Kamis, 08 Oktober 2015

Selamat Jalan Letjen TNI (Purn) Moetojib

Tulisan pendek ini khusus sebagai penghormatan komunitas Blog I-I kepada mantan Kepala BAKIN Letjen Moetojib era transisi reformasi (1996-1998) yang telah meninggalkan kita pada menghadap Yang Maha Kuasa pada 7 Oktober 2015 sekitar pukul 10 pagi. Sebagian komunitas dan simpatisan Blog I-I ada yang langsung meluncur ke rumah duka di Taman Kedoya Baru, sebagian lagi mendo'akan dari jauh.

Sosok Letjen Moetojib mungkin banyak yang tidak diketahui oleh masyarakat Indonesia, bahkan dikalangan intelijen senior sekalipun tidak dikenal sebagai seorang Master Spy sebagaimana layaknya orang nomor satu di BAKIN yang sangat disegani. Namun bila kita luangkan sedikit waktu kita mengenal sososk beliau, kita akan menyaksikan betapa jarang Jenderal era Orde Baru yang berani secara tegas menyampaikan pendapat tentang politik nasional kepada Presiden Suharto.

Masa kepemimpinan Letjen Moetojib yang singkat yakni 2 tahun periode akhir Pemerintahan Orde Baru memiliki arti yang sangat penting bagi bergulirnya reformasi di Indonesia. Pada masa-masa akhir Orde Baru, kita telah menyaksikan aksi-aksi mahasiswa dan rakyat secara bergelombang menuntut reformasi. Kita juga melihat catatan sejarah krisis ekonomi dan tumbangnya Pemerintahan Suharto yang juga diwarnai oleh sejumlah insiden berdarah sebagai akibat dari kerusuhan massa. Pada masa itu, keputusan dan strategi pimpinan lembaga-lembaga yang mengurusi keamanan nasional sangatlah penting. Baik Panglima TNI, Pangdam, Kapolri, Kapolda, Kepala BAKIN, maupun Kepala BAIS TNI, semuanya memikul tanggung jawab yang berat dalam mengawal perjalanan sejarah bangsa Indonesia. 

Letjen Moetojib adalah sedikit di antara pucuk pimpinan lembaga keamanan yang mengambil posisi membela demokrasi dalam peristiwa kerusuhan dua puluh tujuh juli di jalan Diponegoro 58. Untuk pertamakalinya dalam sejarah Orde Baru, BAKIN tidak mengerahkan operasi terkait politik kekuasaan karena menurut informasi yang ada dalam komunitas Blog I-I, orang BAKIN saat itu diperintahkan oleh Letjen Moetojib untuk waspada dalam melaksanakan tugas dan profesional dengan hanya melakukan pengamatan dan analisa keadaan serta perkiraan keadaan yang semuanya boleh dikatakan tepat. Biasanya pada era Orde Baru, seluruh otak rekayasa melanggengkan kekuasaan Orde Baru dilakukan oleh mereka yang berada di BAKIN dan Kopkamtib.

Warisan terbesar Letjen Moetojib kepada dunia intelijen Indonesia adalah membatasi keterlibatan intelijen dalam persaingan/kompetisi politik baik yang merupakan konflik internal partai maupun yang merupakan persaingan antar partai politik. Warisan tersebut tidak ternilai harganya dan telah tertanam baik di benak insan intelijen Indonesia untuk mengambil posisi netral dalam setiap persaingan partai politik menuju kursi kekuasaan di Indonesia. 

Meskipun mungkin ada pihak yang menilai periode 1996-1998 diwarnai banyak kegagalan karena terjadinya kerusuhan dan rontoknya kekuasaan Presiden Suharto, namun hal itu dapat dipastikan bukan kegagalan intelijen, melainkan kegagalan kebijakan atau pengambilan langkah-langkah strategis Pemerintah dalam menyikapi dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang mengarah pada keruntuhan suatu rezim. Namun bila kita lihat secara utuh, keseluruhan cerita reformasi adalah BERHASIL, dimana minimalisasi korban dapat ditempuh dengan pengunduran diri Presiden Suharto. Hal ini harus kita hormati, karena pada saat itu potensi untuk terjadinya perang saudara sangat besar. Kebesaran hati para tokoh nasional dan pimpinan lembaga keamanan, termasuk komandan-komandan pasukan juga patut kita hargai.

