Selasa, 29 September 2015

Menuju Negara Intel

Intelijen merupakan pemain utama dalam "mengamankan" pemilu selama Pemerintahan Orde Baru, dan terbukti mampu selama 32 tahun menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil menurut versi pemerintah tentunya dengan hasil yang telah ditentukan sebelum pemilu, yakni kemenangan mutlak partai penguasa dan kelangsungan kekuasaan elit Orde Baru. Hal itu dapat menggambarkan profesionalisme dan kapabilitas yang luar biasa dari Intelijen Indonesia dalam mengabdi kepada kekuasaan dan bukan kepada negara, bangsa, apalagi rakyat. Bila the State is the coldest of cold monster  seperti kata Jenderal Charles de Gaulle, maka Intelijen adalah the super coldest of cold monster. 
Mengapa artikel Blog I-I kali ini mengenai negara Intel? Hal ini berangkat dari kecenderungan ketergantungan sistem politik demokrasi Indonesia kepada Intelijen. Ada bencana kebakaran hutan dan asap, Intelijen dipanggil. Menjelang pemilukada, Intelijen diperbanyak personilnya. Ada berbagai persoalan di Kementerian teknis, dilakukan MoU dengan Intelijen untuk back-up. Hal itu mencerminkan lemahnya dan tidak berjalannya sistem tata negara dimana sudah ada pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab penuh terhadap suatu persoalan, dan Intelijen tidak seharusnya dilibatkan.

Bagi kalangan intelijen aktif, hal itu biasa saja dan sudah menjadi panggilan tugas, dimana pada saat eksekutif dalam hal ini Presiden meminta Intelijen mengerjakan suatu tugas, maka wajib untuk dikerjakan. Persoalannya kemudian adalah seolah Intelijen menjadi solusi dari ketidakbecusan lembaga-lembaga yang sudah dibentuk untuk mengatasi persoalan yang ada, dan hal ini tentunya memperluas jangkauan kegiatan intelijen yang seharusnya fokus kepada hal-hal yang dapat menjadi ancaman strategis kepada negara dan bangsa. Apabila bencana asap di Riau dan Jambi sudah dianggap menjadi ancaman nasional, maka sudah sewajarnya bila Pemerintah mengerahkan seluruh daya upaya untuk mengatasinya, khususnya dikonsentrasikan kepada upaya pemadaman dan pengurangan intensitas asap hingga hilang, dan juga penegakkan hukum kepada para pelanggar yang menyebabkan terjadinya bencana asap tersebut. Mengapa begitu susahnya? Jawabnya sangat singkat, karena tidak mampu dan tidak becus! sekilas tampak memudahkan persoalan, tetapi hal ini adalah cerminan Kepemimpinan Nasional yang sangat lemah dalam menjalankan roda pemerintahan dimana perintah tidak dapat tereksekusi dengan baik hingga ke bawah. Apakah bila Intelijen terlibat kemudian semuanya menjadi beres? Jawabnya tidak, bahkan semakin menambah kompleks dalam penentuan langkah-langkah yang akan ditempuh.

Apabila menjelang pemilukada kemudian jumlah intel diperbanyak maka hal ini justru memperkuat analisa bahwa fungsi-fungsi lembaga penyelenggara pemilu, pengawas, dan penegak hukum juga tidak mampu berjalan baik tanpa dukungan intel. Padahal seharusnya pesta demokrasi bersih dari operasi pengamanan oleh intelijen, apa yang ingin diamankan menjadi persoalan krusial karena hal itu hanya akan menciptakan pemborosan dimana berbagai mekanisme pengawasan telah dilaksanakan. Komunitas Blog I-I telah melihat terjadinya imitasi laporan yang sama dalam pemilu yang lalu dari berbagai pihak yang menjadi pengawas jalannya pemilu termasuk intelijen, isi laporan sama saja, sehingga pemborosan uang pajak rakyat dalam bentuk operasi pengamanan pemilu menjadi sangat memprihatinkan. Satu-satunya pembenaran rekrutmen besar-besaran Intelijen adalah untuk mendukung kekuasaan sebagaimana telah dilaksanakan dengan sangat baik selama Orde Baru berkuasa, jika ini tujuan sesungguhnya maka telah terjadi kemunduran luar biasa dari demokrasi di Indonesia.

