Shiah Indonesia dan juga Iran karena koalisi Islam tersebut menjadi sedikit cacat tanpa Indonesia. Kekhawatiran Indonesia terhadap koalisi pimpinan Arab Saudi juga berangkat dari kasus konflik perang saudara Sunni-Shiah di Yaman, dimana Indonesia sebagai negara demokrasi harus mengayomi seluruh golongan termasuk kaum Shiah.
  4. Indonesia juga beralasan punya cara sendiri dalam memerangi terorisme dan tidak dengan cara militer, melainkan dengan cara pendidikan, dakwah, meningkatkan perekonomian serta keadilan sebagai mana disampaikan oleh Wapres Jusuf Kalla
  5. Dalam teori militer, alasan-alasan Indonesia tersebut jelas jauh dari apa yang disebut sebagai center of gravity, namun dengan bertahan pada definisi aktif ikutserta menjaga ketertiban dunia hanya dalam payung PBB yang saat ini robek di sana-sini juga membatasi peran serta Indonesia, khususnya ketika secara faktual terjadi konflik diantara negara-negara besar pemegang veto. Dalam kasus ISIS terjadi polarisasi kubu AS yang anti rejim Assad dan kubu Rusia yang pro rejim Assad. Indonesia sesuai dengan sejarah sikapnya yang non-blok, kemudian berpikir lebih baik tidak ikut-ikutan.
Tidak ada soal benar salah dalam kebijakan penolakan Indonesia bergabung dengan koalisi Islam memerangi ISIS. Apa yang kemudian harus diperhatikan adalah konsekuensi lanjutan di masa mendatang. Sebenarnya banyak manfaat yang dapat diambil oleh militer Indonesia bila ikut bergabung dengan koalisi Islam memerangi ISIS, khususnya akses pada informasi tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Suriah dan Irak. Paska penolakan Indonesia tersebut, dapat dipastikan bahwa akses Kemenlu RI dengan para diplomatnya dapat dikatakan tertutup terhadap dinamika operasi militer dan rahasia-rahasia kalkulasi geopolitik yang terjadi dalam konflik di Suriah. Kepentingan Indonesia dalam koalisis tersebut sebenarnya cukup strategis dalam menimbang kekuatan dan arah dinamika operasi yang akan dikembangkan, apa sungguh-sungguh menyasar kepada ISIS semata ataukah lanjut kepada rejim Assad yang kemudian akan berpuncak pada konflik besar.

Kita boleh saja berpikir masalah di Suriah dan Irak jauh dari Indonesia, namun jangan lupa bahwa Indonesia memiliki kepentingan dengan negara-negara Islam dan Arab. Kekecewaan Arab Saudi, Yordania, dll dapat saja menyulitkan Indonesia ketika Indonesia memerlukan dukungan negara-negara Islam. 

Lebih dari itu, Indonesia jelas tampak soft dalam menyikapi ISIS dan ini telah menjadi pokok diskusi kelompok-kelompok radikal di dalam negeri yang menterjemahkannya sebagai "kesempatan" untuk dapat berkembang menjadi besar. Dengan penerapan demokrasi dan HAM yang tinggi, peranan TNI dalam operasi di luar perang bahkan masih gamang. Contohnya operasi menumpas gerombolan Santoso di Poso hingga saat ini masih tidak jelas, bahkan korban di pihak aparat sudah berjatuhan. Bandingkan dengan tentara Perancis yang aktif ikut serta dalam mendukung operasi keamanan paska Bom Paris bulan November lalu. 

Semoga bermanfaat,
Salam Intelijen
SW

Read More »
20.36 | 0 komentar