Akhir kata, selamat jalan Jenderal....kami juga akan menyusul pada saatnya nanti.

Salam Intelijen
Senopati Wirang

Read More »
13.13 | 0 komentar

Senin, 05 Oktober 2015

Komunisme dan Ulang Tahun TNI

Setelah segelintir orang dan berberapa kelompok komunis baru berhasil menyusup ke dalam pemerintahan Jokowi-JK dan melakukan "tekanan politik" agar Pemerintah RI menyampaikan permohonan maaf terhadap para korban dalam peristiwa sejarah 1965 yang diklaim terbanyak dari kalangan komunis, maka sekarang tiba-tiba ada desakan agar Pemerintah RI menyampaikan maaf kepada Soekarno, Presiden RI pertama. Siapapun mereka yang berteriak-teriak tentang permohonan maaf tersebut jelas memiliki agenda memperkuat pondasi politik sektoral yang mengabaikan kekinian dan masa depan bangsa Indonesia yang seyogyanya mengenang sejarah apa adanya, bukan dalam kerangka permainan politik golongan.

Anehnya Blog I-I kali ini mengangkat judul yang tampaknya tidak berkaitan yakni komunisme dan ulang tahun TNI yang tahun ini memasuki usia ke -70 tahun. Apa kaitannya?
Tidak lain tidak bukan, artikel ini merupakan peringatan serius kepada TNI agar menghayati usianya yang semakin matang agar profesionalisme TNI semakin diperkuat dengan meningkatkan kewaspadaan terhadap kebangkitan komunis di tanah air tercinta. Apabila di negara-negara Barat Nazisme menjadi momok yang tidak dapat ditolerir, maka di Indonesia komunisme adalah tetap bahaya laten yang berpotensi merobek-robek persatuan nasional Indonesia. Mengapa demikian? betapapun banyak argumentasi tentang rekayasa penulisan sejarah selama pemerintahan Orde Baru, faktanya ideologi-ideologi impor baik komunisme maupun liberalisme telah memecah-belah persatuan bangsa Indonesia. Hal semakin jelas manakala Indonesia mempraktekan demokrasi untuk pertama kalinya pada era Orde Lama, seperti tampak pada pemilu 1955. Apakah pemilu 1955 lebih baik dari pada pemilu Indonesia paska reformasi, tentu saja tidak karena pemilu paska reformasi jelas lebih baik dan berkualitas. 

Betapapun suksesnya pemilu 1955, hal itu justru membawa Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi semakin kuat dan lupa diri. Dengan modal 16% dari keseluruhan suara dan posisi nomor 4, tentunya PKI termasuk partai politik yang besar di masa itu. Sementara pada sisi yang berlawanan muncul gerakan-gerakan anti komunis yang menuntut pelarangan PKI. Perbedaan ideologi yang tajam pada masyarakat yang belum matang berdemokrasi hanya akan melahirkan konflik berdarah, dan hal itu terbukti dalam hampir seluruh sejarah perpolitikan dunia, termasuk di Indonesia. Emosi individu, emosi kelompok, persaingan politik, dan kekotoran permainan dalm mencapai kekuasaan yang diwarnai kekerasan, mau tidak mau akan melahirkan suatu ketegangan yang berpuncak pada konflik berdarah. Siapa yang salah, siapa yang benar? sulit untuk direkonsiliasi karena hal itu bukan soal benar salah, melainkan lebih kepada proses aksi reaksi sebagaimana sebuah gunung yang akan meletus, sudah dapat diperkirakan sebelumnya. 