Kerjasama-kerjasama Kementerian teknis dengan intelijen juga tidak perlu karena hal itu selain tidak akan efektif, juga justru membuat konsentrasi intelijen menjadi terpecah-pecah ke dalam berbagai persoalan yang sebenarnya menjadi tanggung jawab departemen teknis. Sangatlah memprihatinkan bahwa Intel bekerja dalam format kerjasama dengan departemen teknis yang seringkali bahkan tidak pernah ada eksekusinya secara nyata.

Intelijen harus fokus pada isu-isu khusus strategis yang ditentukan oleh pemerintah dimana tidak ada Kementerian yang menanganinya atau tidak sanggup menembusnya karena keterbatasan ruang lingkup operasi misalnya terkait hukum internasional, dimana dalam hubungan antar negara hanya intel yang dapat bekerja di luar hukum dengan berbagai teknik khusus yang dikembangkannya sehingga tidak dapat diproses secara hukum ketika melanggar hukum. Contoh lain misalnya dalam menembus kebekuan hubungan antar negara, karena intel selalu menjadi jalur alternatif komunikasi. Dalam isu dalam negeri, hal terpenting yang menjadi tanggung jawab intel bukan penegakkan hukum, melainkan dukungan kepada penegak hukum dalam memberikan rasa aman kepada rakyat Indonesia. Namun demikian, karena intel tidak memiliki wewenang polisionil datau penuntutan (kejaksaan) maka dapat dipastikan intel tidak berada dalam posisi menyelesaikan suatu delik hukum. Dengan demikian sistem operasi intelijen dalam negeri di Indonesia perlu dilihat kembali fokus perhatiannya, sistem pengumpulan informasinya, dan tujuan strategis yang melandasinya.

Salah kebijakan akan berdampak negatif kepada negara, bangsa dan rakyat Indonesia, demikian juga dalam menentukan arah kebijakan Intelijen Nasional. Disadari atau tidak, tanpa peningkatan akuntablitas organisasi, profesionalisme personil, tujuan yang benar, dan anggaran yang cukup, rencana pengembangan intelijen akan terjebak mengarah pada Negara Intel. Ada beberapa persoalan dasar yang diramalkan Blog I-I akan menyesatkan kalangan Intel muda, yakni tugas mengamankan pemilu oleh Intelijen harus dibatasi sampai tercapainya kedewasaan berpolitik bangsa Indonesia dan berjalannya lembaga-lembaga penyelenggara pemilu serta elemen pengawasannya dan aspek penegakan hukum berjalan. Jangan dilihat seolah akan terus-menerus menjadi bagian dari operasi intelijen mengamankan pemilu, hal ini hanya akal-akalan saja untuk menyerap anggaran manakala sebenarnya pemilu dapat berjalan dengan baik tanpa peran yang terlalu banyak dari Intel. Dengan demikian, sangat tidak masuk akal apabila tujuan pengembangan organisasi intelijen dari sisi personil hanya untuk pengamanan pemilu. 

Seharusnya tanpa gembar-gembor Intel akan begini akan begitu, pemantapan sistem arus informasi intelijen nasional seyogyanya dikembangkan sebagai bagian dari sistem keamanan nasional yang terkait langsung dengan koordinasi operasi polisi dan TNI dalam mengamankan wilayah kedaulatan Indonesia dan dalam memberikan rasa aman serta melindungi rakyat Indonesia dari bahaya. Hal ini mudah dituliskan dan diucapkan tetapi sangat sulit dilaksanakan apabila kualitas personilnya rendah dan ego sektoral masih ada. Kemudian itu semua MUSTAHIL terwujud apabila kepemimpinan nasional lemah karena tidak mampu mengatur, mengarahkan dan menyatukan lembaga terkait dalam melaksanakan tugas Pemerintah melindungi rakyatnya.

Salam Intelijen,
SW    

Read More »
03.26 | 0 komentar

Minggu, 20 September 2015

Sedikit Tambahan Tentang Badan Cyber Nasional

Kepala BIN Sutiyoso tidak setuju dengan pembentukan Badan Cyber  dan menganggap hal itu sebagai pemborosan saja. Selain itu, pembentukan Badan Cyber juga harus memperhatikan keberadaan unit-unit khusus yang sudah ada dalam menangani masalah cyber. Sementara artikel Blog I-I tanggal 24 Agustus 2015 menegaskan perlunya Badan Cyber Nasional dengan sejumlah alasan yang telah dikemukakan dalam artikel tersebut. Lantas, bagaimana publik menyikapinya? Sebagai bagian dari pendidikan publik di bidang intelijen, Blog I-I perlu menyampaikan apa yang disebut sebagai current real threat dan potential future threat yang mana hal tersebut akan mempengaruhi strategi pengembangan organisasi intelijen. Misalnya ancaman kemungkinan Pilkada menjadi rusuh tidak dapat dikategorikan sebagai ancaman nyata, karena diperlukan pra-kondisi ataupun niat dari para pihak yang ingin menimbulkan kerusuhan. Konflik Pilkada pada umumnya lebih disebabkan oleh ketidakpuasan, unsur kecurangan, belum dewasa dalam berdemokrasi, hasutan, kepentingan kelompok yang menunggangi politik, dan bukan pada suatu perencanaan serius menghancurkan penyelenggaraan Pilkada agar berantakan sehingga berpengaruh kepada stabilitas keamanan nasional Indonesia. Bagaimana dengan kepentingan asing? Negara-negara Barat yang liberal demokrasi sudah cukup puas dengan proses demokratisasi di Indonesia, kelanjutannya adalah pada kepentingan ekonomi baik yang bersifat eksploitasi para pemilik modal (kapitalis) maupun dalam hal pengaruh dikawasan dikaitkan dengan kompetisi global. 

Contohnya kerusuhan Pilkada adalah suatu potensi yang dapat terjadi apabila tidak dilakukan penjagaan dan pencegahan, salah satunya adalah melalui kerja intelijen yang menciptakan kondisi nyaman aman tentram dengan penggalangan publik agar berdemokrasi secara dewasa. Selain itu juga melalui deteksi dini kemungkinan adanya pihak-pihak baik asing maupun domestik yang berupaya menggagalkan Pilkada dengan alasan apapun. Selanjutnya apabila ada delik hukumnya maka masuk ke dalam ranah penegakkan hukum oleh Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Berwenang lainnya yang mengawasi pelaksanaan pemilu dan memutuskan sengketa pemilu.

Sementara itu, kejahatan cyber baik yang bersifat kriminal maupun strategis (mengganggu keamanan nasional) bersifat nyata saat ini dan berpotensi untuk terus berkembang dimasa mendatang, sehingga hampir seluruh negara di dunia membangun dan mempersiapkan diri dalam menghadapi ancaman cyber.

Mengapa perlu Badan Cyber Nasional ketimbang mengembangkan unit-unit yang sudah ada baik di Polisi, Militer, BIN, Kominfo, maupun Lemsaneg? Karena siapapun yang menguasai cyber di Indonesia akan memiliki power yang sangat besar sehingga perlu pengawasan agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Selain itu, diperlukan suatu sistem komando agar tidak terjadi konflik internal dalam bersaing dalam penanganan isu cyber. Investasi di bidang cyber akan memakan anggaran yang sangat besar karena mahalnya teknologi dan sumber daya manusia. Pengembangan sistem keamanan cyber nasional juga bukan hanya semata-mata terkait dengan defense dan offense di dunia maya, melainkan daya kreatif intelektual dalam berpacu dengan kemajuan teknologi yang selalu berkembang dari waktu ke waktu. 

Sehingga lembaga yang ideal tidak berada di dalam tangan intelijen, melain sebuah cyber command yang merupakan gabungan dari pakar strategi perang, ahli IT dan akademisi/peneliti, kalangan penggiat underground cyber, kalangan bisnis terpercaya di bidang pengembangan teknologi IT, pakar analisa intelijen, pakar hukum IT dan hukum internasional, unsur penegakkan hukum, dan tentunya manajemen informasi handal dalam mengelola terselenggaranya suatu sistem keamanan cyber nasional.  Menggabungkan berbagai latar belakang yang berbeda tersebut tentunya bukan hal mudah, selain itu membangun infrastruktur pertahanan cyber yang handal sudah pasti akan memakan biaya yang sangat tinggi. 