Kepada para korban sejarah baik dari kalangan masyarakat non-komunis maupun kaum komunis, mereka adalah pembentuk sejarah modern Indonesia yang anti-komunis, dimana harmoni masyarakat yang agamis, santun, dan demokratis kemudian dapat lahir dalam proses panjang puluhan tahun dengan melalui masa-masa otoritarianisme Orde Baru. Kemudian apakah sekarang masyarakat Indonesia mau untuk dipaksa melihat kembali ke belakang membuka luka lama dan saling menikam menumpahkan darah segar di era reformasi, tentu jawabnya TIDAK. Siapa yang berkepentingan untuk mengadu-domba kembali sesama anak bangsa Indonesia dengan membuka wacana permohonan maaf terkait peristiwa 1965 perlu diteliti secara mendalam. Blog I-I telah menemukan bahwa ternyata inisiatif awal bersumber dari asing, ya dari asing yang kemudian bersinergi dengan mereka yang menyimpan dendam kesumat kepada sesama anak bangsa Indonesia. Sungguh sangat mengerikan apabila Pemerintah RI berhasil terkecoh oleh permainan ini.

TNI adalah kutub perlawanan utama terhadap komunisme di tanah air. Baik pada masa lalu ketika masih erat dalam dunia politik maupun saat ini yang sedikit lebih profesional. Tanggung jawab TNI dalam berbagai insiden konflik di dalam negeri merupakan bagian dari tugas yang diamanatkan oleh rakyat Indonesia, sehingga TNI tidak dapat disalahkan. Bahwa terjadi korban diluar yang semestinya, hal itu harus dilihat dalam konteks sejarah dan latar belakangnya. Selain itu, juga harus diteliti satu per satu dan bukan digeneralisir sebagai sesuatu yang sistematis seolah seperti kejahatan terorganisir oleh negara. Pelintiran oleh kalangan yang mengaku pembela HAM sesungguhnya permainan retorika yang tidak ada artinya sama sekali, karena moral, politik dan hukum pada akhirnya sangat bergantung kepada kekuatan dan itikad baik dari para pengemban kekuasaan. Artinya desakan-desakan atau tekanan-tekanan yang tidak perlu tersebut dapat diabaikan atau bahkan harus diabaikan. Mengapa demikian? karena jutaan persoalan lain yang lebih penting memerlukan atensi pemerintah. 

Pemerintah perlu mendengarkan berbagai masukan, namun juga harus memiliki prioritas dan tidak dapat melaksanakan segala hal dalam satu waktu bersamaan karena adanya keterbatasan sumber daya. Prioritas-prioritas inilah yang seharusnya menjadi perhatian utama Pemerintahan Jokowi-JK dan bukan berantem sendiri atau mengambil kebijakan yang sembarangan. Meskipun Pemerintah RI telah menegaskan tidak akan menyampaikan permintaan maaf dalam kasus 1965, namun hal ini tidak berarti kalangan pendukung komunisme bersama asing akan tinggal diam menerima begitu saja. Upaya-upaya menghidupkan komunisme di Indonesia adalah sama dengan upaya membesarkan kelompok Syiah di Indonesia, dimana pada ujungnya adalah konflik berdarah sesama anak bangsa Indonesia. Siapa yang dirugikan? Bangsa Indonesia, Rakyat Indonesia, dan masa depan Indonesia akan hancur apabila strategi adu domba asing tersebut didiamkan. 

Anda mungkin akan bertanya asing yang mana? jawabnya bacalah dengan teliti dan telusuri siapa-siapa saja yang mengadvokasi atau menyampaikan usulan tentang isu-isu terkait komunisme, baik di dalam negeri Indonesia maupun dari luar negeri. Intelijen memiliki catatan lengkap dan pastinya sudah tahu siapa yang saya maksud. Bila anda belum tahu, kerjakanlah PR anda dan waspadalah selalu dalam rangka memelihara persatuan nasional dan menjaga cita-cita bersama Indonesia Raya.

Salam Intelijen
SW



Read More »
14.46 | 0 komentar