Menyikapi hal tersebut, maka rencana pembentukan Badan Cyber bukan berarti saat ini langsung jadi siap pakai dalam satu dua tahun. Melainkan strategi jangka panjang yang seiring waktu terus meningkatkan kapabiltas cyber security nasional sampai tercapai titik ideal berupa independensi pengembangan teknologi dari ketergantungan terhadap perusahaan asing. Pengembangan teknologi tersebut tidak harus 100% buatan Indonesia melainkan bisa juga berupa varian dari teknologi yang telah dibeli dari luar negeri. Dalam hal ini, unit riset dan development menjadi ciri pembeda dari lembaga-lembaga sejenis di luar negeri yang juga sedang berkembang.

Menjadi ciri khas cara berpikir sempit bangsa Indonesia adalah ingin cepat mencapai sesuatu dan kurang memperhatikan proses. Sebagaimana juga pengembangan sektor maritim yang saat ini semakin serius dengan pembentukan Kemeko Kemaritiman, jangan terlalu berharap bahwa seolah dalam 5 tahun pemerintahan Jokowi akan terwujud Indonesia yang Hebat di bidang Maritim, perlu ada suatu rasionalisasi pencapaian target sesuai dengan dukungan anggaran, kemampuan personil, dan penguasaan teknologi, serta implementasi kebijakan yang tepat. Perhatikan bagaimana Pemerintahan SBY selama 10 tahun, bukan hal yang mudah dalam memulihkan perekonomian Indonesia dan memantapkan demokrasi di Indonesia. Semua pihak yang terkait bahu-membahu dalam mendorong terwujudnya harapan rakyat Indonesia.

Diperlukan keikhlasan yang luar biasa dari para pemimpin nasional Indonesia untuk secara serius memperhatikan pentingnya kesinambungan pembangunan dari pergantian pimpinan nasional. Dimana blue print pembangunan strategis sebaiknya tidak seenaknya berubah-ubah haluan, hingga walaupun generasi saat ini tidak menikmati, namun generasi penerus akan menjadi saksi dari keberhasilan suatu strategi jangka panjang yang jitu.

Kembali kepada Badan Cyber Nasional. Apabila hal ini hanya wacana ngobrol ringan dari suatu konferensi nasional yang kurang serius, maka menjadi sia-sia dan pemborosan jika dipaksakan untuk dibangun. Namun apabila ada suatu strategi jangka panjang untuk membangun secara bertahap kemampuan cyber nasional, maka perlu dibuat pentahapan yang rasional yang akan secara nyata dapat mewujudkan Indonesia yang kuat dalam keamanan cyber. Perlu kita akui bersama bahwa daya visi bangsa Indonesia akan menjadi pendek manakala hanya berpikir untuk kepentingan pribadi dan kelompok, karena dibatasi oleh kehendak-kehendak yang tidak mewakili jeritan suara rakyat. Marilah kita renungkan lagi, niat-niat dalam hati kita masing-masing ketika menggagas sesuatu untuk bangsa dan negara, sebesar apakah kepentingan pribadi kita?

Sekian
Semoga bermanfaat
Senopati Wirang

Read More »
12.51 | 0 komentar

Kamis, 10 September 2015

Anggaran Kecil Minta Aman

Ketika Indonesia mengalami krisis 1998 yang diwarnai kerusuhan, komunitas intelijen tidak luput dari sorotan seolah tidak mampu memberikan informasi dan analisa mengenai tanda-tanda kejatuhan Pemerintahan Suharto periode akhir. Kemudian, intelijen kembali menjadi sorotan karena lepasnya propinsi Timor-Timur yang sedikit banyak juga dipengaruhi lemahnya analisa intelijen dalam kalkulasi kebijakan politik dan keamanan era Habibie. Pada era Gus Dur, intelijen tampak semakin kedodoran yang dengan lengsernya Gus Dur dari jabatan Presiden. Kemudian era Megawati, intelijen baru mulai menata kembali menjadi lebih baik dengan berbagai prediksi tentang terorisme yang pada waktu itu "tidak dipercaya" sebagian petinggi negara. Pada masa-masa tersebut, dalam komunitas intelijen khususnya prajurit wong cilik telik sandi yang langsung berhadapan dengan masalah dan masyarakat berkembang pemeo sindiran yang sempat bergema di Senayan dan Istana Negara : "Lima Ribu Minta Aman." 

Adalah suatu fakta yang teramat sangat memprihatinkan dunia intelijen Indonesia dengan anggaran yang sangat kecil pada level operasional namun menanggung beban tugas dan tanggung jawab yang sangat besar, yakni kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia.

Presiden Abdurrahman Wahid adalah Presiden RI pertama yang memperhatikan kesejahteraan PNS secara umum dengan menggabungkan komponen tunjangan menjadi gaji pokok yang lebih besar, yang mana hal ini juga berdampak ke kalangan intelijen yang menjadi lebih bersemangat. Kemudian Megawati secara signifikan meningkatkan anggaran Intelijen (baca: BIN) yang kemudian mampu membangun sejumlah pondasi restrukturisasi organisasi BIN menjadi lebih besar. Kemudian dilanjutkan pada era SBY hingga akhirnya BIN memiliki anggaran yang dapat dikatakan mendekati kesesuaian dengan kalkulasi personil, operasi kegiatan, dan pengembangan organisasi di masa mendatang.

Baru-baru ini, Kepala BIN Sutiyoso menyampaikan "keluhan" pemotongan anggaran BIN yang sangat signifikan karena jumlah pemotongannya sangat besar, yakni dari APBNP 2015 sebesar 2.616,6 Triliun menjadi 1.592,6 Triliun dalam RAPBN 2016, atau sekitar hanya 60% dari anggaran 2015. 

Meskipun Presiden Jokowi menyetujui penguatan intelijen dan peningkatan fasilitas yang memadai dalam Nota Keuangan RAPBN 2016, namun pemotongan anggaran BIN justru mencerminkan yang sebaliknya. Mengapa demikian? Boleh jadi hal ini juga menimpa sebagian besar Kementerian dan Lembaga Negara lainnya karena asumsi dollar dan kondisi perekonomian Indonesia yang diperkirakan mengalami penurunan. Namun apabila kita perhatikan secara seksama, sebagian justru mengalami kenaikan, misalnya Sekretariat Negara, Kementerian Luar Negeri, PAN RB, Kominfo, POLRI, BNN, Komnas HAM, KPU, MA, MK, PPATK, LAN, KPK, KY, KPPU, Ombudsman, BNPT, Sekab, Kelautan Perikanan, Pariwisata, Kemenko Maritim, Kemenko Perekonomian, BPK, Kemenkeu, Pertanian, Kementerian BUMN, BPS, Bappenas, BPN, BPPT, LAPAN, BIG, Bapeten, BPKP, Perdagangan, LKPBJP, Badan Pengembangan Wilayah Suramadu, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, TVRI, Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kesehatan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, BPOM,  BKKBN, dan BNP2TKI. Fakta tersebut secara logika dapat membantah alasan perbedaan asumsi dollar ataupun kondisi perekonomian nasional yang sedang lesu.

Apabila sebagian Kementerian/Lembaga Negara mengalami penurunan dan sebagian mengalami kenaikan maka hal ini juga dapat ditafsirkan sebagai prioritas Pemerintah, dimana anggaran merupakan faktor krusial dalam pencapaian kinerja suatu lembaga. Pertanyaan berikutnya adalah mengapa anggaran BIN dapat turun sedemikian drastisnya? Apakah karena BIN hanya mengajukan sedikit karena tidak mampu mengelola anggaran dengan baik, ataukah karena sesungguhnya Pemerintahan Jokowi tidak menganggap intelijen sebagai prioritas sehingga pengajuan dari BIN hanya dikabulkan hanya sebesar 60% dari anggaran 2015?

Tentunya kita tidak dapat mengklaim bahwa satu lembaga lebih penting dari lembaga yang lain sehingga pantas memperoleh anggaran yang lebih besar. Hal ini dapat menjerumuskan suatu pemerintahan kepada pemborosan-pemborosan karena argumentasi sektoral. Selain itu, sudah menjadi kewajaran bahwa pada setiap pengajuan anggaran, masing-masing lembaga berupaya meyakinkan penyusun Nota Keuangan dan RAPBN untuk mengalokasikan anggaran sesuai kebutuhan masing-masing. Pastinya tidak semuanya dapat dikabulkan, bahkan ada yang dicoret atau direvisi sebagaimana dialami oleh BIN untuk RAPBN 2016. Namun fakta yang sangat aneh adalah bahwa Presiden Jokowi "memerintahkan" BIN melakukan rekrutmen anggota besar-besaran, sementara anggaran BIN dipotong besar-besaran seperti SALE/DISCOUNT saat menjelang lebaran atau tahun baru. Saran dari Komunitas Blog I-I adalah agar BIN segera menghentikan rencana rekrutmen yang tidak masuk akal tersebut karena selain kerawanan yang telah diungkapkan dalam artikel Rekrutmen 1000 Agen BIN, juga guna menghindari pendarahan anggaran BIN karena besar pasak dari pada tiang, hanya demi kepentingan politik Pilkada yang selama ini terbukti dapat dikawal secara aman oleh BIN, Polisi dan TNI.

Alokasi anggaran bukanlah hal yang mudah dan sederhana karena hal ini juga menyangkut hajat hidup bangsa Indonesia dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai pemerintah. Artinya ketika Nota Keuangan dan RAPBN sudah diajukan, Pemerintah sudah yakin dengan pengajuan tersebut dan telah diketahui oleh semua Kementerian dan Lembaga Pemerintah  terkait. Dalam kaitan ini, BIN sudah pasti tahu dan paham bahwa Pemerintahan Jokowi-JK memiliki prioritas yang kurang mengedepankan pengembangan intelijen menjadi lembaga yang kuat dan modern. 

Komentar sangat aneh dan menjerumuskan tentang anggaran BIN juga muncul dari anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin yang menyarankan BIN cari dana sendiri (non-budget). Mencari dana sendiri kepada perusahaan swasta sangat membahayakan keamanan nasional, karena hal ini menciptakan hubungan yang tidak sehat karena kerawanan baik dari sisi kepentingan maupun transparansi, apakah sungguh-sungguh digunakan untuk operasional intelijen.

Ketika anda tidak mengalami suatu musibah karena sistem keamanan yang baik di rumah anda, maka anda berpikir kunci, gembokan, alarm, dan cctv yang anda gunakan sudah cukup mencegah terjadinya kejahatan di rumah anda. Tetapi sadarkah anda bahwa semua sistem keamanan yang anda gunakan sesungguhnya harus selalu diupdate dan diganti dalam periode tertentu. Misalnya kunci pintu rumah model lever lock menjadi pin tumbler lock atau wafer tumbler lock. Hanya karena belum pernah mengalami musibah kemalingan, bukan berarti kunci model lever lock masih dapat melindungi rumah anda. Hal ini hanya ilustrasi sederhana yang menggambarkan peningkatan biaya keamanan walaupun tidak terjadi musibah atau ancaman keamanan. 

Komunitas Blog I-I tidak memiliki kepentingan dengan peningkatan atau penurunan anggaran BIN, artikel ini hanya bagian dari pendidikan publik mengenai intelijen agar dipahami bahwa intelijen ala James Bond dengan berlimpah uang operasi hanya ada di film saja. Tahukah anda bahwa ketika pemeo sindiran "lima ribu minta aman" menjadi populer di kalangan komunitas intelijen, faktanya saat itu seorang agen intelijen bahkan bingung untuk mencari makan siang, namun untungnya warung tegal masih memberikan rasa kenyang dengan 3000 rupiah dengan 1-2 lauk pauk sederhana, kemudian es cendol masih seharga 1000 rupiah, dan oh lumayan masih ada sisa 1000 rupiah untuk naik bis kota.

Sekian
Semoga bermanfaat,
Senopati Wirang

Read More »
12.28 | 0 komentar